Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ultah Polri ke-74 Pembuktian Sebagai ”Mujahid”

Kamis, 02 Juli 2020 - 11:52 | 34.29k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Tugas yang dihadapi Polri di usia yang ke-74 ini makin berat. ”Proyek” kriminalitas bertajuk kejahatan sangat istimewa (exstra ordinary crime) dan masih kuatnya pandemi Covid-19 yang dihadapi oleh polri sejatinya sebagai wujud riil pengabdian agung profetisnya, yang jika tidak dilaksanakan dengan maksimal, tentulah yang terancam adalah hak ketenangan dan keberlanjutan hidup masyarakat. Dalam ranah inilah peran Polri menjadi peran yang sangat asasi, pasalnya menentukan kepentingan-kepentingan strategis di masyarakat.

Sebaliknya, jika bisa dilaksanakan dengan maksimal oleh polri, maka  polri tak ubahnya penegak dan pelindung hak asasi manusia, khususnya hak hidup (right for life), yang untuk menegakkannya, apalagi Polri juga mempertaruhkan hak hidupnya sendiri, dimana bukan hanya nyawanya yang selalu dipetaruhkan ketika berhadapan dengan penjahat seperti teroris dan para pengedar dan produsen narkoba misalnya, tetapi dalma relasinya dengan penanggulangan  Covid-19 jug demikian.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia  disebutkan, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya (ayat 1). Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin (ayat 2), dan  setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (ayat 3).

Dengan mengacu pada norma yuridis tersebut menjadi kian jelas, bahwa peran Polri dalam memerangi kejahatan tertentu (seperti terorisme) sejatinya sebagai bentuk ”jihad”  terhadap segala bentuk penyakit bangsa atau virus radikalistik-ekstrimistik, yang mengancam dan menjagal hak-hak fundamental masyarakat, khususnya hak hidup.

Dalam pandangan Nurcholis Majid, bahwa barangsiapa menghormati (menyelamatkan) satu nyawa manusia di muka bumi, maka ia laksana menyelamatkan nyawa manusia sejagad, dan siapa saja yang membunuh satu nyawa, maka ia mmbunuh manusia sejagad”.

Pandangan cendekiawan itu menunjukkan, bahwa setiap elemen masyarakat yang mampu memaksimalkan perannya dalam melindungi nyawa manusia, berarti perannya mampu memasuki ranah lintas universalitas kehidupan manusia dan bangsa manapun di muka bumi.

Manusia yang semula mempunyai peran sebagai pembebas dan penyejahtera di masyarakat, akhirnya  bisa berlanjut menjalankan peran fundamentalnya ini dalam wilayah makro, yang salah satu zona pengabdian profetisnya menjadi sumber harapan hidup bagi manusia lainnya. Kalau manusia lain bisa terjaga atau terlindungi hak keberlanjutan hidupnya, berarti semakin banyak anak-anak bangsa yang bisa diselamatkan dan diberi kesempatan menata kehidupan ini menjadi semakin beradab.

Berbeda problemnya ketika teroris diberikan kesempatan leluasa untuk menciptakan ketakutan dan menyebarkan ”maut” di tengah masyarakat, maka tak pelak konstruksi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan ini layak digolongkannya gagal memerankan diri sebagai organisator humanis, populis, dan pembebas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau seperti itu, maka polri sebagai ”rasul negara” layak dikatakan sebagai penegak hukum yang tidak menempatkan satu nyawa manusia sebagai nyawa sejagad. Karena polri sudah berusaha menunjukkan kinerjanya dalam melawan teroris, , maka polri berhak mendapatkan kado apresiasi publik sebagai penegak  ”hak asasi manusia sejagad”.

Dus, untuk memberikan dukungan terhadap kinerja polri tersebut, tampaknya masyarakat mulai harus mengubah sikapnya dalam berelasi dengan Polri. Bukan hanya apresiasi yang sepatutnya dialamatkannya kepada Polri, tetapi masyarakat juga harus cerdas dan obyektif menilai, bahwa berbagai bentuk penyakit bertajuk malversasi dan penodaan profesi memang senyatanya masih melekat dalam diri elemen penegak hukum maupun elite kekuasaan lainnya.

Meski masyarakat belum memberikan apresiasi maksimal terhadap kinerjanya (polri) dalam berperang melawan kejahatan istiemwa, tapi Polri tetap harus berusaha keras melawan (menyembuhkan) dan mengalahkan segala ”virus” yang bersarang atau menghegemoni dirinya. Kemampuan mengalahkannya akan menentukan konstruksi kinerjanya dalam hubungannya sebagai pelayan dan pelindung publik.

Apresiasi publik akan mengalir pada polri yang secara institusional maupun individual berani mendekonstruksi ”virus” yang bersarang di tubuhnya. Selama polri belum bergiat sebagai pejuang (mujahid) penyakitnya, maka apresiasi publik masih menjadi ”barang mahal” untuknya.

Sekarang kejahatan-kejahatan serius masih terus mengancam atau cenderung makin berkembang atau ”berwarna”, diantaranya banyaknya ”tangan-tangan jahat” yang membonceng kepentingan penanganan berwujud Covid-19, sehingga eksaminasi yang dihadapinya semakin meluas dan diversifikatif. Inilah  eksaminasi exstra ordinary  yang mempertaruhkan ke-mujahidan-nnya di tengah kehidupan bermasyarakat. Pertaruhan profetis ini diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dan militansinya sebagai ”sang pejuang”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES