Kopi TIMES

Maraknya Hoaks di media Sosial serta Antisipasinya

Rabu, 15 Juli 2020 - 12:28 | 136.10k
Hanifuddin Musa, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.
Hanifuddin Musa, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Seiring perkembangan zaman, teknologi komunikasi dan informasi (TIK) berkembang sangat drastis. Dengan keberagaman media termasuk di dalamnya media online mempermudah khalayak mengakses sebuah informasi namun, pengaruh teknologi globalisasi telah membawa masyarakat ke era modernisasi yang dianggap lebih cerah dan menjanjikan sehingga terkadang melampaui batas-batas kemanusiaan seperti penyebaran berita bohong (hoaks) sering diadopsi masyarakat demi kepentingan pribadinya.

Maraknya Berita hoaks

Kini informasi atau berita yang dianggap benar jarang ditemukan masyarakat. Survei mestel 2017 mengungkapkan bahwa masyarakat mengonsumsi berita bohong setiap hari lebih dari satu kali. Awalnya masyarakat mencari kebenaran atas informasi melalui media menstream, namun berita hoaks saat ini masuk di jalur lain yaitu media sosial dan diadopsi begitu saja oleh media menstream tanpa dikaji (Jumadu, 2017). Penyebaran berita bohong ditelan begitu saja serta dijadikan kiblat tanpa ditelusuri kebenarannya.
 
Saat ini penyebaran informasi atau berita bohong sangatlah marak. Survei mestel 2017 mengungkapkan bahwa dari 1.146 responden, 44,3 persen di antaranya menerima berita hoaks setiap hari dan 17,2 persen menerima lebih dari satu kali dalam setiap hari . Adapun saluran yang paling banyak digunakan dalam penyebaran bertita bohong adalah Media Sosial (medsos). Hal ini membuat resah serta membingungkan masyarakat dengan pemberitaan yang tidak jelas kebenarannya dan tidak bertanggung jawab.
 
Dalam hal ini, media sangat memiliki kekuatan penuh yang dapat mempengaruhi pesan-pesan kepada publik. Dengan hal ini, informasi di media dapat mendikte apa yang ingin dan seharusnya dilakukan sehingga efek ini tidak hanya berlaku pada individu saja, melainkan juga kepada publik secara keseluruhan yang mengakses media, khalayak akan terpapar oleh konten kemudian akan secara sadar maupun tidak sadar konten yang dikreasikan akan dimakan oleh khalayak.

Kalau kita kaji, fenomena hoaks di Indonesia dilakukan untuk menebar kebencian serta menanamkan fitnah kepada orang yang disasar oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan tujuan terbentuknya opini-opini baru kepada orang yang disasarnya. Adapun yang sering terjadi banyaknya kemunculan fenomena hoaks adalah pada saat pemilhan, entah bupati, gubenur, hingga sampai kepemilihan presiden.

ini timbul beragam berita hoaks serta beragam kebencian seperti hujjatan yang timbul di media sosial pun juga begitu banyak. Sering ditemui antar kalangan yang saling menjelek-jelekkan, baik dari kalangan intelektual, sampai kalangan awam pun juga ikut berperang. Dengan demikian, berita hoaks masih sering dimainkan layaknya seperti petasan yang membuat resah namun membuat bahagia.

Dalam era tersebut manusia tidak lagi memikirkan hakikat kemanusiaan akan tetapi lebih berorentasi pada kekuatan untuk menjatuhkan, mendapatkan kepuasan dan lain sebagainya. Sehingga, yang terjadi Hedonisme, penindasan seperti hidup dalam hutan yang tak beraturan. 

Mengantisipasi hoaks 
   
Guru besar Ilmu Komunikasi Deddy Mulyana mengatakan (dalam Rudi, 2017) bahwa karekter asli masyarakat Indonesia tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat. Kondisi itu merupakan salah satu faktor mudahnya masyarakat menelan hoaks yang disebarkan secara sengaja. Sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita dan apa yang dibicarakan belum tentu benar. Deddy Mulyana juga melanjutkan, kebanyakan masyarakat juga tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data, apalagi berbicara soal kekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri dan politik adalah bidang yang memiliki aspek tersebut. Tidak heran kalau hoaks sering terjadi pada tema politik. Khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan seperti pilkada.        

Maka dari itu, cara mengatasi berita atau informasi hoaks bisa dilakukan dengan dua sisi yaitu sisi khalayak virtual dan sisi khalayak regulasi. Dari sisi khalayak perlu adanya proses literasi media baru. Hal ini penting sebab tidak sedikit audien yang tidak tahu apa-apa juga terlibat dalam penyebaran berita hoaks. Sudah sangat banyak beredar berita hoaks melalui chatting online seperti Whatsapp, LINE, Telegram dan lain-lain.

Dari sisi regulasi perlu punishment yang kuat, tidak hanya berfokus pada sipenyebar hoaks. Dari sisi hukum tetap perlu UU ITE. Namun perlu juga disediakan wadah atau aplikasi atau web yang didalamnya masyarakat virtual bisa melapor , mengecek kebenaran berita. Ini memang rumit, tapi peran negara harus hadir ditengah keresahan dan kebingungan atau ragu terhadap informasi atau berita yang diterimanya. (Didik Haryadi, Wawancara, 2017). 

Menurut mantan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, untuk mengatasi berita hoaks dan ujaran kebencian di media sosial dan website, monitoring ataupun penyaringan tidak bisa menggunakan cara yang sama. Untuk situs pemerintah, bisa langsung dilakukan pemblokiran, namun untuk media sosial, kerjasama dengan penyedia layanan harus dilakukan terlebih dahulu. Bisa juga melakukan sosialisasi dengan masyarakat jika ditemui berita hoaks atau ujaran kebencian maka akun media sosial yang ditemui tersebut bisa langsung mengambil tindakan. Dengan kata lain, situs yang berinteraksi menyebarkan beirita hoaks dan ujaran kebencian diblokir, sedangkan pada medium media sosial akun-akun yang bertanggung jawab tersebut akan ditutup. 
    
Ryan Ariesta 2013 mengatakan bahwa solusi yang tepat untuk mengatasi dampak hoaks adalah pertama, berhati-hati dengan judul berita atau informasi yang provokatif, karena setiap judul yang memuat hal tersebut akan menyebabkan masyarakat mudah untuk terprovokasi dengan cepat. Kedua, cermat dalam melihat sumber berita. hal tersebut penting untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar selalu melihat apakah sumber berita tersebut terjadi pada masa lampau, atau hanya berasal dari sumber yang tidak jelas asalnya.

Ketiga, periksa fakta dan keaslian sebuah berita, karena berita adalah suatu informasi yang memuat faktual dan aktual. Dengan hal ini masyarakat dapat diharapkan dapat melihat bahwa berita itu mengandung sebuah fakta yang relevan dan dengan data yang cukup. Keaslian juga merupakan hal yang penting dalam memilih berita. Masyarakat jangan mudah tertipu terhadap berita yang hanya merupakan aksi provokatif di media sosial.

***

*)Oleh: Hanifuddin Musa, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_______
*)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES