Kopi TIMES

Komunikasi Demokratis di Tengah Konflik Politik

Kamis, 16 Juli 2020 - 22:17 | 238.51k
Ahmad Ma’mun, Mahasiswa IAIN Jember Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus Aktifis HMI Jawa Timur.
Ahmad Ma’mun, Mahasiswa IAIN Jember Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus Aktifis HMI Jawa Timur.

TIMESINDONESIA, JEMBERDemokrasi sudah mati, ketika komunikasi dan partisipasi masyarakat diberangus dengan dalih kekuasaan. Demokrasi sudah basi, ketika lingkungan dialihfungsikan dengan dalih investasi. Demokrasi harus terkapar, ketika para politisi dan organisasi sosial kemasyarakatan tidak bisa memecahkan konflik ke konfilk warga negaranya. Para praktisi berlomba-lomba studi Ilmu Politik untuk mencari kelemahan demokrasi nyata adanya

Pada prinsipnya, semua orang memahami bahwa demokrasi merupakan sistem bernegara yang mengutamakan kehendak rakyat, hal ini berangkat dari latar belakang kata demokrasi dan sosio-historis demokrasi itu sendiri, secara umum demokrasi ialah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Model pemerintahan demokrasi menekankan kebebasan kepada masing-masing warga negara untuk berpartisipasi dalam urusan kenegaraan, meliputi perumusan, pengembangan dan menentukan kebijakan melalui perwakilan dan seterusnya, kemudian lahir model-model demokrasi, sampai di Indonesia yakni demokrasi Pancasila.

Demokrasi dan Pancasila sama sama sebagai pandangan bernegara, tidak ada diferensiasi mencolok antar keduanya, kecuali untuk martabat kemanusiaan. Tidak perlu lagi, mendiskusikan mengapa Indonesia harus Demokrasi, dengan corak ragam budaya dan agama di penjuru-penjuru wilayah sudah cukup memberi jawaban rasa penasaran kita, serta sejarah nasional bangsa Indonesia.

Seiring perjalanan suatu bangsa, Gangguan dan konflik dalam negeri selalu ada pada setiap kesatuan negara, maka bagaimana memanfaatkan konflik menjadi konsensus dan integrasi nasional. Ralf Dahrendof pernah mengatakan bahwa, tubuh masyarakat mempunyai dua wajah, yakni konsensus dan konflik. Untuk menguji suatu integrasi masyarakat, konflik menjadi hal yang wajar di setiap wilayah. Maka, untuk menguji kedewasaan masyarakat, konsensus dari buah konflik dapat dijadikan tolak ukur sebagai perwujudannya, secara garis besar konflik dapat memunculkan konsensus dan integrasi (Ralf Dahrendof, 1959).

Kita bisa melihat contoh konflik panas Jepang dan Amerika Serikat sebelum perang dunia II, sehingga membentuk aliansi erat sampai sekarang. Pertikaian antar kedua negara tersebut berhasil melahirkan kesepakatan bersama, pasca kekalahan Jepang pada perang Pasifik, Jepang dan Amerika menandatangani peace treaty sekaligus security treaty di San Fransisco pada tahun 1951, aliansi keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat. Perdamaian dan kemajuan keduanya menjadi kiblat bagi negara-negara yang lain.

Sebab perdamaian dan kemajuan selalu lahir dari sikap bijaksana terhadap permasalahan di sekeliling kita, berusaha mencari jalan terbaik tanpa mengorbankan hak diri dan orang lain untuk kepentingan yang kurang baik, Konflik politik yang berkepanjangan menjadi penghambat kemajuan dan peradaban masyarakat. Hal begitu sangat rentan terjadi di negara berkembang.

Coba kita amati konflik yang terjadi di Indonesia dasawarsa ini, demontrasi meledak ditengah gejolak pro-kontra pemerintah dan masyarakat mengenai rancangan undang-undang yang berpotensi merenggut hak rakyat, dewan perwakilan rakyat berencana mengeluarkan undang-undang omnibus law, yang beberapa pasalnya dipastikan melanggar etika lingkungan untuk kepentingan tertentu, beberapa pakar hukum mengatakan apabila rancangan ini disahkan, akan sangat merugikan hak warganegara dan menguntungkan warga asing, pasal-pasal yang bertentangan merujuk kepada injeksi penanaman modal dari luar untuk kepentingan ekonomi luar. Itu berarti mencederai etika lingkungan untuk keperluan investasi dari luar.

Ternyata pemerintah tidak cepat tanggap terhadap protes masyarakat tersebut, belum sampai pada titik temu, beberapa minggu kemudian ditambah dengan kontroversi rancangan undang-undang haluan ideologi Pancasila, yang berhasil memancing amarah masyarakat muslim sebagai reaksi terhadap pemerintah, bahkan beberapa organisasi kemasyarakatan siap aksi besar besaran jikalau Undang-undang tersebut disahkan oleh pemerintah, meskipun beberapa aksi kecil sudah dilakukan di beberapa daerah. 

Dari sektor hukum, kesan yang nyata mengenai hukum di Indonesia ialah tumpul keatas dan tajam kebawah, keputusan perkara hukum selalu berpihak kepada yang beruang, atau penguasa, hukum seolah-olah menjadi harimau bagi lingkungannya, sering membuat masyarakat takut ketika berurusan dengan proses hukum, apalagi orang yang tidak punya otoritas, kecil kemungkinan untuk menerima keadilan di depan hukum.

Contoh kasus Novel Baswedan, seorang praktisi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di tengah tahapan menangani kasus korupsi, beliau dikebiri karena kapasitas kinerjanya, hingga disiram air panas ke wajahnya oleh aparat penegak hukum. Kejadian itu membuatnya mengalami masalah penglihatan setelah bertahun-tahun menjalani perawatan di luar Negeri, hal yang paling mengecewakan bagi masyarakat karena kasusnya tidak kunjung tuntas hingga berlarut-larut, mulai dari penyelidikan, tersangka dan kronologisnya terkesan ditarik ulur, serta proses eksekusi yang sangat lamban. Informasi terakhir bahwa hukuman terhadap pelaku telah menuai kontroversi lagi, karena terkesan sangat enteng, dari prosesnya yang panjang.

Beberapa konflik politik tersebut membuat pemerintah kewalahan, sehingga tidak ada satupun yang terselesaikan secara kemanusiaan, cara pemerintah menyelesaikan konflik yang sangat lemah, prosesnya selalu normatif sehingga terkesan bahwa negara tidak punya tindakan strategis untuk suatu konflik yang mengancam integrasi. Hal demikian berakibat fatal terhadap beberapa sektor kenegaraan kita, karena hukum, pendidikan, dan ekonomi merupakan buah dari kontrak politik, atau sedikit banyak terdapat politisasi didalamnya untuk kepentingan kemajuan. Maka bagaimana menggunakan otoritas kita semua untuk memecahkan konflik dan persoalan bangsa demi meraih integrasi dan konsensus nasional kembali. Cara untuk mengkomunikasikan penyelesaian masalah tanpa pertikaian, berangkat dari kesadaran pemerintah dan masyarakat.

Komunikasi demokraris di tengah konflik politik, untuk tujuan penyelesaian masalah, Indonesia dapat bercermin kepada konsep bernegara dari Jurgen Habermas, filsuf dan ilmuan sosiologi dari mazhab Frankfurt. Jurgen Habermas berusaha mengkontrsuksi paham negara hukum melalui paradigma komunikasi, teori yang paling populer tentang pandangan bernegara ialah teori diskursus dan tindakan komunikatif. Maksud pokok teori ini ialah bagaimana mencari tindakan komunikatif yang memungkinkan diskusi rasional tentang persoalan-persoalan publik, dan pengambilan keputusan secara demokratis.

Konsep ini bertujuan untuk mencapai konsensus atau keputusan intersubjektif melalui percakapan-percakapan rasional, tanpa mengorbankan hak dan partisipasi warganegara seperti, perang saudara antar suku dan ras, konflik antar warganegara yang mempunyai latar belakang berbeda budaya, warna kulit dan lain-lain, begitupula konflik pemerintah dan masyarakat yang mengancam integrasi, dapat diselesaikan melalui tindakan komunikatif atau diskursus.

Metode bernegara ini termasuk relevan untuk negara hukum dengan konflik yang cukup padat, dengan penyelesaian masalah melalui komunikasi rasional antar berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah disini berperan sebagai penyedia forum komunikasi atau diskursus, dengan syarat dan ketentuan berlaku, Jurgen Habermas mesyaratkan beberapa prinsip penting yang harus dipenuhi oleh forum diskursus tersebut, dalam menyampaikan gagasan, peserta dilarang untuk memihak kepada seseorang dan institusi tertentu, kecuali jika itu kesepakatan bersama.

Prinsip selanjutnya peserta wajib meninggalkan identitasnya ketika berada di forum diskursus, mulai dari pejabat pemerintah, tokoh agama, dan lain-lain, artinya semua yang masuk pada forum tersebut harus bersifat netral dan sejajar, tidak ada identitas yang bisa dijadikan otoritas untuk mendominasi forum. Prinsip terkahir ialah kesadaran moral individu para peserta diskursus, maka tugas terakhir dari pemerintah ialah menjadikan moral individu sejajar dengan hukum, sebut saja institusionalisasi moral. Untuk kelancaran forum tersebut, pemerintah memang berperan banyak didalamnya, proses menuju kesepakatan bersama yang menggunakan semua partipasipasi masyarakat, akan melahirkan keputusan yang bijaksana pula. Program-program pemerintah tidak pernah lepas dari partisipasi masyarakat dalam realisasinya. 

Jurgen Habermas percaya bahwa tindakan komunikatif atau diskursus memuat kerja sama, dari kerja sama tersebut memungkinkan integritas dan stabilitas sebuah masyarakat. Karena tindakan komunikatif antarwarganera akan mengarahkan kepada konsensus nasional. konsensus atau kesepakatan dapat dicapai hanya jika memenuhi tiga klaim keshahihan, pertama, klaim kebenaran atau objektif, artinya peserta diskursus menyampaikan gagasannya berdasarkan realitas yang sebenarnya, berkomunikasi dengan apa adanya, contoh “di luar sudah gelap”. Kedua, klaim kejujuran atau subjektif, artinya peserta diskursus berkomunikasi berdasarkan apa yang dirinya sendiri rasakan, tidak berkomunikasi melalui perspektif orang lain, contoh “saya sakit gigi”. Ketiga, klaim ketepatan atau intersubjektif, pada pembahasan ini, peserta diskursus harus mengedepankan komunikasi yang menjadi hukum sosial, artinya, suatu pernyataan tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat banyak, contoh “mencuri itu salah”.

Bahkan ketika hendak memutuskan hukum, maka semua yang akan menerima konsekuensi keputusan tersebut harus terlibat, contoh keputusan larangan merokok harus disetujui oleh semua elemen yang terlibat dalam rokok, mulai dari perancang undang-undang (DPR), pemerintah, dan perokok, semua yang bersangkutan adalah mereka yang mungkin kena imbas. Sehingga kecil kemungkinan ada kontroversi. Melalui  tindakan komunikatif ini, dipercaya dapat menyelesaikan persoalan-persoalan publik. Diskusi tentang hal-hal yang menjadi pelanggaran dalam diskursus akan dibahas pada kesempatan berikutnya.

Tindakan komunikatif tersebut merupakan bagian dari strategi demokrasi, ketika itu direalisasikan akan terjadi peningkatan partisipasi masyarakat terhadap persoalan-persoalan bangsa, baik secara politik, sosial, ekonomi dan budaya. Dan meminimalisir kontroversi antara pemerintah dan masyarakat, serta aparat penegak hukum, sehingga semua sektor berjalan sesuai role of model masing-masing, dengan mengindahkan kesadaran moral individu.

Bangsa Indonesia bisa belajar menyikapai persoalan dengan dewasa dan bijaksana, untuk kepetingan kemajuan. Semoga pembahasan ini bisa menjadi bahan pertimbangan kita bersama. (*)

***

*) Oleh : Ahmad Ma’mun, Mahasiswa IAIN Jember Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam sekaligus Aktifis HMI Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES