Kopi TIMES

Reshuffle Kabinet: Antara Letupan Politik vs Letupan Kinerja

Jumat, 03 Juli 2020 - 01:19 | 47.95k
Pangi Syarwi Chaniago, Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
Pangi Syarwi Chaniago, Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saya sudah mengingatkan jauh-jauh hari sebelum Jokowi membentuk kabinetnya. Jangan sampai nanti karena “salah memilih menteri”, Jokowi disibukkan dengan reshuffle berkali-kali, akibat salah memilih pembantunya.

Gonta-ganti menteri berkali kali dapat memperlambat akselarasi kerja kementerian itu sendiri, menteri baru harus beradaptasi kembali dan mulai dari nol lagi.

Hal tersebut sekarang mulai terungkap dan terkonfirmasi, banyak menteri yang nampaknya tidak mampu mengimbangi ritme kerja presiden

Letupan-letupan yang menjadi indikator reshuffle ialah letupan politik bukan letupan kinerja, bentangan emperis ini yang terjadi selama ini, mau dua kali sampai sepuluh kali reshuffle pun tidak akan punya korelasi linear terhadap kinerja pemerintah, selama reshunffle hanya berbasiskan letupan politik semata.

Apabila intervensi parpol dalam penyusunan kabinet dan reshuffle cukup tinggi, akan mereduksi kekuasaan presiden (hak prerogatif).

Saya pikir ini yang terjadi, jadi kemarahan Jokowi kemarin hanya bagian dari kausalitas akibat presiden salah menempatkan pembantunya, tidak menjalankan hak prerogatif secara maksimal, belum lagi tidak menempatkan menteri berdasarkan basis “the right man on the right place”, sesuai kapasitas keahliannya.

Problemnya, siapa yang menilai kinerja menteri? Institusi resmi yang independen yang mana? Seperti evaluasi kementerian dilakukan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Apakah Jokowi menilai sendiri kinerja menterinya berdasarkan bisikan ‘inner circle’ orang kepercayaan? Atau presiden menilai pakai dukun atas kinerja menterinya? Bagaimana mengukur kinerja menteri? berbasiskan apa? Ini yang buat kita pusing pala barbie.

Apakah menteri yang selalu tampil menguasai panggung depan media mainstream? populis, kan ada juga tuh menteri ngak mau terkenal, nggak mau bising di ruang publik cuma punya proggres berkinerja bagus, dalam hasil survei nampak bagus dan populer di mata rakyat, namun realitas kinerjanya tidak beririsan dengan popularitasnya. Nah standarnya menteri berkinerja bagus itu seperti apa?

Namun jauh lebih penting Jokowi memilih tidak hanya soal sebatas memenuhi representasi partai, ormas, profesional, tim sukses dan relawan, namun benar-benar mewujudkan kabinet ahli, menteri ahli di bidangnya, kalau tidak tunggu saja kehancuran.

Menteri yang bisa bekerja cepat, disiplin, mau bersabar, laten terhadap kerja-kerja teknis dan detail, mampu mengimbangi kerja cepat presiden, punya terobosan dan narasi besar memajukan bangsa dan negara.

Tantangan pak Jokowi sekarang sudah sangat berat, ke depannya makin berat lagi, dengan kata lain, salah mengambil menteri, maka sama saja bunuh diri bagi pemerintahan Jokowi.

Jokowi harus penuh ke “hati-hatian” dalam merekrut pembantunya kalau palang pintu reshuffle dibuka, sudah saatnya pemerintahan Jokowi periode kedua ini lebih fokus pada kinerja ketimbang citra untuk dapat meninggalkan legacy yang dapat dikenang dan menjadi sejarah dikemudian hari.

Oleh karena itu, semangat “demokrasi deleberatif” penting dalam memilih, memilih menteri dengan semangat penuh kehati- hatian. Jangankan-sich mengakomodir, merepresentasikan kepentingan politik bagi-bagi kue kekuasaan semata, hasil kerja menteri dari akomodir parpol, hasil sangat tidak memuaskan presiden Jokowi.

Jangan sampai nanti karena salah memilih menteri, Jokowi disibukkan dengan reshuffle tidak hanya satu atau dua kali saja namun berkali-kali, akibat salah memilih pembantunya. Gonta-ganti menteri berkali kali dapat memperlambat akselarasi kerja kementerian itu sendiri, menteri baru harus beradaptasi kembali dan mulai dari nol lagi. (*)

***

 

*) Penulis: Pangi Syarwi Chaniago, Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES