Kopi TIMES

Bukan Dramaturgi Marah Jokowi

Kamis, 02 Juli 2020 - 15:11 | 66.36k
Dr. Sukardi, Dekan FISIP Unmer Malang.
Dr. Sukardi, Dekan FISIP Unmer Malang.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kemarahan Presiden Jokowi yang diunggah dan diberitakan luas di berbagai media online, mengundang perdebatan. Apakah kemarahan itu cermin kejengkelan yang memuncak atau sekedar dramaturgi yang perlu dihadirkan untuk mengontrol komunikasi politik yang kini menghadapi persoalan. Dalam tradisi budaya Jawa jarang dijumpai kemarahan seseorang pemimpin yang dengan lugas diumbar begitu rupa, karena kemarahan yang diungkapkan dnegan cara ini cenderung mempermalukan pihak lain. Pertanyaanya kenapa Presiden Jokowi melakukan ini?

Setidaknya ada ada tiga sketsa yang perlu diulas untuk menjelaskan kemarahan Presiden Jokowi. Pertama, fungsi marah dalam manajemen hanya dilakukan oleh seorang manajer yang menyaksikan tidak tercapainya harapan. Marah dalam konteks ini lebih berfungsi sebagai ekspresi ketidak sukaan dengan keadaan yang dihadapi. Pada berbagai kesempatan manager organisasi juga memilih marah sebagai alat untuk membina bawahan. Untuk memperlihatkan bahwa capaian kinerja yang dihasilkan tidak sesuai dengan harapan. Tetapi kemarahan  ini adalah menjadi satu pendekatan organisasi yang kuno.

Fungsi marah kedua  juga acapkali dijadikan sebagai sarana untuk menyentak emosi bawahan agar melakukan percepatan untuk berubah, setelah sekian lama tidak juga melakukan perbaikan kinerja sesuai harapan. Anggota organisasi sebesar lembaga kepresidenen tentu ditempati oleh personil yang diseleksi dengan system meritisme yang tidak sederhana. Berbagai pertimbangan dalam memilih pendamping dalam sebuah lembaga kepresidenan tentu asumsi-asumsi kapasitas manajerial personilnya sudah diperhitungkan matang. Mestinya mereka tidak memerlukan kemarahan untuk berkinerja baik. 

Katiga, marah juga menjadi pilihan seorang manajer ketika sudah tidak ada lagi kinerja sebagian besar bawahan yang dapat dibanggakan. Marah menampakkan juga sebagai ungkapan kekesalan yang mendalam, karena sebagian personil yang ada di seputar sang manajer tak mampu memberikan kontribusi inovatif dalam pemecahan masalah tetapi justru memproduksi masalah. Semacam ekspresi frustasi dari tidak adanya ketanggapan dari bawahan terhadap konteks masalah. Bawahan enggan berkompetisi untuk meraih prestasi terbaik dan unik karena merasa menjadi anak buah bukan manajer. 

Nah, sekarang bagaimana sebenarnya menerka layar belakang kemarahan yang diperlihatkan oleh Jokowi dalam sidang kabinet beberapa hari lalu. Pintu masuk dari konteks kemarahan itu secara keseluruhan adalah bersumber pada serapan anggaran diberbagai lembaga dan kementrian yang masih rendah, dan bahkan disebut secara terbuka kementrian itu antara lain Departemen Kesehatan. Setelah itu Jokowi juga menjelaskan bahwa situasi krisis ini perlu terobosan inovatif yang berorientasi pemecahan masalah. Tak ketinggalan juga harapan agar secepatnya kiprah para menteri Jokowi ini hadir di tengah masyarakat dalam bentuk aksi nyata yang berkontribusi langsung pada perbaikan kegiatan ekonomi. 

Harapan Presiden terhadap kinerja para menteri dalam situasi pandemik ini memang sebelumnya tak diutarakan segamblang ini. Para menteri ketika negara ini mulai diterjang pendemik mestinya seluruh kementrian proaktif segera pasang payung, pasang sekoci menyiapkan strategi mitigasi yang sistematis. Negara ini beruntung karena tidak menjadi zona primer pecahnya kasus covid-19 yang pertama. Semestinya seluruh kementrian bisa berguru lebih banyak dan lebih cepat dari negara lain yang mengalami kasus awal. 

Pengalaman negara ini dalam menghadapi berbagai bencana besar semisal tsunami Aceh, gempa dahsyat di Yogyakarta, letusan merapi, semua memberikan pesan bahwa kapasitas manajemen menghadapi krisis di semua level itu mutlak diperlukan. Ketika kasus covid-19 pecah di Wuhan, semua orang ingat  bagaimana para punggawa di kementrian joget ubur-ubur dan goyang tiktok. Saat  itu  menjadi bahan guyonan di media sosial ketika dipentaskan oleh beberapa menteri yang seharusnya menempati posisi pendekar dalam menghadapi pandemi ini.

Jadi konteks kemarahan Jokowi, sesungguhnya juga bersebab tidak efektifnya tanggap darurat di sebagian besar kementrian dalam menghadapi situasi krisis covid-19 ini. Lantas apakah tepat Jokowi menumpahkan kemarahan itu dalam sebuah rapat kabinet. 

Memang kemarahan itu bia saja menjadi sinyal bahwa seluruh menteri karena bekerja tidak memuaskan presiden bisa saja bakal diminta berhenti. Hal lain dalam komunikasi politik seorang manajer politik juga butuh membagi  peluru serangan yang datang dari semua arah. Serangan yang terfokus pada satu titik akan menjadikan kerapuhan bahkan akan menguras stok legitimasi yang tersedia. Marah kepada anak buah juga sebagai cara, serangan akan dipantulkan pada seluruh sudut dan penjuru sehingga tidak hanya tertuju pada satu titik. Pada saat ini kejengkelan rakyat bukan hanya pada keadaan pandemic yang tidak bisa ditolak tetapi juga pada berbagai kenyataan bahwa kapasitas tanggap darurat pemerintah dalam menghadapi pandemi ini sangat terbatas. Keterbatasan anggaran, keterbatasan strategi yang efektif dan keterbatasan menuai hasil yang sesuai harapan. 

Hal lain, momentum kejenuhan terhadap pilihan strategi pemerintah dalam mengendalikan pandemi ini juga menjadi kenyataan bahwa legitimasi pemerintah dalam menangani pandemi ini bisa  berujung pada krisis kalau tidak dilalukan terobosan penanganan secara cepat dan efektif. Penanganan yang efektif sehingga pandemi ini benar benar bisa dikontrol dan dampak ekonomi yang sekarang menerjang masyarakat bisa dipulihkan. Beberapa lembaga survei memang kemudian menlansir sekoci status legitimasi pemerintah melalui rating tanggapan publik terhadap langkah yang dilakukan pemerintah. Tetapi perlu diketahui informasi dan kesimpulan lembaga survey juga tidak selamanya mencerminkan suasana kebatinan rakyat.

Jadi kemarahan Presiden Jokowi yang dipublikasikan terbuka itu adalah sebuah etalase depan suasana kebatinan yang kini dihadapi oleh pemerintah dalam menghadapi gelombang pertama pandemic covid-19 ini. Ini adalah komunikasi politik awal yang menegaskan bahwa pemerintah risau, karena hanya mampu berbuat sejauh ini. Publik dimohon mengerti berbagai  keterbatasan yang dihadapi oleh pemerintah dan yang lebih penting pemerintah tidak mau dibiarkan berjalan sendirian. Sampai kapan  rakyat bakal bersabar menanti usainya pandemi yang tanpa batas ini? apakah nanti juga akan bakal ada  kemarahan  berbalas pantun dengan rakyat? wallahu alam bisshawab.

***

*)Oleh:  Dr. Sukardi Dekan FISIP Unmer Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES