Kopi TIMES

RUU HIP Asas Kepentingan?

Sabtu, 11 Juli 2020 - 16:33 | 129.66k
Hadaina, Mahasiswi Universitas Padjadjaran
Hadaina, Mahasiswi Universitas Padjadjaran

TIMESINDONESIA, BANDUNGRUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang belum surut untuk terus diperbincangkan. Pada Rapat Paripurna 12 Mei 2020, RUU ini disepakati untuk dibahas sebagai inisiatif DPR. RUU ini dibawa ke tingkat paripurna setelah didukung tujuh fraksi dalam rapat panja di Badan Legislasi (Baleg). Setelah disepakati dalam rapat Paripurna, draf RUU HIP kemudian dikirimkan ke pemerintah. DPR sementara menunggu surat presiden (surpres) dan daftar inventaris masalah (DIM) sebelum memulai pembahasan. Saat DPR menunggu jawaban dari pemerintah, RUU ini justru menjadi polemik di masyarakat.

RUU HIP disambut oleh banyak penolakan di kalangan masyarakat. Penolakan pertama datang dari Front Pembela Islam (FPI). Ormas Islam besutan KH Rizieq Shihab tersebut menyatakan menolak RUU HIP karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme.

Penolakan serupa juga dilontarkan oleh Ketua Umum Pimpinan GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas yang menganggap bahwa RUU ini belum mencantumkan secara jelas Ketetapan (Tap) MPRS XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Yakni pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah NKRI bagi PKI dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. GP Ansor juga meminta DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila ini.

Penolakan juga dilontarkan oleh Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU Rumadi Ahmad. Dia berpendapat bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak memiliki urgensinya. “Setelah membaca Naskah Akademik (NA) dan draf RUU HIP yang beredar, saya tidak melihat urgensi RUU ini”.

Sebelumnya, MUI pada tanggal 12 Juni 2020 melalui Dewan Pimpinan MUI Pusat dan Dewan MUI Provinsi Se Indonesia telah mengeluarkan maklumat yang terdiri atas 8 poin di antaranya adalah protes atas tidak dicantumkannya Tap MPRS Nomor XXV/ 1966 ke dalam RUU HIP, adanya tafsiran baru dalam RUU HIP justru telah mendegradasi eksistensi pancasila, memeras pancasila menjadi trisila lalu menjadi ekasila yakni Gotong Royong”, mengingatkan kepada fraksi-fraksi DPR untuk mengingat kembali sejarah kelam yang telah ditorehkan oleh PKI terhadap bangsa ini, mencurigai konseptor RUU ini adalah oknum yang ingin membangkitkan kembali PKI, mengimbau kepada seluruh umat Islam untuk waspada terhadap penyebaran paham komunis, serta mendukung penuh keberadaan TNI sebagai penjaga kedaulatan negara dan jika maklumat ini diabaikan maka MUI akan menghimbau seluruh umat islam indonesia untuk bersatu dengan segala upaya konstitusional untuk menolak penyebaran paham komunisme.

Wakil Ketua Umum MUI KH Muhyiddin Junaidi mengatakan, sesungguhnya RUU HIP tidak dibutuhkan saat ini pada waktu negara sedang berupaya maksimal mengatasi masalah pandemi Covid-19. “Sebanyak 80 persen isi RUU HIP kontradiksi dan 20 persen agak benar. Maka MUI bukan hanya menolak tidak dimasukkannya Tap MPRS Nomor XXV/ 1966 ke dalam RUU HIP. Tetapi MUI menolak seluruh isi RUU HIP itu karena satu sama lain saling kontradiksi dan secara tidak langsung mendegradasi Pancasila itu sendiri,".

Apabila merujuk kepada definisi ideologi sebagai falsafah dan dasar negara, maka jelaslah bahwa RUU HIP atau Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila merupakan sesuatu yang tidak layak untuk disahkan atau bahkan untuk sekedar dibahas dan dipertimbangkan, karena alasannya untuk membentuk ataupun memperbarui haluan ideologi Indonesia yaitu Pancasila merupakan sebuah pelanggaran dan pengkhianatan kepada Pancasila itu sendiri.

Selain kecacatan dari segi landasannya, RUU HIP juga banyak mengandung kecacatan dari sisi substansi hukum yang multitafsir dan cenderung mengarah kepada tindakan otoriter, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soeharto dalam masa kepemimpinan Orde Baru. Soeharto ketika itu juga melakukan beragam upaya untuk menafsirkan (mengindoktrinisasi) Pancasila kepada masyarakat, salah satu upaya yang dilakukannya adalah melakukan penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengalaman Pancasila) sebagai panduan baku masyarakat dalam berperilaku.

Hal ini mirip dengan tujuan dibuatnya RUU HIP sebagaimana yang tertulis dalam naskah akademiknya, yaitu “sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional...” Keberadaan BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) saat ini juga mirip dengan keberadaan BP7 (Badan Pembina, Pendidikan, Pelaksanaan, Pedoman, dan Pengalaman Pancasila) pada masa Orde Baru.

Berdasarkan hal ini yang mana telah jelas kecacatan RUU HIP bahkan dari akarnya. Ditambah lagi jika mengingat situasi Indonesia hari ini yang masih bergulat dengan jumlah korban positif Covid-19 yang terus meningkat setiap harinya, jelaslah RUU HIP tidak memiliki urgensi sama sekali. Maka patutlah dipertanyakan jika Rezim Jokowi hari ini tetap bersikukuh melakukan pembahasan bahkan hingga mengesahkan RUU HIP, sebenarnya untuk siapa RUU HIP ini diberlakukan? Benarkah untuk keutuhan seluruh bangsa dan negara, atau justru hanya sekedar pemulus jalan bagi kepentingan mereka yang memang “berkepentingan.”

Dengan adanya RUU HIP tersebut semakin membuktikan berjalannya sistem kapitalisme di negeri ini. Tidak benar-benar bertujuan untuk memenuhi hajat dan kebutuhan rakyat yang padahal ada banyak yang mesti dipikirkan daripada RUU HIP ini. 

***

*)Oleh: Hadaina, Mahasiswi Universitas Padjadjaran.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES