Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Gus Dur: “Begitu Saja Kok Repot”

Jumat, 10 Juli 2020 - 12:09 | 43.99k
Abdul Wahid, Dosen Program Pascasarjana Unisma Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN.
Abdul Wahid, Dosen Program Pascasarjana Unisma Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Minimal sejak pandemi Covid-19 ini, sudah ada sejumlah ujaran yang mengemuka yang tentu saja menyita perhatian publik seperti “Bersatu melawan Corona”,  “Berdamai dengan  Corona”, “Indonesia terserah”, dan “New  Normal”.

Akibat cepatnya ujaran beredar mewarnai publik, usianya menjadi tidak lama, publik cepat melupakannya. Ujaran menjadi tidak atau kurang menarik, artinya publik mudah bosan dan berasumsi kalau ujaran baru nanti dan tidak lama lagi pasti akan keluar, apa itu dari pejabat tinggi negara atau   komunitas yang cerdas membaca fenomena di masyarakat.

Salah satu ujaran yang sekarang sedang jadi diskursus publik adalah “new normal”. Ujaran “new normal” sangat cepat menggelinding, yang mengesankan kalau  masyarakat sudah lama sekali merindukan suasana normal, sehingga kata “new” tidak atau kurang dianggapnya sebagai hal penting.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Negara (pemerintah) rupayanya berhasil melempar ujaran “new normal” sebagai bagian dari “kreatifitasnya” untuk dijadikan bahan diskursus publik, sehingga setelah membaca hasil lemparannya dapat reaksi serius dari masyarakat, akhirnya negara mencoba mengonstruksinya, yang tentu saja diharapkan akan menjadi “cara hidup” yang lebih baik dibandingkan sebelumnya.

Tentu saja (barangkali) masih banyak pertimbangan lain yang diajukan oleh negara dengan menghadirkan “new  normal”, seperti dahsyatnya dampak perekonomian atau kesejahteraan masyarakat akibat berlakunya PSBB atau sudah mulai “hidupnya” sejumlah negara lain, meski harus tetap “bertempur”  sangat serius dengan Covid-19.

Membuat sesuatu yang mudah menjadi rumit itu sudah biasa, tetapi membuat sesuatu yang rumit itu menjadi mudah itu yang disebut kreatifitas, demikian pernyataan  Charles Mingus, yang sejatinya mengingatkan setiap elemen bangsa di dunia, termasuk di negara ini supaya jadi pekerja keras dan “bersyahwat” kuat untuk jadi pemenang, dan bukan sekedar bisa “bermain” tapi tanpa kreatifitas. Ini artinya Ketika seseorang dipercaya jadi pengelola negara, haruslah mampu melahirkan banyak cara untuk keluar dari masalah.

Dalam ranah pemikiran Mingus itu,  subyek strategis di negeri ini identik dikritik (dinasehati)  supaya pilar bangsa yang belum menunjukkan diri sebagai sosok kreatif di ranah kehidupan bermasyarakat dan bernegara secepatnya membentuk atau memperbarui dirinya supaya bisa “melukis” kinerjanya yang berbasis kemaslahatan publik.

Para subyek strategis negara itu juga secara tidak langsung diingatkan Mingun supaya saling “berkompetisi” konstruktif dengan menunjukkan dirinya sebagai komunitas elitis berderajat atau berharkat negarawan yang dibuktikan lewat “karya-karyanya” dalam mengalahkan Covid-19.

Jika pun mereka selama ini sebagian belum memosisikan dirinya sebagai subyek fundamental yang giat “memberikan yang terbaik untuk rakyat”, maka dengan eksmainasi dari Covid-19, mereka merasa tertantang untuk membuktikan kalau dirinya adalah kumpulan pemangku amanat yang bertekad “mewakafkan” dirinya guna menjaga marwah bangsa ini.

Keinginan kuat menjaga marwah negara ini, tentulah menjadi bagian terbesar kewajiban para pemangku amanat itu, sehingga ketika mereka terus “kreatif” dengan strategi barunya atau yang diperbarui, adalah wajar.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Atas keniscayaan itu, apapun dalilnya negara atas “new  normal”, yang dapat kita pahami, bahwa kebijakan apapun yang dilakukan oleh negara dalam kondisi abnormal atau sedang “darurat”, mestilah mengandung resiko atau menyimpan ragam pertaruhan yang tidak ringan.

Kecenderungan melakukan ragam atau banyak langkah untuk melawan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah selama ini tetap patut diapresiasi. Apapun yang terjadi, termasuk dicaci oleh banyak pihak misalnya, daripada diam dan kurang bereaksi, negara memang harus  menunjukkan kalau bisa berbuat.

Memang sebenarnya siapapun orangnya, kehidupan normal seperti dulu, belajar di kelas, bekerja di kantor atau perusahaan, beribadah di masjid atau gereja, diskusi dengan saling adu argumen dan canda secara langsung, sudah sangat ditunggu, sehingga ketika pemerintah melontarkan akan ada “paradigma baru” yang dikaitkan dengan penyikapan perkembangan pandemi Covid-19, masyarakat langsung antusias meresponnya.

Ketika menyikapi ujaran “new normal” yang berkembang itu,  saya teringat Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) yang membuat ujaran “begitu saja kok repot”, yang ujaran ini sebenarnya (saat itu) ditujukan sebagai kritik pada komunitas politisi yang lebih sibuk mengurus kepentingan partai, golongan, kroni, dan “membesarkan” hal-hal yang sebenarnya bukan urusan rakyat yang serius, dan mengabaikan urusan yang sebenarnya, sedangkan yang menjadi urusan besar (asasi) rakyat diabaikannya.

Sedikit menerjemahkan ujaran “begitu saja kok repot” ala Gus Dur itu, tentu saja kalau yang dituju adalah komunitas pemangku kekuasaan (MPR, DPR, dan lain-lain), memang sudah seharusnya, pasalnya mereka harusnya terpanggil lebih repot (sibuk) mengurus kepentingan rakyat daripada kepentingan diri dan kelompoknya.

Jika itu disadari dengan kebeningan nurani oleh semua pemangku kekuasaan di negeri ini, barangkali urusan Covid-19, termasuk  dampaknya bisa tereduksi tingkat keseriusannya, pasalnya mereka menunjukkan pembuktiannya mampu “menghadirkan” peran strukturalistik atau keelitannya di tengah masyarakat.

Mereka itu mempunyai modal sangat besar di lingkaran kekuasannya, sehingga dengan modal besar ini, mereka akan mampu melakukan banyak perubahan, termasuk mencegah kemungkinan terjadinya ketidakberdayaan ekonomi yang semakin memberatkan masyarakat.

Bagi pemangku kekuasaan, ujaran “begitu saja kok repot” layak dijadikan sebagai panggilan kinerja (pengabdian), bahwa hidupnya secara profetis harus sangat “repot”  untuk memberikan yang terbaik pada rakyat, sehingga di ranah efek Covid-19, rakyat tidak makin “repot”  menghadapi kesulitan hidupnya.

Selain itu, ujaran “begitu saja kok repot” merupakan kritik publik, bahwa masyarakat  harus mendewasakan sikap dan perilakunya dalam menghadapi Covid-19.  Masyarakat memang tidak perlu merasa kalau sikap dan perilakunya menjadi beban negara, pasalnya ketika dirinya sakit atau terancam keberlanjutan hidupnya, negaralah yang harus merasa kalau ini menjadi kewajibannya, namun masyarakat pun setidaknya  harus memosisikan diri untuk repot dengan kedisiplinan menjaga kesehatan dan keselamatan diri dan sesamanya atau menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak menoleransi pintu masuknya Covid-19, pasalnya ini akan mendatangkan dampak keprihatinan masif.

Atas kondisi itu, jika ujaran “begitu saja kok repot” diterapkan secara sungguh-sungguh oleh para pemangku kekuasaan dan masyarakat dalam melawan Covid-19, maka “new normal” dalam bentuk apapun sukses diterapkan.

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Program Pascasarjana Unisma Malang dan Pengurus AP-HTN/HAN.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES