Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Serba Hiperrealitas di Era Konsumsi Massal

Selasa, 07 Juli 2020 - 15:20 | 112.93k
Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Hiperrealitas merupakan konsep yang dikemukakan oleh seorang pakar teori kebudayaan, filsuf kontemporer, komentator politik, sosiolog, dan fotografer asal Prancis, Jean Baudrillard.  Menurut Baudrillard (dalam Mukti, 2017) hiperrealitas merupakan tahap di saat sesuatu benda atau jasa sudah lepas padanannya dari realitas sebenarnya dan menjadi suatu realitas baru.

Sementera itu dalam kaitan era konsumsi massal, menurut seorang pakar ilmu sosial, W.W. Rostow pola pengembangan ekonomi akan berujung pada suatu konsumsi massal. Saat itu kondisi masyarakat atau negara berada pada suatu kondisi yang sejahtera, produksi dan konsumsi berlebih, serta industrialisasi semakin kuat.

Era seperti ini dapat dikatakan era konsumsi massal dimana masyarakat dimanjakan dengan kebebasan memilih barang dan jasa untuk dikonsumsi. Bahkan tindakan konsumsi tersebut sering sekali lepas dari realitasnya dan dapat menjadi sistem penandaan yang kuat sehingga membentuk suatu kepercayaan sosial.

Suatu contoh seperti konsumsi terhadapad tas mewah. Mungkin makna atau fungsi tas tersebut tidaklah tampak lagi. Seharusnya tas tersebut berfungsi atau bermakna sebagai sebuah tempat untuk menyimpan barang. Akan tetapi, realitas itu sudah berubah. Memiliki tas mewah menunjukkan bahwa pemilik tas tersebut merupakan kalangan atas. Bahkan, para pemilik tas tersebut membuat komunitas baru yang hanya boleh diikuti oleh orang yang memiliki tas bermerek tersebut.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Lain halnya dengan tas mewah, hiperrealitas juga banyak ditemukan pada barang, tempat, atau jasa lainnya, seperti contoh membeli barang di minimarket. Realitas sebuah minimarket yang sebenarnya seakan menjadi hilang. Minimarket tidak lagi sebagai tempat jual beli barang tetapi menjadi suatu identitas tertentu bagi seseorang atau suatu kelompok.

Minimarket dianggap lebih menawarkan kebebasan karena seseorang dapat mengambil sesuatu sesuka mereka. Beda halnya dengan toko konvensional dimana barang yang akan dibeli selalu diambilkan oleh penjualnya. Padahal, secera harga mungkin dengan barang yang sama, toko kenvensional berani memberi harga yang lebih murah dibanding minimarket terebut.

Selain itu, penggunaan merek telepon genggam pun tergolong fenomena hiperrealitas karena padanan realitas yang luntur dan memunculkan realitas baru. Pengguna salah satu merek telepon genggam beranggapan bahwa mereka lebih kekinian dibanding pengguna merek lain. Padahal secara fungsi telepon genggam tersebut mungkin sama. Bahkan terkadang merek yang lain terbilang lebih canggih dengan harga yang lebih miring atau terjangkau.

Masih banyak lagi fenomena hiperealitas di era konsumsi massal ini. Seperti kasus konsumsi makanan atau minuman bermerek tertentu. Bagi para pengagum makanan dan minuman tersebut, tentu makanan dan minuman tersebut mempunyai realitas baru. Bukan hanya sekadar hal yang bersifat kebutuhan fisik, tetapi sampai pada sebuah identitas tertentu. Selain itu, ada pula penggunaan merek mobil tertentu yang tentu memunculkan realitas baru bagi para penggunanya.

Hiperrealitas beberapa benda, barang, dan jasa tersebut pernah dikemukakan pula dalam suatu seminar yang disampaikan oleh Mukti (2020). Kasus-kasus tersebut menunjukkan di era konsumsi massal seperti ini tentu suatu barang, tempat, atau jasa terkadang tidak lagi berfungsi atau bermakna sebagai realitas yang sebenarnya. Ada realitas baru yang terwujud yang mampu membuat kepercayaan sosial bagi masyarakatnya. Kepercayaan itu dijunjung tinggi oleh masyarakat tersebut dan membuat mereka menganggap barang atau jasa itu lebih penting dan bergengsi dari yang lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Melihat fenomena tersebut penting bagi kita tidak mudah mengikuti kepercayaan sosial seperti itu. Kita seharusnya memanfaatkan suatu barang sesuai dengan fungsinya. Jangan mudah mengikuti kepercayaan sosial yang terbentuk oleh masyarakat di sekitar kita.  Hal yang ditakutkan kita akan memaksa diri kita untuk mengikuti kepercayaan sosial itu.

Padahal kita tidak mampu memenuhi itu. Contoh kasus, ada seseorang remaja yang menjual ginjalnya untuk membeli merek telepon genggam yang dianggap kekinian oleh masyarakatnya. Hal itu tentu mengarah pada hal yang negatif. 

***

*)Penulis: Khoirul Muttaqin, S.S., M.Hum. pernah menjadi wartawan dan saat ini menjadi dosen di FKIP Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES