Kopi TIMES

Memburu Djoko Tjandra, Membuka "Truf" Siapa?

Senin, 06 Juli 2020 - 01:06 | 130.34k
Erwin C. Sihombing, Wartawan Lepas.
Erwin C. Sihombing, Wartawan Lepas.

TIMESINDONESIA, JEMBER – Entah apa yang terbesit di benak buron perkara korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali Rp 546 miliar, Djoko Sugiarto Tjandra. Sudah enak tidak tersentuh hukum di Indonesia lantaran buron sejak 2009, tiba-tiba dia kembali untuk mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK).

Jaksa Agung ST Burhanuddin tidak bisa menyembunyikan kerikuhannya saat menyampaikan status Djoko Tjandra yang diyakini sudah 3 bulan di Indonesia namun tidak dapat dieksekusi jajarannya. Saat memberi penjelasan di hadapan Komisi III DPR belum lama ini, terlihat sesekali dia mengetuk-ngetuk ballpoint-nya ke meja rapat.

"Dan informasi yang lebih menyakiti hati saya adalah, katanya tiga bulanan dia ada di sini," kata Burhanuddin, dalam rapat kerja.

Jaksa Agung menggunakan terminologi "sakit hati" sebagai ungkapan kekecewaannya atas kinerja bawahannya yang gagal mendeteksi kemunculan Djoko Tjandra di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel saat mendaftarkan PK.

Djoko Tjandra merupakan buronan korupsi yang tergolong istimewa. Sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengabulkan PK yang diajukan jaksa, dia melarikan diri menggunakan pesawat carter menuju Port Moresby, Papua Nugini (PNG), pada 10 Juni 2009, melalui Bandara Halim Perdana Kusuma.

Djoko Tjandra terbelit perkara korupsi Bank Bali bersama mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, dan Wakil Kepala BPPN Pande N Lubis. 

Perkaranya mulai berproses di tingkat pertama tahun 2000, dan selalu divonis bebas hingga tahap kasasi. Pasalnya majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan perkara cessie merupakan ranah perdata bukan pidana.

Jaksa penuntut umum yang dikomandoi Antasari Azhar (belakangan menjadi Ketua KPK) tidak hilang akal, langsung bermanuver dengan mengajukan PK yang belakangan dikabulkan MA. 

Djoko Tjandra lantas dijatuhi pidana dua tahun penjara, denda Rp 15 juta dan mengembalikan hasil kejahatannya senilai Rp 546 miliar pada negara.

Syahril dan Pande Lubis berhasil dieksekusi, sedangkan Djoko Tjandra sudah raib saat tim Kejaksaan Agung hendak mengeksekusinya. Disinyalir ada pihak yang melindunginya, hingga Djoko bisa mengetahui putusan MA dan melarikan diri sehari sebelum perkaranya diputus oleh badan peradilan tertinggi itu.

Djoko Tjandra bukan sembarang pengusaha properti. Dia dekat dengan Setya Novanto yang sekarang menjadi penghuni Lapas Sukamiskin, Bandung, lantaran menggangsir proyek KTP elektronik (e-KTP).

Djoko Tjandra merupakan pengusaha properti yang cukup berpengaruh di medio 1990-an. Dia diketahui dekat dengan putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dan bersama-sama membangun Hotel Mulia, di kawasan Senayan.

Perkara korupsi Djoko Tjandra bahkan menyeret banyak nama seperti, Erman Munzir (Mantan pejabat BI), Firman Soetjahja (Direktur Bank Bali), Setya Novanto (Direktur Utama PT Era Giat Prima), Pande Lubis (Mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN), dan Rudy Ramli (Mantan Direktur Utama Bank Bali).

Selanjutnya Syahril Sabirin (Gubernur Bank Indonesia), dan Tanri Abeng (Mantan Menteri BUMN). Banyaknya nama-nama beken di belakang Djoko Tjandra ini yang memunculkan spekulasi, Djoko Tjandra dilindungi dan difasilitasi untuk menyandang status buron.

Vonis hakim sesungguhnya tidaklah berat untuknya. Hanya pidana dua tahun penjara. Sebagai pengusaha, dia memiliki banyak aset yang bisa dijual untuk mengembalikan uang negara. Namun Djoko memilih menjadi buron ketimbang menjalani masa pidana yang tergolong singkat dibanding perkara suap yang ditangani KPK, pelakunya bisa divonis lebih dari 5 tahun pidana.

Pemulangan

Upaya pemulangan Djoko Tjandra sudah dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada 2012, Presiden SBY bahkan telah menginstruksikan Jaksa Agung Basrief Arief untuk menangkap Djoko Tjandra.

Pemerintah lantas membentuk tim terpadu yang terdiri dari unsur Kejagung, Kemkumham, Polri, dan Kemlu yang bergerak di bawah kordinator Menko Polhukam untuk mendeteksi buron salah satunya Djoko Tjandra.

Kejagung berhasil mendeteksi keberadaan Djoko Tjandra di PNG pada 2012. Dia diidentifikasi telah mengganti namanya menjadi Joe Chan dan beberapa kali mengunjungi PNG. 

Belakangan otoritas PNG mengendus adanya pelanggaran imigrasi saat Djoko Tjandra berupaya untuk menjadi warga negara PNG. Pemerintah lantas berupaya membuka opsi deportasi namun kandas lagi. 

Bahkan upaya untuk menjalin kerja sama ekstradisi dengan PNG hingga kini belum jelas perkembangannya. Djoko Tjandra disinyalir menetap di Singapura dan hanya beberapa kali saja mengunjungi PNG. 

Licinnya Djoko Tjandra diakui Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menyebut  Djoko Tjandra bisa ditemui di Singapura, Malaysia, tetapi sulit untuk ditangkap. "Ada yang bawa," menurut Burhanuddin.

Kali ini publik dibuat kaget mendengar Djoko Tjandra ada di Indonesia dan tengah mengupayakan PK lagi. Bahkan sistem imigrasi kita tidak bisa mengendus keberadaan Djoko Tjandra yang mengajukan PK di PN Jaksel.

Bukan kali ini Djoko Tjandra mengajukan PK. Tahun 2012 dia pernah mengajukan PK yang tidak diketahui proses persidangannya di PN Jaksel, apakah yang bersangkutan menghadiri sidang.

Beruntung Mahkamah Agung pada saat itu menolak PK yang bersangkutan dengan pertimbangan tidak ada bukti baru (novum).

MA tetap memutus pada vonis yang mengacu PK yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, Antasari Azhar Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 12 juni 2009 yang menjatuhkan pidana  2 tahun penjara untuk Djoko Tjandra.

Mudahnya Djoko Tjandra masuk ke Indonesia diduga lantaran dia telah mengubah identitasnya. Kembali menjadi WNI dengan nama baru. 

Namun demikian, terdapat spekulasi bahwa kehidupan Djoko Tjandra, yang dijuluki "Joker" oleh sebagian wartawan, sedang sulit di luar negeri sehingga dia memilih nekat untuk mudik.

Terdapat pula spekulasi lain yang menyebut Djoko Tjandra pulang ke Indonesia memberi sinyal kepada pemegang kartu truf untuk segera melindunginya lagi. Benarkah demikian wahai pemangku kepentingan ?

***

*)Oleh: Erwin C. Sihombing, Wartawan Lepas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES