Kopi TIMES

Mendekonstruksi Makna New Normal

Jumat, 31 Juli 2020 - 18:19 | 243.10k
Ghozian Aulia Pradhana , PhD Student Media Studies University of Malaya.
Ghozian Aulia Pradhana , PhD Student Media Studies University of Malaya.

TIMESINDONESIA, KUALA LUMPUR – Belakangan kita begitu akrab dengan term "new normal". Meminjam istilah Derrida, metafora new normal itu mengandaikan sebuah kondisi yang berbeda dengan kondisi BC (before Covid-D-19) menjangkiti Indonesia.

Sayangnya pemaknaan atas teks new normal itu lantas bermasalah. Masyarakat kita justru memaknai new normal sebagai dibukanya kembali keran aktivitas normal seperti biasa. Membanjiri ruang-ruang publik, mendatangi resto dan cafe, juga segenap aktifitas berkumpul yang tentu rawan dan berpotensi menjadi klaster baru Covid-19.

Pemerintah telah mengakui kesalahan diksi new normal yang belakangan sering digunakan. Lantas menggantinya dengan istilah “adaptasi kebiasaan baru”. Meski begitu, makna new normal terlanjur mengalami diseminasi, sehingga masyarakat sulit untuk memahami tujuan dari wacana new normal.

Tulisan ini ingin melihat sejauh mana teks “new normal” diproduksi sehingga dimaknai dengan tafsiran yang berbeda dan cenderung salah kaprah oleh kita. Dengan menggunakan pembacaan dekonstruksi Derrida, kita bisa menilik kontradiksi yang dibangun dan terjebak dalam oposisi biner dalam teks new normal.

Membongkar Kontradiksi Teks “New Normal”

Dengan melihat kontradiksi dalam politik teks “new normal”. Dapat membantu menyadari adanya bentuk inkonsistensi dalam teks. Di sisi lain, terdapat kecenderungan ideologis secara tidak sadar yang melekat pada sebuah teks.

Gagasan new normal berusaha menunjukkan sebuah kebenaran dan mengabaikan pertentangan yang mungkin timbul dalam pemaknaannya. Pertentangan itu hanya bisa dilihat dengan menghadirkan dua kutub kata antara kata “new” dan “normal.”

Kita seolah tidak menyadari kesatuan teks antara new dan normal. Kita juga lebih menekankan pada hegemoni makna dari kutub “normal” ketimbang “new” yang terpinggirkan, dalam istilah Derrida. Sebaliknya, kita harusnya memposisikan kutub “new” menjadi lebih dominan dan memahaminya sebagai sesuatu lain yang terabaikan.

Jacques Derrida, menawarkan pembacaan sekaligus metode untuk membongkar makna teks yang dikenal sebagai dekonstruksi. Dekonstruksi berarti membongkar sekaligus menyusun ulang dengan cara lain. Dekonstruksi juga diartikan penyangkalan atas sistem tanda yang tidak memungkinkan hadirnya oposisi biner.

Kesadaran dan makna itu tidak pernah tetap, ia berkeliaran dan mengambang di antara kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda. Bila kita membaca teks new normal, maka teks itu akan memberikan makna yang berbeda dari satu subjek dengan subjek lainnya. Lebih jauh dengan dekonstruksi, teks akan dapat dibaca dengan cara dan makna yang sama sekali berbeda.

Konsep Differance (Pembalikan)

Dengan menggunakan konsep Differance (Pembalikan) Derrida, penulis mencoba menunjukkan adanya hubungan objek teks yang mengambang dan bebas pada penanda (teks new normal) dan petanda (konsep new normal). Differance adalah konsep tentang makna dan bahasa yang bersifat arbiter dan tidak stabil.

Kita memahami kata new sebagai sesuatu yang baru, awal, belum lama selesai (jika merujuk KBBI). Sedangkan kata normal berarti sesuai dengan keadaan biasa, tidak ada perbedaan secara umum. Kemudian jika memeriksa konsep new normal sebagai petanda, maka jelas ada kontradiksi dalam pemaknaan. Konsep new normal yang dirujuk pemerintah adalah memberlakukan adaptasi baru dalam kondisi pandemi yang tidak berubah.

Ada konteks yang membuat makna new normal menjadi tidak stabil. Sehingga kita memahami petanda (konsep new normal) berlawanan dengan metafora new normal (penanda).

Selain itu dua kutub kata new dan normal sendiri mengalami kontradiksi. Tidak mungkin mencampuradukkan makna sesuatu yang baru dengan makna normal. Maka diperlukan konsep lain yang berlawanan dari dua kutub kata tersebut untuk mempertegas argumen adanya teks yang tidak stabil.

Penulis memasukkan konsep “kebiasaan” yang disebut oleh pemerintah sebagai pengganti diksi new normal. Kebiasaan akan menjadi sesuatu yang baru jika dilekatkan pada kata baru/new. Sedangkan kebiasaan juga akan bisa dikatakan kebiasaan lama jika kita sandingkan dengan kata normal.

Dengan begitu kita telah menyingkap ketidakstabilan teks new normal yang saling bertentangan. Sehingga pastilah teks new normal itu sendiri menggugurkan pengertian kita soal kewaspadaan. Dengan melihat teks sebagai suatu makna yang tidak stabil, maka pemahaman akan teks menjadi tidak memadai. Pada akhirnya membuat kita tidak benar-benar terikat pada konsep new normal.

Bahasa Sebagai Realitas

Membicarakan Derrida adalah membicarakan ketiadaan realitas, artinya yang nyata adalah teks dan bukan di luar teks. Kita mencapai dan memahami realitas melalui bahasa. Dengan demikian, realitas adalah bahasa itu sendiri.

Bahasa berupaya membahasakan realitas, namun keterbatasan bahasa sendiri membuat realitas itu memungkinkan untuk didekonstruksi. Oleh karena itu, istilah “new normal” di kala Pandemi Covid-19 adalah realitas yang sangat rentan didekonstruksi. 

Tidak ada yang bebas-teks. Dalam dekonstruksi, makna teks teks itu tergantung pada rangkaian dalam teks sebelumnya, sehingga kita memaknainya selalu bergantung pada konteks secara utuh dalam teks.

Pembacaan Derrida menekankan bahwa metafora new normal sebagai realitas harus dipahami dalam daya penyebaran yang bertentangan sebagai teks. Maka bahasa hendaknya benar-benar diproduksi dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan pemaknaan yang tidak stabil. Apalagi jika ia dituangkan dalam kebijakan di masa krisis.

***

*) Oleh: Ghozian Aulia Pradhana, PhD Student Media Studies University of Malaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES