Kopi TIMES

Covid-19, Ruralisasi Kebiasaan dan Saatnya Kembali ke Desa

Jumat, 24 Juli 2020 - 18:00 | 89.89k
Tika Fitriyah, M.Hum, Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pemerhati Bahasa.
Tika Fitriyah, M.Hum, Dosen Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pemerhati Bahasa.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Setelah kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada awal Maret lalu, kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data yang dilansir dari situs resmi pemerintah terkait dengan Covid-19 (covid19.go.id) pada tanggal 22 Juli, kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 91.751 kasus. Jika kita melihat kurvanya, sampai saat ini belum melandai bahkan tembus lebih dari seribu per hari nya.

Indonesia yang sampai saat ini sudah dalam fase Adaptasi Kebiasaan Baru sebenarnya belum bisa dikatagorikan aman dari virus tersebut. Oleh karenanya, kewaspadaan masyarakat tetap harus ditingkatkan walaupun masyarakat sudah mulai beraktivitas seperti biasanya.

Berbagai kebijakan sudah dilakukan pemerintah dalam berbagai aspek kehidupan. Baik ekonomi, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Karena tidak diragukan lagi, kasus Covid-19 ini meluluhlantakkan semua sendi kehidupan masyarakat. Namun  masyarakat tidak boleh diam. Masyarakat harus tetap melanjutkan rutinitasnya seperti biasa, namun tetap mengedepankan protokoler kesehatan. 

Fakta menarik di awal penyebarannya, Covid-19 menginfeksi masyarakat urban atau masyarakat yang hidup di perkotaan. Dan ini tentu bukan tanpa sebab. Ada beberapa gaya hidup orang kota yang memang membuka peluang virus dapat masuk dengan bebas. Maka, tidak salah kiranya jika masyarakat urban melakukan ruralisasi dari segi kebiasaan atau gaya hidup. Ruralisasi yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perpindahan dari kota ke desa.

Masyarakat urban cenderung mengonsumsi makanan instan atau siap saji. Berbagai makanan yang dijajakan di mini market kerap menjadi cemilan sehari-hari. Dari segi nilai gizi, makanan tersebut tentu tidak sesehat makanan yang biasa dikonsumsi orang desa karena biasanya mengandung pemanis buatan, monosodium glutamate atau yang sering dikenal dengan msg, dan pengawet.

Makanan kemasan selain berdampak terhadap kesehatan manusia juga bisa berimbas pada keseimbangan alam. Dilansir dari liputan6.com pada tanggal 15 Juli, Indonesia ditetapkan sebagai Negara penghasil limbah plastik terbesar di Dunia setelah China. Hal ini tentu berkaitan dengan tingkat konsumtif masyarakat yang berlebihan dan pada akhirnya bisa merusak ekosistem laut dan mencemari bumi, karena sampah plastik termasuk sampah yang sulit hancur.

Jika kita bercermin kepada masyarakat pedesaan, mereka biasanya mengonsumsi makanan dari alam secara langsung tanpa melibatkan unsur-unsur buatan seperti makanan instan dan disajikan secara langsung tanpa menggunakan plastik. 

Konsumsi makanan berpengaruh besar pada imunitas tubuh dan seperti yang diketahui bahwa corona menyerang imunitas seseorang. Kebiasaan lain masyarakat kota yang memancing virus untuk masuk misalnya kebiasaan bekerja dan beraktivitas di tempat ber-AC. Mulai dari berangkat bekerja dengan menggunakan kendaraaan ber-AC, di kantor dan kembali lagi ke rumah yang juga menggunakan AC.

Baru-baru ini, pemerintah melalui Achmad Yurianto, yang waktu itu menjadi juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, mengajak masyarakat untuk beraktivitas di ruangan yang memiliki sirkulasi udara yang baik. Karena ternyata banyak kasus baru yang datang dari masyarakat perkantoran. 

Pada akhirnya, kini masyarakat yang awalnya berbondong-bondong ke perkotaan dan merasa bangga hidup di kota, mulai merindukan kembali nuansa pedesaan. Tidak heran jika wisata alam kini menjadi primadona bagi masyarakat urban. Keindahan pegunungan yang tidak bisa dinikmati di perkotaan menjadi kerinduan tersendiri bagi masyarakat yang kesehariannya terbiasa melihat menjulangnya gedung-gedung pencakar langit.

Masyarakat pedesaan memang dikenal akrab dan menyatu dengan alam. Mulai dari makanan yang mereka konsumsi sampai dengan keseharian mereka dilakukan di alam seperti berkebun, bercocoktanam, bertani. Begitu pula dengan anak-anak yang masih bebas bermain di alam terbuka sepanjang hari dan ketahanan fisiknya lebih kuat walaupun diterpa panas matahari.

Ruralisasi memang tidak lebih popular dari Urbanisasi yang merupakan antonimnya. Namun setidaknya mempopularkan ruralisasi dari segi perilaku bisa kita lakukan sebagai salah satu usaha menekan kasus Covid-19. Barangkali virus itu datang bukan tanpa alasan. Ia merupakan bentuk “protes” alam. Kini saatnya back to nature tidak hanya sebagai jargon saja, tapi menjadi kesadaran dan kebiasaan hidup setiap indivdu.

***

*) Oleh: Tika Fitriyah, Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES