Kopi TIMES

Wayang, Rekonstruksi Pendidikan dan Pandemi Covid-19

Rabu, 08 Juli 2020 - 23:01 | 68.89k
Ahmad Mashafi, Mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang.
Ahmad Mashafi, Mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pendidikan gaya bank yang dibahas dalam buku Paulo Freire nampaknya masih relevan untuk kritik proses pendidikan di Indonesia. Konsep pendidikan gaya bank menganggap peserta didik tidak lebih dari sebuah wayang. Bisa digerakkan oleh orang lain.

Siswa yang dianggap seperti bank atau tempat penyimpanan yang selalu diisi dan diisi terus, sepertinya perlu rekosntruksi dalam konsep pendidikan di Indonesia saat ini. 

Kurikulum 2013 yang menuntut seorang pendidik untuk menjadi fasilitator dalam mengajar, rupanya masih belum bisa terwujud. Dan siswa rupanya memang tak jauh seperti wayang yang bisa dimainkan, yang bisa didikte, diarahkan, dan dipermainkan oleh dalang.

Hal itu harus bisa dibenahi dalam era ini. Mungkin pertanyaan yang paling utama adalah kapan akan dimulai dan dari siapa dimulai?

Pandemi Covid-19 saat ini rupanya bisa dijadikan jalan awal untuk mengubah konsep tersebut.

Pandemi Covid-19 adalah kesempatan bagi  peserta didik, orang tua, dan guru untuk membiasaan diri melakukan kebiasaan yang berbeda. Tidak mudah memang, namun jika tidak ingin berubah, harapan indah masa depan akan buram.

Guru dan orang tua bahkan peserta didik sendiri harusnya bisa mengambil kesempatan saat ini untuk menjadi ujung tombak dalam rekonstruksi tersebut. Artinya, guru harus bisa memberikan pembelajaran yang menyenangkan dan memanusiakan manusia tidak seperti dalang dan wayang.

Untuk orang tua, harus bisa mengambil celah dalam melihat gaya belajar putra dan putrinya, sehingga harus bisa menjadi pendorong dalam belajar, bukan hanya sifat pasrah menitipkan anaknya kepada sekolah.

Begitu pula dengan peserta didik. Mereka harus bisa mengubah belajar yang dianggap membosankan dengan gaya belajarnya sendiri-sendiri.

Kesinambungan orang tua, guru, dan peserta didik harus berantai. Apalagi dalam masa wabah ini. Kesadaran masyarakat terhadap pendidikan harus bisa diubah dalam masa ini sebab jika tuntutan tidak lagi bergejolak, maka akan sulit berubah. 

Bagi masyarakat yang sadar akan peluang saat ini, tentunya menjadi emas yang tidak akan datang dua kali. Peserta didik yang dulu waktunya dihabiskan belajar di sekolah, sekarang dihabiskan di rumah. Hal akan membuat terbuka sejumlah ketidaksesuaian yang selama ini melekat dalam pendidikan.

Rekonstruksi konsep pendidikan di Indonesia harus terus dilakukan agar dunia pendidikan di Indonesia memiliki esensi, tidak hanya sebatas formalitas. Tanpa adanya peralihan dari wayang menjadi manusia seutuhnya, maka akan menghilangkan sifat kemanusian dalam belajar.

Manusia dalam belajar harus dipandang tidak seperempat manusia. Pelunturan gaya belajar mengajar yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat ini, harus digebrak menjadi gaya baru sesuai dengan belajar yang mengutamakan kemanusiaan.

Kesadaran akan menjadi kunci untuk mengubah belajar seperti wayang dan dalang baik pendidik maupun orang tua. Tanpa adanya kesadaran, segala upaya tidak akan konsisten jalannya.

Pendidik seharusnya menjadi peluru yang ampuh untuk mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas. Tak hanya itu, seorang pendidik harus siap memberikan seluruh tenaganya untuk mengubah pola belajar gaya dalang dan wayang ini. Kemampuan semacam ini, harus terus ditingkatkan agar kesiimbangan kemampuan antara pendidik dan peserta didik dapat berjalan beriringan.

Rekonstruksi saat ini harus di mulai dari bawah tidak berangkat dari atas. Maksudnya perubahan harus dimulai dari kalangan bawah dengan memperbaiki ketidaksesuian yang telah berjalan selama ini. Lagi-lagi memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, namun itu lah konsekuensi yang harus diterima.

Saat ini adalah kondisi yang sangat cocok untuk merekontruksi pendidikan yang dirasa kurang sesuai, sebab tipe masyarakat indonesia bergerak jika ada tekanan dan tidak suka mewaspadai sebelum jadi bubur. Kebiasaan seperti ini merupakan hal yang buruk dalam bangsa kita, sehingga akan menjadi pemberi kontribusi dalam kemerosotan bangsa khususnya dunia pendidikan. 

Sudah saatnya, pendidikan kita harus direkontruksi kembali. Dulunya siswa dipandang sebagai wayang sekarang harus dipandang sebagai manusia yang berhak atas dirinya sendiri

***

*)Oleh: Ahmad Mashafi, Mahasiswa Pendidikan Geografi Universitas Negeri Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES