Kopi TIMES

Covid-19, Tragedy of The Commons, dan Tindakan Kolektif

Selasa, 14 Juli 2020 - 16:07 | 231.99k
Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.
Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pandemi Covid-19 telah menciptakan tragedy of the commons, suatu kondisi di mana setiap individu mengutamakan kepentingan pribadinya, alih-alih memilih tindakan yang diperlukan untuk kebaikan bersama. 

Tragedi ini sebetulnya bisa dipotret saat darurat kesehatan pertama kali diumumkan di Indonesia. Beberapa orang berusaha menimbun Alat Pelindung Diri (APD) untuk melindungi mereka dari kemungkinan tertular oleh virus. Dampak penimbunan ini tidak main-main, bukan hanya merugikan Orang Dengan Risiko (ODR), namun juga mengancam nyawa tenaga kesehatan karena semakin langkanya APD.

Tragedi ini juga dapat dilihat saat beberapa orang memilih beraktivitas di luar rumah dan tampak mengabaikan dampak mengerikan dari penyebaran virus. Tinggal di rumah memang bermanfaat bagi kebaikan bersama, tetapi tidak sejalan dengan kepentingan pribadi dari setiap individu. 

Untuk mencegah tragedi ini, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penutupan aktivitas ekonomi dari adanya kebijakan PSBB ini menyakitkan bagi pelaku ekonomi, tetapi diperlukan untuk mengisolasi penyebaran virus. Tanpa  kebijakan ini, jumlah orang yang terinfeksi dapat melampaui infrastruktur kesehatan. 

Tetapi, kebijakan ini juga menimbulkan konsekuensi yang cukup berat bagi pekerja harian yang notabene memiliki tabungan yang terbatas. Sebagian besar dari mereka tidak dapat bertahan hidup sebagai akibat dari kehilangan pendapatan dalam jangka waktu yang cukup lama.

Pada titik ini, pemerintah selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk masyarakat dengan segala keterbatasan informasi yang mereka miliki. Dengan semakin banyak data yang diperoleh secara bertahap.

Lalu, bagaimana kebijakan publik dapat memecahkan persoalan tragedy of the commons?

Setidaknya, pemikiran yang digagas oleh Elinor Ostrom, perempuan pertama peraih Nobel Ekonomi pada tahun 2009, dapat membantu kita memahami perumusan kebijakan publik yang relevan pasca pandemi Covid-19.

Ostrom menunjukkan bahwa kecenderungan individu tidak selalu mengedepankan kepentingan pribadi melampaui kepentingan umum. Ia kemudian menunjukkan bahwa tindakan kolektif bisa diambil oleh suatu komunitas demi menghindari tragedy of the commons, tanpa memerlukan aturan yang bersifat top-down.

Dalam konteks tindakan kolektif, beberapa bukti menunjukkan bahwa orang Indonesia telah belajar untuk bersatu di masa-masa sulit. Bukti ini sejalan dengan adanya fakta bahwa orang Indonesia mampu mengambil tanggung jawab sekaligus membantu siapapun yang membutuhkan.

Pada tahun 2018, Charities Aid Foundation (CAF) merilis Indonesia merupakan negara dengan tingkat donasi dan kedermawanan tertinggi di dunia. Indonesia juga merupakan negara dengan modal sosial nomor empat dan partisipasi masyarakat sipil nomor satu di dunia berdasarkan rilis yang dikeluarkan oleh Legatum Institute pada tahun 2019.

Pada level akar rumput, contoh konkret dari tindakan kolektif ini bisa dilihat dari maraknya kampanye crowdfunding yang ditelurkan platform lokal seperti kitabisa.com untuk menyelamatkan mereka yang terdampak Covid-19. Kampanye ini mencakup pengumpulan dana untuk menunjang keberlangsungan pekerja sektor informal, seperti penjual jajanan dan pengemudi ojek. Selain itu, tindakan kolektif juga bisa ditemukan pada pengiriman hasil inovasi perguruan tinggi ke rumah sakit yang sedang kekurangan alat kesehatan.

Meskipun begitu, tindakan kolektif ini masih seringkali disepelekan. Sekurang-kurangnya, hal ini bisa dilihat dari kebingungan para pengampuh kebijakan dalam mengoptimalkan tindakan kolektif dari masyarakat sipil, termasuk bagaimana menggerakkannya untuk mencapai tujuan pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih baik pasca pandemi Covid-19. 

Sejalan dengan gagasan yang dicetuskan Ostrom, tindakan kolektif tidak cuma mengandalkan niat baik dari masing-masing individu. Lebih dari itu, tindakan kolektif efektif dalam mencapai tujuan pembangunan selama beberapa faktor dipertimbangkan dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan. 

Dalam konteks pasca pandemi Covid-19, ada tiga faktor yang diperlukan untuk menjamin bekerjanya tindakan kolektif. Pertama, perlunya menentukan batasan yang jelas mengenai kepemilikan bersama (barang yang menjadi milik publik) dan siapa saja pihak yang boleh mengakses.

Kedua, perlunya memastikan bahwa mereka yang menggunakan sumber daya dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Ketiga, perlunya menyepakati kontrak sosial sehingga mekanisme reward and punishment dapat dilakukan untuk mendukung keberlangsungan tindakan kolektif.

Bukan cuma di Indonesia, tren kepemimpinan global menunjukkan lemahnya pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam percakapan di ruang publik selama pandemi Covid-19. Akibatnya, masyarakat tidak cukup memiliki kekuatan dalam menuntut pertanggungjawaban terhadap pengampuh kebijakan. 

Beberapa pemerintahan di berbagai negara juga cenderung gagal mengklarifikasi apa makna dari aturan bagi setiap individu dan bagaimana konsekuensinya bagi mereka yang melanggar aturan. Pada ujungnya, konflik pun tidak dapat dihindarkan, dan, pada saat yang sama, apakah pelanggaran tersebut telah diselesaikan secara adil? Sayangnya, hampir tidak ada jawaban yang meyakinkan soal ini.

Dalam jihad melawan pandemi Covid-19 ini, mari kita sekali lagi menengok nasihat lawas: Kemenangan hanya bisa diraih dari kebaikan-kebaikan yang terorganisir !

***

*)Oleh: Hidsal Jamil, Peneliti di Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan dan Kerakyatan (PKEPK) Universitas Brawijaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES