Kopi TIMES

Berkurban Itu Melepas yang Dicintai

Jumat, 31 Juli 2020 - 12:35 | 81.63k
Zastrouw Al-Ngatawi, Budayawan.
Zastrouw Al-Ngatawi, Budayawan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salah satu ayat yang dijadikan pijakan pelaksanaan ibadah kurban adalah QS As-Shaffat;102: “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’” 

Dari ayat inilah muncul ritual pelaksanaan ibadah kurban di kalangan umat Islam. Pada ayat berikutnya Allah menggambarkan, bagaimana sikap Ibrahim dan Ismail yang pasrah dan sabar atas ujian yang diberikan Allah kepada mereka berdua. Yaitu menggantikan Ismail yang sudah siap melaksanakan perintah disembelih, dengan seekor binatang sembelihan.

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar (QS. Ash-Shoffat; 107)”. 

Allah juga menjelaskan kebahagiaan yang melimpah kepada Nabi Ibrahim sebagai balasan atas tindakannya berbuat kebaikan. Sejak saat itulah berkurban menjadi ritual yang disyariatkan Islam.

“Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.” (QS Ash-Shoffat; 108).

Ada beberapa makna yang bisa diambil dari peristiwa simbolik pelaksanaan ibadah kurban. Pertama, ibadah kurban merupakan ujian bagi kaum beriman. Melalui ritual kurban, Allah hendak memberi peringatan bahwa setiap kehidupan manusia akan diuji, termasuk mereka yang beriman, bahkan seorang Nabi.

Dijelaskan dalam ayat yang lain bahwa perintah menyembelih anak merupakan ujian/ cobaan yang berat, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata” (Q.S. Ash-Shoffat: 106); “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya.” (Q.S. Al-Baqarah: 124).

Kedua, Allah menguji hambanya yang beriman itu dengan berbagai bentuk dan cara. Namun satu hal yang menjadi sifat dasar ujian adalah mengguncangkan batin dan jiwa manusia yang sedang diuji. Semakin tinggi maqam seseorang semakin  berat ujian yang diberikan, artinya ujian yang diberikan semakin mengguncangkan jiwanya.

Namun demikian, jika orang tersebut sabar dan ikhlas menerima maka orang tersebut akan semakin tinggi derajadnya di sisi Allah, dan mendapat balasan dalam bentuk kesejahteraan yang melimpah.

"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim; Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS Ash-Shoffat; 109-110). 

Para mufassir mengaitkan perintah berqurban dengan upaya melepaskan hati dari berbagai bentuk cinta yang membelenggu sehingga bisa menjadi penghalang cinta terhadap Allah. Dalam tafsirnya al-Amtsal fi Tafsir Kitabillahi al-Munazzal, Syech Makarim Syirazi menyatakan, “Perintah menyembelih Ismail merupakan cara mengosongkan hati (qalb) Ibrahim dari cinta selain Allah SWT.

Perintah berkurban dengan menyembelih Ismail, yang merupakan simbol cinta selain kepada selain Allah, merupakan jalan agar bisa tawajjuh (tatap muka) kepada Allah SWT; Hal senada diungkapkan oleh Ibn ‘Ajibah dalam Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, maksud lain dari perintah menyembelih –dalam mimpi Ibrahim- adalah ketundukan, bukan penyembelihan Ismail itu sendiri.

Tafsir tersebut menunjukkan esensi dari berkurban sebenarnya adalah melepaskan segala bentuk kecintaan kepada selain Allah sebagai bentuk kepasrahan dan kecintaan kepada Allah. Artinya melalui ibadah kurban, manusia diperintahkan untuk mengorbankan rasa cinta pada jabatan, kekayaan, bahkan kepada anak dan keluarga serta berbagai kenikmatan yang bisa mendorong seseorang berpaling dari cinta kepada Allah.

Beberapa ulama juga menafsirkan bahwa berkurban pada hakekatnya adalah membunuh hawa nafsu yang disimbolkan melalui hewan kurban. Penyembelihan hewan kurban merupakan simbol penyembelihan nafsu, karena menurut Islam, orang yang tidak bisa mengendalikan nafsu itu seperti hewan. 

Disebutkan dalam Al-Qur’an: ”Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (Al-A’raaf: 179). Maksud dari ayat ini adalah orang-orang yang hanyut dalam kenikmatan duniawi, larut dalam kesenangan dan kecintaan dunia seperti binatang ternak yang bebas lepas menuruti nafsunya.

Mereka tidak mau mendengar perkara yang hak, tidak mau memperhatikan seruan Allah serta tidak mau melihat jalan hidayah.
Dalam ayat mengenai kurban, digunakan kata “menyembelih” suatu diksi yang terasa kasar dan keras. Penggunaan diksi "menyembelih” ini menggambarkan bahwa bafsu itu sangat liar dan ganas. Jika dibiarkan dia akan merusak apa saja, seperti binatang buas yang bisa membahayakan.

Oleh karenanya dia tidak cukup hanya dikendalikan, tetapi harus dibunuh dengan cara menyembelih, seperti menyembelih hewan. Selain itu, dengan menggunakan diksi “menyembelih” akan memberikan efek psikologis yang lebih menggetarkan karena menimbulkan kesan yang mengerikan.

Bisa dibayangkan jika perintah berkurban kepada Nabi Ibrahim disebutkan dengan diksi membuang, memisahkan atau bahasa lain maka efek psilologisnya kurang mengguncangkan, tapi dengan diksi “menyembelih” efek guncangan psikologis terasa lebih dahsyat.

Dari sini jelas terlihat bahwa spirit dari ritual kurban sebenarnya adalah kepasrahan total menjalankan perintah Allah dengan mengorbankan segala bentuk kenikmatan dan kecintaan kepada hal-hal yang bersifat duniawi dan syahwati. Jika ini diterapkan secara lebih luas, maka berkurban yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari berbagai godaan memperkaya diri dengan melakukan tindakan korupsi, rela melepaskan jabatan demi kemaslahatan, tidak mencintai anak secara berlebihan sehingga melupakan cinta kepada Allah.

Pendeknya, berkurban adalah melepaskan segala bentuk cinta duniawi demi menjalankan perintah ilahi, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim ketika harus menyembelih putra kesayangannya, Ismail, demi menjalankan perintah Allah.

Pemahaman balik dari spirit kurban adalah jika ada orang yang berkurban, tetapi belum bisa melepaskan diri dari kecintaan pada dunia, belum merasakan guncangan yang berarti dalam jiwanya melihat penderitaan sesama, hatinya masih tertaut pada harta, jabatan, anak dan keluarga, maka sesungguhnya dia belum benar-benar berkurban, meskipun dia telah memotong ratusan sapi.

Apalagi jika palaksanaan kurban tersebut justru untuk mempertahankan apa yang telah mereka miliki dan cintai. Untuk prestise dan kepentingan politis agar bisa mempertahankan jabatan dan reputasi di depan publik.

Meski membawa manfaat, namun berkurban yang seperti ini tidak akan membawa perubahan yang berarti, baik bagi pelaku maupun orang lain. Karena Hakekat berkurban adalah melepaskan apa yang dicintai demi menggapai ridho Ilahi. (*)

*) Penulis adalah Al-Zastrouw  Al-Ngatawi. Budayawan, Dosen Pasca Sarjana UNSIA Jakarta, Kepala UPT Makara Art Center UI Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Imam Kusnin Ahmad
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES