Kopi TIMES

Menakar Pemeliharaan Hutan dalam Kerangka Hukum Islam

Selasa, 07 Juli 2020 - 08:39 | 38.78k
Ahmad Furqon, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Islam Lamongan.
Ahmad Furqon, Mahasiswa Ekonomi Syariah Universitas Islam Lamongan.

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Kebakaran hutan dan pengrusakan lingkungan kerap menjadi berita hangat di tanah air. Para pelaku seolah tak memiliki rasa takut untuk melakukannya. Entah karena motivasi pelaku yang kuat atau karena tindakan yang dilakukan oleh lembaga negara terkait yang lemah dan terkesan kurang tegas.

Seperti halnya pulau Sumatra dan Kalimantan yang beberapa bulan lalu diselimuti oleh kabut asap tebal yang diakibatkan oleh terbakarnya hutan, meski juga disinyalir hal tersebut dilakukan dengan sengaja oleh oknum tak bertanggung jawab.

Terkait titik kebakaran hutan, data pada 27 September 2019, di Sumatera selatan (19 titik), Bangka Belitung (14 titik), Kalimantan tengah (163 titik), Kalimantan selatan (14 titik), Kalimantan timur (20 titik), dan Kalimantan utara (23 titik) termasuk daerah yang paling banyak titik apinya. Parahnya, kabut tebal mengganggu penglihatan dan pernapasan masyarakat setempat.

Dalam pendekatan Hukum Islam (Islamic jurisprudence approach), pemeliharaan hutan bisa didudukkan dalam kerangka konsep maslahat. Al-ghazali dalam al-Mustafa min ‘Ilm al-Usul (2008), menggradasi maslahat menjadi; Primer (daruriyat), sekunder (hajiyat) dan tersier (tahsiniyat). kemaslahatan Primer (daruriyat) merupakan kebutuhan yang wajib dipenuhi dan wajib menghindari hal-hal yang bisa mengganggu eksistensinya. Sekali lagi hukumnya wajib.

Selanjutnya, asy-Syatiby dalam al-Muwafaqat mengembangkan kemaslahatan primer (daruriyat) menjadi pemeliharaan pada lima unsur pokok (al-kulliyatul al- khamsah); agama, jiwa, keturunan, akal dan harta.

Dengan demikian lima unsur pokok tersebut wajib dipenuhi oleh manusia dan hal-hal yang mengganggu eksistensinya harus dihindari. Adanya larangan larangan membunuh, misalnya, karena bisa mengganggu kebutuhan terhadap jiwa dan seterusnya.

Dalam perkembangannya, kesadaran untuk menyelamatkan bumi dan lingkungan semakin gencar. Pemicunya, perusakan bumi dan lingkungan juga gencar dilakukan, termasuk yang paling krusial, hutan. Hal ini memunculkan kesadaran para cendekiawan muslim untuk turut ambil bagian membahas isu lingkungan dalam kerangka metodologis dan epistemologi hukum Islam dan menyumbangkan ide-idenya.

Salah satu cendekiawan muslim yang merumuskan isu pemeliharaan lingkungan (Hifz al-Bi’ah) adalah Yusuf al-Qardlawiy (Jaser 'Audah, al-Maqasid untuk Pemula, 2013/95). al-Qardlawiy sendiri menawarkan dua konsep;

Pertama, menjadikan pemeliharaan lingkungan (Hifz al-Bi'ah) sebagai bagian dari lima unsur pokok (al-kulliyatul al- khamsah). Artinya, yang menjadi kebutuhan dasar manusia bukan lagi lima (al-kulliyatul al- khamsah), melainkan enam (al-kulliyatul al- sittah).

Kedua; bertolak pada rumusan “sesuatu yang menjadi mediator pelaksanaan sesuatu yang wajib maka ia termasuk wajib”. Dalam konteks ini, pemeliharaan lingkungan merupakan mediator untuk menjaga lima unsur pokok tersebut. Tanpa penjagaan terhadap lingkungan, penjagaan pada lima unsur pokok tersebut tidak akan terealisasi. Karenanya, pemeliharaan terhadap lingkungan hukumnya juga wajib.

Kaitannya dengan pemeliharaan hutan, dua konsep yang ditawarkan oleh al-Qardlawiy ini memberikan kesimpulan; Pertama; pemeliharaan terhadap hutan merupakan bagian tidak terpisahkan dari pemeliharaan terhadap lingkungan (Hifz al-Bi'ah), terlebih di era globalisasi banyak hutan yang sudah dialihfungsikan. Padahal fungsi penting hutan sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen bagi makhluk hidup lainnya.

Kedua, kewajiban memelihara hutan sama wajibnya dengan memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Sebaliknya, Keharaman merusak hutan sama dengan keharaman mencederai lima hal pokok tersebut.

Ketiga, komitmen untuk memberikan punishment pada pelaku pengrusakan hutan harus sudah ditegakkan, bila perlu melebihi punishment pelaku pengrusakan lima hal pokok yang telah disebut. Mengingat pemeliharan hutan menjadi mediator untuk mewujudkan pemeliharaan lima hal pokok lainnya.

Kedepan, pola pikir pemeliharaan hutan dan lingkungan lainnya harus sudah disamakan dengan pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Kenggenanan untuk merusak hutan harus sebanding dengan keengganan menyekutukan Tuhan, keengganan membunuh, keengganan berbuat zina, keengganan mencuri dan keengganan mengkonsumsi barang memabukkan. Begitu juga semangat untuk memelihara enam unsur pokok (al-kulliyatul al- sittah). (*)

*) Ahmad Furqon Mahasiswa Ekonomi Syariah, Universitas Islam Lamongan (Unisla)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-4 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES