Kopi TIMES

Islam Virtual: Ekspresi Keagamaan Milenial Muslim Urban Indonesia

Jumat, 31 Juli 2020 - 19:15 | 205.25k
Yusa’ Farchan, Dosen Universitas Pamulang, Peminat Kajian Sosiologi Agama.
Yusa’ Farchan, Dosen Universitas Pamulang, Peminat Kajian Sosiologi Agama.

TIMESINDONESIA, PAMULANG – Revolusi internet turut melahirkan pergeseran peta baru Islam Indonesia. Jangkar-jangkar teknologi informasi seperti sosial media telah bergeser menjadi sumber-sumber bimbingan moral baru generasi milenial muslim urban. Tren hijrah yang sangat ekspresif misalnya, dalam perkembangan kontemporer telah bergeser menjadi pop culture yang banyak digandrungi milenial muslim perkotaan . 

Selain merefleksikan ekspresi keagamaan yang dinamis, menggeliatnya pop culture di ranah keagamaan juga merepresentasikan kecenderungan umum bahwa modernisasi, globalisasi, dan re-islamisasi turut membentuk pola baru beragama di mana seorang muslim bisa menjadi “modern dan taqwa” pada saat yang bersamaan.

Kelompok milenial adalah generasi melek teknologi yang sangat mudah mengikuti tren atau pop culture yang sedang menggeliat di berbagai ruang publik terutama ruang publik virtual. Apa yang menjadi tren di ranah virtual itulah yang akan diikuti, termasuk dalam hal beragama. Inilah yang disebut Islam virtual; Islam yang dipenetrasikan melalui kanal-kanal teknologi informasi. 

Dari perspektif taksonomi pemikiran keagamaan (Islam), Islam virtual tentu tidak bisa dipertentangkan atau dikategorisasikan ke dalam model-model pemikiran Islam yang telah ada sebelumnya seperti Islam kultural-tradisional, Islam moderat, Islam liberal, Islam fundamental-konservatif dan pemikiran-pemikilan Islam lainnya yang memiliki akar ideologis, basis historis dan infrastruktur jaringan dalam institusionalisasi pemikiran-pemikiran keagamaannya. 

Islam virtual lebih merefleksikan pola baru beragama masyarakat urban yang dinamis terutama generasi milenial. Islam virtual adalah tren atau kecenderungan umum yang menjadi budaya populer di mana sumber-sumber literasi keislaman diperoleh melalui perangkat-perangkat teknologi informasi seperti social media (youtube, facebook, instagram, twitter), situs-situs Islam atau sumber-sumber digital lainnya.

Islam virtual adalah Islam yang lahir dari arena pertarungan simbol, gagasan atau pemikiran keagamaan di ranah virtual. Diakui atau tidak, ruang publik virtual telah menjelma menjadi arena kontestasi dakwah Islam kontemporer antar berbagai aliran pemikiran keagamaan. Karena menjadi medan pertarungan simbol dan gagasan, ruang publik virtual pada akhirnya juga memunculkan kelompok-kelompok dominan yang menguasai segmen pasar dakwah virtual. 

Salah satu indikator penting dominasi atau penguasaan ruang publik virtual adalah seberapa banyak  follower yang dimiliki di tengah ceruk pasar dakwah virtual yang sangat cair. Beberapa Ustadz tampak fokus menekuni dakwah digital dan bersaing ketat memperebutkan pengaruh dalam arena pasar dakwah virtual tersebut.

Di kalangan milenial muslim perkotaan, nama Ustadz Hanan Attaki misalnya, tentu sangat populer sebagai celebrity preacher yang memiliki follower sangat banyak dari kalangan milenial. Generasi muslim milenial urban tampaknya lebih menyukai model dakwah Islam yang dikemas secara menarik sesuai dengan nafas dan denyut nadi modernitas zaman. Dalam bahasa yang sederhana, ekspektasi generasi muslim milenial urban adalah bagaimana bisa tetap “gaul, tetapi Islami” pada saat yang bersamaan.

Kecenderungan ini paralel dengan penelitian sebelumya (Farchan;2020) yang mengungkap preferensi milenial muslim perkotaan terhadap sumber-sumber literasi dakwah Islam. Dalam konteks ini, terhadap pertanyaan “siapa ustadz yang paling sering Anda diikuti?”, mayoritas responden (45,45%) memilih Ustadz Hanan Attaki. Setelah Hanan Attaki, ustadz berikutnya yang dipilih atau disukai responden adalah Qurais Syihab sebanyak 14,54%, Khalid Basalamah 9,09%, Felix Saw 8,18%, Abdul Somad (UAS) 6,36%, Yusuf Mansyur, Adi Hidayat, dan Rizieq Syihab masing-masing 2,72%, Gus Miftah, KH. Said Aqil Siradj, dan Cak Nun masing-masing 0,90%. Sementara itu responden yang menyatakan tidak tahu 5,45%.

Banyaknya responden yang menyukai Hanan Attaki menggambarkan bahwa generasi milenial muslim urban lebih tertarik dengan ustaz berusia muda dan familiar dengan dunia teknologi informasi. Dalam batas-batas tertentu, kelompok milenial ini cenderung tidak mementingkan substansi atau konten dakwah, tetapi lebih mengikuti tren dan lifestyle yang sedang berkembang. Hanan Attaki dianggap dapat mewakili genre kalangan milenial urban sehingga konten-konten dakwahnya banyak disukai. Tidak mengherankan jika kanal youtube yang menjadi channel dakwahnya memiliki lebih dari 1.32 M subscriber yang didominasi kalangan milenial.

Runtuhnya Otoritas Keagamaan 

Penggunaan social media dan internet sebagai sumber literasi dakwah kelompok milenial muslim perkotaan, menandai dua hal sekaligus. Pertama, runtuhnya otoritas keagamaan tunggal yang selama ini menjadi domain organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah atau MUI berikut sumber-sumber rujukan primer otoritas moralnya (pesantren, Kyai dan Ustaz). 

Runtuhnya otoritas keagamaan lama disebabkan karena munculnya otoritas keagamaan baru yang direpresentasikan dalam bentuk jejaring teknologi informasi dan sumber-sumber digital. Sumber literasi dakwah Islam generasi muslim milenial urban saat ini tidak lagi diperoleh melalui tradisi “nyantri” atau “mondok” sebagai medium “ngunduh ilmu”, tapi diperoleh melalui jejaring digital. Hal ini dapat dipahami sebagai konsekuensi logis dari terbentuknya digital habit di kalangan masyarakat urban. 

Jika otoritas keagamaan lama disimbolkan oleh pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan Islam (berikut kyai dan ustaz), maka otoritas keagamaan baru disimbolkan oleh kanal-kanal teknologi informasi seperti youtube, google, dan situs-situs Islam lainnya. Perangkat sosmed adalah sumber utama literasi generasi milenial muslim perkotaan dalam proses pencarian jawaban seputar masalah-masalah keagamaan. 

Dalam konteks ini, hasil penelitian sebelumnya (Farchan; 2020) juga menunjukkan bahwa mayoritas generasi milenial muslim urban (46%) memilih youtube sebagai sumber utama literasi dakwah. Setelah youtube, sumber literasi dakwah yang paling sering diikuti adalah majelis taklim (pengajian tatap muka) sebanyak 23%, portal Islam (internet) 15%, televisi 10%, dan instagram 5%. Sementara itu, yang menyatakan tidak tahu sebanyak 1%.

Pilihan generasi muslim milenial urban terhadap youtube sebagai sumber utama literasi konten dakwah mereka, dapat dipahami karena youtube menjadi media audiovisual yang paling cepat melakukan transformasi pesan sekaligus mudah diakses oleh siapapun yang memiliki gadget (smartphone) tanpa sekat ruang dan waktu. 

Dalam perkembangannya, dakwah Islam melalui youtube di tanah air memang mengalami peningkatan. Sejumlah dai atau ustaz bahkan telah memiliki kanal youtube tersendiri yang dikelola secara profesional dan memiliki jumlah subscriber signifikan. Rendahnya kohesi sosial di kalangan milenial semakin menjadikan youtube sebagai preferensi utama atas sumber-sumber bimbingan moral baru.

Kedua, lemahnya identity (ID) organisasi sosial keagamaan generasi muslim milenial urban. Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, yang menarik dalam konteks preferensi generasi muslim milenial urban terhadap pilihan ustadz adalah; mayoritas responden yang berlatar belakang NU, ternyata tidak seluruhnya memilih ustadz atau dai berlatar belakang NU.

Begitu juga dengan yang berlatar belakang Muhammadiyah, tidak seluruhnya memilih dai dari kalangan Muhamadiyah. Dengan kata lain, identity (ID) organisasi sosial keagamaan yang melekat pada individu pengikut NU atau Muhammadiyah, tidak berbanding lurus dengan ustadz atau konten dakwah Islam yang dipilihnya . Realitas ini dapat dimaknai bahwa identity (ID) organisasi sosial keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah relatif rendah di kalangan generasi milenial muslim perkotaaan.

Meskipun generasi milenial muslim urban tersebut mewarisi identity (ID) organisasi sosial keagamaan baik secara genetik melalui orang tua, atau dipengaruhi (dibesarkan) oleh lingkungan sosial dan pendidikan-nya, tetapi mereka tidak memiliki loyality, ikatan ideologis, atau fanatisme terhadap organisasi sosial keagamaan tersebut. Hal ini sekaligus menjadi warning terutama bagi NU dan Muhammadiyah terkait dengan literasi konten-konten dakwah mereka baik dalam bentuk kurikulum pendidikan, pengajaran dan indoktrinasi akidah, akhlak dan aspek-aspek teologi lainnya yang tidak lagi memiliki efek ideologis dan “mengikat” kepada pengikutnya.

NU dan Muhammadiyah saat ini dihadapkan pada tantangan yang lebih kompleks dalam kaitannya dengan perebutan pasar dakwah yang lebih cair di era virtual. Meskipun secara infrastruktur kelembagaan pendidikan, NU dan Muhammadiyah memiliki puluhan ribu lembaga pendidikan, dari tingkat TK hingga perguruan tinggi, tapi realitas menyuguhkan fakta lain di mana identity (ID) organisasi sosial keagamaan generasi milenial mereka cenderung melemah. 

Generasi milenial urban dari kalangan NU dan Muhammadiyah tampak lebih tertarik dengan genre “Islam virtual” yang dipopulerkan oleh celebrity preacher dan dipenetrasikan secara simbolik melalui budaya populer di lingkungan masyarakat urban melalui kanal-kanal teknologi informasi.

Sejauh ini, ruang publik virtual tampak dikuasai dan didominasi oleh kelompok-kelompok Islam non mainstream yang sudah eksis sebelumnya. Mereka mampu memenangkan arena perebutan pengaruh (influencer) di pasar dakwah virtual karena kelihaian mereka dalam membaca selera pasar terutama kalangan milenial urban.

“Islam virtual” akan terus mencari formula idealnya dan menjadi ekspresi dinamis kalangan milenial urban Indonesia karena dianggap menawarkan totalitas solusi atas krisis identitas muslim yang mereka alami. Krisis identitas ini merupakan akumulasi dari kegersangan spiritualitas yang dialami muslim perkotaan karena efek modernitas yang menyisihkan nilai-nilai agama dari ranah publik sebagaimana lazim terjadi di berbagai kota di dunia. 

Hadirnya Islam virtual dengan corak ideologinya yang beragam, dari yang “konservatif” hingga “liberal”, menyuguhkan fakta lain di mana revolusi teknologi informasi justru dapat digunakan secara positif untuk menyemaikan benih-benih kebajikan agar pemeluk agama (Islam) tidak terjebak dan jatuh pada ruang hampa di mana modernitas seringkali melahirkan goncangan spiritualisme di kalangan muslim urban.

***

*) Oleh: Yusa’ Farchan, Dosen Universitas Pamulang, Peminat Kajian Sosiologi Agama.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES