Kopi TIMES

Dilema Jabatan Wakil Kepala Daerah

Sabtu, 11 Juli 2020 - 13:34 | 116.21k
Putra Mangaratua Siahaan, S.Sos, Pemerhati Sosial Politik, Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. (Grafis: TIMES Indonesia)
Putra Mangaratua Siahaan, S.Sos, Pemerhati Sosial Politik, Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SUMSEL – Beberapa hari lalu kita dikejutkan pemberitaan protes yang dilakukan Wakil Bupati Dairi Jimmy Andrea Lukita Sihombing saat acara pelantikan pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Kabupaten Dairi Provinsi Sumatera Utara. Video protes Wakil Bupati Dairi itu kini viral di media sosial.

Menurut ceritanya, Jimmy datang dan langsung naik ke panggung saat Sekretaris Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Dairi, Horas Pardede,  memulai membacakan nama pejabat yang akan dilantik saat itu. Pada intinya, Wakil Bupati berusia 28 tahun ini melakukan protes karena tak dilibatkan sedikit pun dalam tahapan seleksi jabatan pimpinan tinggi pratama eselon II. Tak sampai di situ, ia juga tak diundang saat acara pelantikan.

Hubungan kurang harmonis Bupati Dairi Eddy Keleng Ate Berutu dengan Wakilnya Jimmy Sihombing yang belum genap dua tahun memimpin Kabupaten Dairi ini diduga sudah berlangsung cukup lama. Dikabarkan karena sering tidak dilibatkannya Wakil Bupati dalam mengambil keputusan.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung menyisakan berbagai persoalan yang dinilai pelik dan mempengaruhi kemajuan daerah. Mulai dari praktik politik transaksional hingga pada hubungan disharmonisasi  pasangan Kepala Daerah.

Ketidakcocokan  antara Kepala Daerah dan Wakilnya bukanlah hal baru. Sejarah telah mencatat di Indonesia selalu terjadi persaingan untuk memperebutkan pengaruh, simpati, dan kekuasaan antara Kepala Daerah dan Wakilnya. Permasalahan ini hampir ada di setiap Kabupaten/Kota Provinsi di Indonesia. Bahkan dapat dipastikan mungkin hampir lebih dari 50 persen pasangan Kepala Daerah tidak akur sampai habis masa jabatannya.

Diduga ada semacam kesengajaan dilakukan Kepala Daerah agar Wakilnya tidak terlalu dominan dalam melakukan tugas-tugas yang diamanatkan, bisa jadi guna kepentingan kontestasi pemilihan berikutnya atau demi kepentingan lainnya.

Wakil Kepala daerah dan Kepala Daerah pada hakikatnya satu paket kesatuan yang tak terpisahkan. Ketika mulai berpasangan mereka berjuang dari awal tahapan, mulai pendaftaran hingga keluar sebagai pasangan terpilih, pasangan Kepala Daerah menunjukkan kekompakan. Namun ketika telah menjabat dan melakukan tugas-tugas, mulai terjadi benturan-benturan. Wakil akan merasa dikucilkan ketika ia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan. Apalagi seorang Wakil juga merasa memiliki andil dalam memperjuangkan sehingga mereka terpilih menjadi Kepala Daerah. 

Tidak dilibatkannya Wakil dalam melaksanakan tugas-tugas merupakan suatu kebijakan Kepala Daerah secara personal. Tidak ada hukum yang dapat menindak, hanya berupa sanksi moral di masyarakat.  Undang-undang juga membuka peluang tidak perlu melibatkan Wakil ketika Kepala Daerah merasa bisa melakukan tugas-tugas Kepala Daerah seorang diri.

Memang dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2015  Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 66 ayat (4) Wakil kepala daerah wajib melaksanakan tugas bersama kepala daerah hingga akhir masa jabatan. Sebelum perubahan kedua Undang-undang No. 23 Tahun 2014  bunyi ayat ini tidak ada. Ayat ini dibuat memang untuk memperkecil perselisihan tersebut.

Tapi pada ayat lainnya, untuk melaksanakan tugas Wakil Kepala daerah dalam pasal 66 ayat (2) menyatakan wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

Artinya dalam melaksanakan tugas, maka kepala daerah harus menerbitkan surat keputusan penugasan kepada wakilnya. Dengan begitu wakil kepala daerah hanya akan bergerak melakukan tugas-tugas jika ada persetujuan dari Kepala Daerah. Dalam praktiknya Kepala Daerah justru enggan memberikan tugas-tugas itu. Kepala Daerah pun semakin mendominasi melaksanakan tugas pemerintahan.

Sebagai pembantu Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah selalu diposisikan sebagai pelengkap saja. Jika Kepala Daerah merasa bisa melaksanakan semua tugas-tugasnya maka dipastikan surat keputusan tentang pendelegasian wewenang takkan pernah ada. Kalaupun dibuat, sudah dipastikan hanya untuk penugasan yang tidak dianggap penting oleh Kepala Daerah.

Hal inilah yang mungkin menjadi pemicu ketidakharmonisan hubungan Kepala Daerah dengan Wakilnya. Wakil merasa tidak dianggap dan diparkir sampai habis masa periodisasi jabatan. Padahal dalam meraih jabatan tersebut diraih secara bersama-sama.

Persoalan akan semakin panas ketika mendekati Pemilihan Kepala Daerah berikutnya, yang juga diikuti keduanya. Kepala Daerah akan perang pengaruh dalam meraih simpati masyarakat. Kadang tak jarang ketidakharmonisan tercium dihadapan publik.  Karena tidak memiliki kewenangan yang signifikan sikap emosional akan muncul, mungkin inilah yang dirasakan Wakil Bupati Dairi, ia juga merasa memiliki basis massa dan berperan dalam proses pemilihan namun dalam perjalanannya merasa tak dianggap.

Protes yang dilakukan Wakil Bupati Dairi seharusnya tak perlu terjadi, jika memang dari awal berpasangan mereka memiliki komitmen yang kuat dalam hal pelaksanaan dan pembagian wewenang khususnya dalam hal penunjukan pejabat di Pemerintah Kabupaten tersebut. Kemungkinan ada komitmen-komitmen yang dilanggar keduanya, maka terjadi peristiwa yang mempertontonkan ketidakharmonisan itu.  Bisa saja ketidakharmonisan akan terus berlanjut sampai akhir masa jabatan, padahal  masa Pemerintahan mereka belum genap dua tahun. 

Pada hakikatnya walaupun sepaket, jabatan Wakil Kepala Daerah tetaplah dibawah Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya tetap bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Walaupun memiliki basis massa, kewenangan Wakil Kepala Daerah ketika sudah terpilih tetap berada di Kepala Daerah.  Pada praktiknya sangat sulit untuk menyelaraskan antara Kepala Daerah dan Wakilnya. Karena masing-masing memiliki ego. Masing-masing juga membawa kepentingan yang harus dilaksanakan.

Untuk wilayah Sumatera Utara, hanya beberapa daerah yang bisa dijadikan contoh pasangan ideal dalam memimpin daerah. Surya misalnya, ia menjadi Wakil Bupati Asahan dua kali berturut-turut mendampingi Alm. Taufan Gama Simatupang. Selain Surya ada  Zainuddin Mars, Wakil Bupati Deli Serdang yang kini tidak lagi menjabat. Zainuddin juga dua kali menjabat sebagai Wakil Bupati Deli serdang, periode pertama Wakil Bupati Alm. Amri Tambunan kemudian dilanjutkan periode kedua Wakil Bupati Azhari Tambunan yang juga merupakan adik dari Alm. Amri Tambunan.

Sampai kapanpun permasalahan seperti ini akan terus berlanjut apabila tidak segera dicari jalan keluarnya. Seharusnya bisa dibuatkan payung hukum kewenangan tersendiri untuk posisi Wakil Kepala Daerah. Setidaknya tertulis secara jelas tugas-tugas Wakil Kepala Daerah. Selama ini yang tertulis di Undang-undang hanya tugas yang bersifat umum. Untuk menyelesaikan masalah ini tak ada salahnya diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang berisi tentang tugas Wakil Kepala daerah secara rinci.

Dengan demikian, sebelum terpilih, seorang kepala daerah mengetahui peran dan fungsinya terlebih dahulu, untuk mengukur sejauh mana peran yang dimilikinya dalam menjalankan tugas di Pemerintahan nantinya.  Lebih ekstrimnya lagi ada baiknya jabatan Wakil Kepala Daerah ditiadakan seperti dahulu. Agar tidak ada lagi perselisihan yang bisa saja menghambat kemajuan daerah. Untuk apa ada Wakil Kepala Daerah jika pada praktiknya lebih banyak peranan Sekretaris Daerah dalam menjalankan Pemerintahan Daerah.

Jika Wakil Kepala Daerah tak lagi ada, maka istilah ban serep pun tak lagi kita dengar. (*)

***

*)Oleh: Putra Mangaratua Siahaan, S.Sos, Pemerhati Sosial Politik, Alumnus Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES