Kopi TIMES

Penangkapan Maria Pauline Lumowa, Gebrakan atau Pengalihan Isu?

Jumat, 10 Juli 2020 - 15:18 | 74.90k
Erwin C. Sihombing, Wartawan Lepas.
Erwin C. Sihombing, Wartawan Lepas.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setelah menyandang status buron selama 17 tahun, Maria Pauline Lumowa berhasil dipulangkan pemerintah melalui mekanisme ekstradisi dari Serbia, Kamis (9/7). Maria merupakan tersangka perkara pembobolan Bank BNI sebesar Rp1,3 triliun pada 2003 yang lalu.

Proses pemulangan Maria Pauline hingga ke Indonesia, disorot media secara bombastis. Maklum saja, proses pemulangannya langsung dipimpin Menkumham Yasonna Laoly, yang setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, langsung menggelar jumpa pers bersama Menko Polhukam Mahfud MD. 

Dalam penjelasannya, Menkumham Yasonna membeberkan faktor-faktor sulitnya memulangkan Maria dari Serbia. Antara lain, adanya lobi-lobi dari pihak pengacara untuk menyogok otoritas Serbia agar menggagalkan upaya ekstradisi. Bahkan terdapat negara di Eropa yang hendak menghambat ekstradisi.

Kedatangan Yasonna ke Serbia untuk memimpin proses pemulangan diartikan sebagai lobi-lobi tingkat tinggi. "Kita lakukan apa yang kita sebut dengan pendekatan 'high level'. Tim ikut serta ke sana," ujarnya.

Sebelum menuju Serbia, Maria terdeteksi sempat menetap di Singapura dan selanjutnya di Belanda. Pemerintah telah berupaya meminta Belanda untuk memulangkan Maria ke Tanah Air namun ditolak, lantaran tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Selanjutnya Maria menuju Belgrad, Serbia, yang menjadi akhir pelariannya lantaran ditangkap Interpol. Pemerintah lantas merespons dengan mengadakan pendekatan hingga sukses memulangkan Maria untuk menjalani proses hukum di Indonesia.

Maria dijerat perkara pembobolan Bank BNI bersama Adrian Waworuntu pada 2003. Adrian menjalani proses hukum hingga persidangan menjatuhkan vonis seumur hidup tahun 2005. Sedangkan Maria memilih untuk melarikan diri.

Putusan terhadap Adrian telah diperkuat Mahkamah Agung (MA) di tingkat kasasi hingga peninjauan kembali (PK) yang diputus pada 2013 lalu. MA tetap menjatuhkan pidana seumur hidup dan pengembalian kerugian negara terhadap terdakwa.

Langkah pemerintah dalam memulangkan Maria layak untuk diapresiasi, namun layak pula untuk dikritisi. Pasalnya sikap tersebut berbeda dengan upaya penangkapan buron perkara korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra.

Djoko Tjandra bisa tidak terdeteksi imigrasi kembali masuk ke Indonesia, membuat KTP elektronik (KTP) di kantor Lurah Grogol Selatan, Jaksel, sebelum mendatangi langsung Pengadilan Negeri (PN) Jaksel pada 8 Juni 2020 yang lalu, untuk mendaftar pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK).

Dalam hal Djoko Tjandra, terlihat secara gamblang betapa lemahnya kemampuan pemerintah dalam hal imigrasi, kependudukan maupun lobi-lobi tingkat tinggi. Sebab pada 2012, Djoko Tjandra diketahui telah menjadi warga negara Papua Nugini (PNG) dan terdeteksi melakukan pelanggaran imigrasi sehingga terbuka opsi untuk ekstradisi maupun deportasi.

Seiring berjalannya waktu, hingga di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, Djoko Tjandra masih mampu mengecoh dan meruntuhkan wibawa aparat penegak hukum kita. 

Hingga kini, publik tidak tahu apakah aparat telah memeriksa otoritas dukcapil dan imigrasi sebagai langkah untuk mencari Djoko Tjandra. Kalaupun sudah diperiksa apakah mereka tidak dikenakan sanksi karena membantu buron yang dicari pemerintah RI.

Dengan begitu, menjadi wajar bila Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, merespons pemulangan Maria Pauline sebagai bentuk upaya untuk menutupi ketidakmampuan Menkumham Yasonna Laoly dalam mendeteksi buron Djoko Tjandra maupun Harun Masiku.

"Kasus ekstradisi Maria Pauline Lumowa ini membuktikan jika pemerintah mau serius maka akan bisa menangkap buron, sehingga semestinya pemerintah akan bisa menangkap Djoko Tjandra, Eddy Tansil, Honggo Wendratno dan buron-buron kakap lainnya," keluhnya.

Pernyataan Boyamin dapat dimengerti. Sebab sikap pemerintah menunjukkan adanya standar ganda  dalam memburu buron yang melarikan diri hingga keluar negeri.

Dalam kasus Maria Pauline, jangan-jangan berlaku teori komunikasi pengalihan isu, pemerintah menciptakan isu baru untuk menutupi isu besar yang tengah disorot publik. Langkah Presiden AS Donald Trump mengeluarkan kebijakan terkait Tiongkok dituding lawan politiknya sebagai pengalihan isu dari kegagalan Trump mengendalikan Covid-19 di AS, yang jumlah kasusnya mencapai 1,3 juta dan lebih dari 130 ribu warganya tewas akibat pandemi.

Dengan begitu, pemulangan Maria Pauline sebaiknya tidak perlu dikesankan sebagai gebrakan pemerintah dalam memburu pelaku korupsi yang melarikan diri. Pasalnya Maria ditangkap di Serbia oleh Interpol pada Juli 2019, yang sejatinya bisa direspons cepat tanpa menunggu waktu 1 tahun untuk segera dipulangkan.

Terlebih lagi, pemerintah masih memiliki persoalan serius dalam hal imigrasi dan pencatatan sipil. Kasus Djoko Tjandra nampaknya terlalu besar untuk ditutupi dengan isu baru. Lebih menyakitkan lagi, aparat kita seolah tidak tahu di mana keberadaan Djoko Tjandra maupun buron lainnya.

***

*) Oleh: Erwin C. Sihombing, Wartawan Lepas.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES