Kopi TIMES

Membangun Peradaban Meritokrasi di Era Bonus Demografi

Senin, 13 Juli 2020 - 15:50 | 107.74k
Matheus Gratiano, MPA, Dosen Kebijakan Publik FISIPOL – Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
Matheus Gratiano, MPA, Dosen Kebijakan Publik FISIPOL – Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Meritokrasi secara harafiah berasal dari kata merit yang artinya kebaikan atau manfaat dan kratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan. Istilah meritokrasi pertama kali ditulis Michael Young dalam bukunya, The Rise of the Meritocracy (1958).  Meritokrasi mulanya merujuk kepada bentuk sistem politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang berprestasi atau berkemampuan untuk menduduki suatu jabatan tertentu dalam pemerintahan.  

Dalam definisi praktis dunia kerja, meritokrasi adalah proses promosi dan rekrutmen karyawan berdasarkan kemampuannya/keahlian/prestasi dalam melaksanakan tugas, bukan berdasarkan latar belakang etnik, koneksi, status sosial, afiliasi politik, gender, ataupun agama. Meski banyak orang menganggap sistem ini cukup adil karena memberikan peluang kepada mereka yang berprestasi untuk mengemban jabatan tinggi, namun tidak luput dari kritik karena sistem ini dianggap sebagai bentuk ketidakadilan yang kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan menonjol.

Jalan Panjang Mewujudkan Meritokrasi

Di negara-negara maju seperti Cina, Jepang, Korea, Malaysia dan Singapura  sistem meritokrasi telah diterapkan sejak beberapa dekade yang lalu. Cina misalnya telah mulai membangun peradaban meritokrasi sejak zaman Confucius yaitu pada  abad ke-6 Sebelum Masehi. Menurut Confucius, “Mereka yang memerintah harus menjabat karena prestasi dan bukan dari status warisan”. Bahkan menurut Plato dalam karyanya berjudul Republic, “pemimpin haruslah orang-orang yang bijaksana dan karenanya penguasa harus dari raja-raja filsuf.”

Kelebihan dari meritokrasi adalah semua individu memiliki peluang yang sama, berkurangnya praktek KKN, individu yang mendapat penghargaan akan merasa dihargai dan setiap individu akan bekerja keras untuk mendapatkan penghargaan. 

Sementara di Indonesia harus kita akui bahwa pembangunan peradaban meritokrasi masih menjadi perjuangan besar yang hingga saat ini belum terwujud, meskipun ada beberapa tokoh / pemimpin panutan baik ditingkat nasional maupun lokal yang bisa dikategorikan sebagai pemimpin meritokrasi seperti Basuki Tjahaja Purnama / Ahok (Mantan Gubernur DKI Jakarta), Susi Pudjiastuti (Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan dari Kabinet Kerja 2014-2019 ), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya).

Belum terwujudnya praktik meritokrasi di Indonesia terlihat dari masih maraknya praktek-praktek KKN hingga praktek-praktek politik kekinian yang masih belum sepenuhnya mendukung tumbuh kembangnya proses demokratisasi menuju terwujudnya peradaban meritokrasi seperti politik identitas, politik dinasti, politik kartel, politik transaksional, politik senioritas dan politik monopoli. Praktek – praktek yang tidak sehat tersebut selain merupakan racun demokrasi, juga menghambat proses kreativitas bangsa terutama dalam upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Peradaban meritokrasi tidak akan bisa tumbuh subur di alam Indonesia dimana masih terjadi kesenjangan kesejahteraan dan kesenjangan edukasi.

Dampak Era Bonus Demografi Indonesia 

Pada 2030-2040, Indonesia diprediksi akan mengalami masa bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif (berusia 15-64 tahun) lebih besar dibandingkan penduduk usia tidak produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan sebesar 297 juta jiwa. (Sumber : https://www.bappenas.go.id). 

Bonus demografi  memiliki nilai positif dan keuntungan besar bagi pembangunan apabila dikelola secara profesional namun juga  memiliki dampak negatif pada upaya pembangunan ketika negara tidak mempersiapkan diri dengan baik dalam menyongsong periode tersebut. Banyak negara berhasil memaksimalkan bonus demografi yang terjadi di negaranya, seperti Korea Selatan,  Malaysia, Thailand namun ada juga yang gagal memaksimalkan periode bonus demografi tersebut seperti di negara-negara Benua Afrika.

Negara-negara yang sukses tersebut karena Pertama Meningkatkan kualitas pendidikan dan pemertaan pendidikan untuk semua, Kedua Memperluas lapangan kerja, dan Ketiga Melakukan sosialisasi secara masif tentang dampak-dampak bonus demografi. Oleh karena itu, jika kita ingin membentengi bangsa kita dari dampak-dampak negatif yang ditimbulkan oleh periode bonus demografi ini maka kita juga harus dapat belajar untuk melakukan hal yang sama.

Tantangan dan Solusi

Menghadapi periode bonus demografi ini, Indonesia memiliki beberapa tantangan untuk mewujudkan SDM yang unggul, kompeten, dan berdaya saing yakni Pertama dalam kaitannya dengan ketenagakerjaan, profil angkatan kerja masih minim keterampilan (60 persen hanya lulusan SD-SMP ). Konsekuensinya tenaga kerja kita lebih banyak terserap pada industri padat karya.

Kedua ada perubahan proyeksi kebutuhan skill-skill baru atau kombinasi skill yang harus dimiliki angkatan kerja  berhadapan dengan dunia kerja yang terus berubah terutama memasuki era Revolusi Industri  4.0. Skill-skill tersebut adalah critical thinking, creativity, collaboration, communication, literacy, productivity, leadership dan social skill. Ketiga ada beberapa pekerjaan atau profesi diprediksikan akan hilang dalam menyongsong era Revolusi Industri  4.0 seperti guru/dosen, kasir, Travel Agent, telemarketing, pustakawan, penerjemah, pekerja pabrik, jurnalis, akuntan, teller sementara ada juga pekerjaan-pekerjaan baru yang dibutuhkan dimasa depan yakni, ahli matematika, programmer, ahli pemasaran, perancang busana, engineer, ahli kesehatan, konsultan keuangan, analis data, penulis dan influencer. Keempat, dunia pendidikan kita saat ini masih belum benar-benar siap untuk beradaptasi dengan tuntutan kebutuhan masa depan terutama untuk meng-improve skill-skill baru sesuai kebutuhan dunia kerja. 

Dari uraian-uraian tersebut kita mestinya bisa tiba pada kesepakatan bersama bahwa pembangunan peradaban meritokrasi Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan dengan berbasis pada kompetensi dan karakter. Solusinya adalah harus ada kebijakan pendidikan nasional yang memungkinkan sekolah-sekolah benar-benar menjadi taman yang indah dan menyenangkan selain untuk memberikan bekal pendidikan/pengetahuan juga untuk menumbuhkan dan mengembangkan karakter. Karakter atau kumpulan sifat yang baik itu seperti kejujuran, kerja keras, disiplin, optimisme, sportivitas, toleransi, sikap inklusif, menghargai pendapat orang lain, altruisme, filantropi, harmoni dan gotong royong. 

Akhirnya, sebuah pepatah Cina mengatakan taman bunga yang indah bisa dirusakkan oleh tangan seorang perompak tetapi tidak ada kekuatan yang bisa  menunda tibanya sebuah musim semi. Selamat datang musim semi peradaban meritokrasi Indonesia. 

***

*) Oleh: Matheus Gratiano, MPA, Dosen Kebijakan Publik FISIPOL – Universitas Widya Mataram Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES