Kopi TIMES

Di Masa Pandemi, Penipuan Online juga Merebak

Kamis, 09 Juli 2020 - 10:09 | 226.60k
Anggun Putri Aminatul Musrichah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Anggun Putri Aminatul Musrichah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kebutuhan dan aneka tren di masa normal baru menjadi peluang besar untuk modus-modus penipuan gaya baru. Di tengah pandemi ini, aktivitas masyarakat masih lebih banyak dihabiskan di rumah sambil berinteraksi sosial lewat media online. Perlu disadari bahwa masyarakat yang setiap harinya berkutat dengan gawai dan media sosial telah menjadi sasaran empuk oknum penipuan online.

Para penipu tidak hanya melakukan penipuan secara individu dan mengganyang beberapa korban saja, bahkan dengan terorganisir dan secara masif. Mereka memanfaatkan situasi dan kemudahan media online untuk meraup keuntungan sesaat dengan cara merugikan banyak korban. 

Di masa pandemi, barang yang marak menjadi alat penipuan adalah produk-produk yang dijual online di instagram, twitter, dan facebook seperti daster, piyama, gamis, sepeda, dan alat kesehatan seperti alat pelindung diri (APD), masker, sanitiser, hingga kebutuhan pokok, seperti sembako.

Para pelaku melakukan aksinya dengan memberikan tampilan visual yang begitu menarik di akun media sosial, kualitas bagus, dan harga yang dipatok sedikit lebih murah sampai 50 persen di bawah harga standar. Orang tidak akan curiga jika harga murah tersebut harus dibeli secara grosir dengan jumlah yang besar. Selain itu, ada iming-iming gratis ongkos kirim dan bisa retur jika barang tidak laku.

Tawaran yang sangat menggiurkan bagi pelaku usaha kecil menengah dan para pelaku usaha lainnya yang berusaha banting setir untuk mencoba bisnis baru yang berpeluang laku di masa pandemi ini. Modusnya pun bermacam-macam, mulai dengan menarget kerugian korbannya dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. 

Sejatinya yang menjadi sasaran penipuan adalah mereka para pelaku usaha kecil yang mulai merangkak memulihkan perekonomian rumah tangganya. Bahkan, di antara yang menjadi sasaran adalah ibu-ibu rumah tangga yang mencoba peruntungan baru dengan berjualan barang kebutuhan di masa pandemi, seperti daster, piyama, dan sembako.

Berbagai usaha dan peluang pastinya akan dicoba oleh para pelaku usaha dan ibu rumah tangga demi bertahan di tengah normal baru dengan memanfaatkan tren dan kemudahan teknologi digital. Namun sayangnya, mereka  menjadi sasaran-sasaran empuk oknum penipuan online. 

Seperti yang dilansir suaramerdeka, kasus penipuan transaksi online yang tercatat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui situs resmi Cekrekening.id di tahun 2020 melonjak hingga lebih dari 18 ribu laporan. Dari jumlah tersebut, 60 hingga 70 persennya merupakan modus penipuan yang terkait covid-19. Data yang dibagikan Cekrekening.id kepada Lifepal.id sejak 6 Maret 2020 hingga 6 April 2020, tercatat 771 laporan yang sudah diverifikasi petugas. Detik juga melansir pada rentang Maret hingga April 2020 di Bandung, laporan kasus penipuan jual beli online kerap masuk satu atau dua kasus setiap harinya. Jumlah yang besar untuk kasus-kasus yang terlaporkan. Setelah upaya-upaya pelaporan itu, apakah kasus penipuan transaksi online berhenti? Tidak.

Oknum penipu masih berkeliaran di media sosial bahkan platform jual beli online lainnnya dengan akun-akun baru, bahkan sebelum muncul inisiatif pelaporan dari para korban pun mereka sudah mempunyai akun cadangan dan mentransfer semua uang hasil penipuannya ke rekening baru. Hal itu sengaja dan terencana dilakukan demi menjaring mangsa baru yang dengan sukarela mentransfer uangnya ke rekening oknum penipu tersebut dengan iming-iming paket usaha yang menggiurkan. 

Misalnya, modus penipuan grosir daster dan piyama yang akhir-akhir ini sedang marak di instagram, rerata para korban kehilangan 100, 200 hingga 500 ribu uang dengan transaksi minimal tiga sampai 20 potong produk yang dijual oleh penipu. Padahal, stok barang yang dipesan pembeli sebenarnya tidak ada di penjual yang oknum penipu tersebut. Jumlah kerugian yang kecil justru membuat korban enggan melapor dengan alasan prosedur pelaporan yang rumit dan menghabiskan waktu. Kebanyakan korban memilih pasrah dan merelakan uang yang hilang tersebut. Sehingga, penipuan-penipuan dengan kerugian kecil tidak tercatat dan ditangani pihak kepolisian dengan baik.

Padahal jika dilaporkan, pihak penegak hukum dapat mengenakan pasal berlapis terhadap penipuan jual beli online yang telah diatur dalam Pasal 378 KUHP dan Pasal 28 ayat (1) UU ITE sebagaimana yang telah diubah oleh UU nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik.

Namun pada kenyataannya, modus penipuan tersebut dibiarkan oleh para korban dengan kerugian kecil karena prosedur pelaporan yang rumit dan lambat, sehingga akan membuat oknum penipu semakin leluasa melakukan aksinya kembali. Di sisi lain, toko-toko online yang jujur dan benar-benar menjual produk asli akan dirugikan dengan citra yang sudah dirusak oleh oknum penipuan transaksi online tersebut.

Hal-hal semacam ini harusnya diantisipasi dan ditangani lebih cepat oleh pemerintah, terutama pihak Kominfo, kepolisian, dan pihak bank yang harusnya juga memiliki wewenang untuk memperketat sistem keamanan atas penyalahgunaan nomor rekening sekaligus mempercepat pemblokiran atas pelaporan penipuan yang masuk. Mengingat, uang korban akan cepat melayang jika terlambat menangani kasus ini. Jangan sampai pihak-pihak yang berwenang kalah gerak cepat dengan para oknum penipu yang setiap hari beraksi menjebak korban baru di tengah kondisi pandemi dan membuat para pelaku usaha lebih banyak terpukul lagi. 

Cara Mengenali Akun Penipuan

Langkah pencegahan yang lebih cerdas pun perlu dilakukan untuk mengenali akun-akun penipuan modus baru. Hal yang masih bisa diantisipasi ketika membeli produk online di media sosial seperti instagram, twitter, dan facebook adalah cek dan ricek kembali. Lihat harga yang ditawarkan, jika harga dipatok terlalu murah dari harga normal, kita perlu waspada dan curiga.

Tidak hanya itu, misalnya, ketika terbiasa belanja online di instagram, kita juga perlu mengecek kolom komentar, deskripsi feed, real follower, bio, link marketplace, dan cara komunikasi penjual dalam melayani dan menjelaskan detail produk. Hal ini dikarenakan, instagram masih menjadi media yang sangat mutakhir dan rawan penipuan jual beli online. 

Akun-akun yang mengandung unsur penipuan pasti akan mematikan kolom komentar. Selain itu, deskripsi feed juga alakadarnya; menggunakan follower palsu yang akan terlihat memiliki ribuan bahkan jutaan follower tetapi sepi like di setiap postingan produknya; bio juga berisi kata-kata komisif yang berlebihan; pembeli tidak diarahkan ke link marketplace seperti tokopedia, shoope, bukalapak yang lebih terpercaya keamanannya, melainkan ke percakapan WhatsApp.

Patut curiga juga jika penjual tidak bisa menjelaskan detail produk yang dijualnya dan berkomunikasi di jam-jam yang bukan merupakan jam kerja admin toko online pada umumnya.  Selain itu, marketplace di bawah naungan aplikasi yang keamanannya lebih ketat pun juga tidak lepas dari sasaran alat penipuan. Kita harus berhati-hati untuk tidak mudah memberikan data-data pribadi dan diajak melakukan transaksi di luar akun marketplace tersebut.

*** 

*) Oleh: Anggun Putri Aminatul Musrichah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES