Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Anak-Anak Konstitusionalitas

Kamis, 02 Juli 2020 - 10:45 | 31.61k
Ana Rokhmatuss’adiyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatuss’adiyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Secara konstitusional, Indonesia beridentitaskan sebagai negara hukum, suatu negara yang dalam penyelenggaraan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan didasarkan atas hukum, dan bukan didasarkan atas kekuasaan semata, apalagi didasarkan atas kekuatan “okol”.

Setiap perilaku elemen masyarakat, termasuk anak haruslah sejalan dengan norma-norma yang mengaturnya. Norma yang mengatur soal baik dan benar, jahat atau melanggar merupakan bagian dari norma yang menjadi jiwa bangunan negara hukum. Masalahnya, sudahkah anak-anak kita ini sebagai pilar bernegara yang benar-benar jadi “anak-anak yang konstitusionalitas”?

Jawaban atas perntanyaan itu adalah “belum”,  karena faktanya selama ini anak-anak kita memang belum menjadi sosok yang benar-benar bernegara  hukum. Mereka masih menjadi  perwujudan dari sekumpulan “unsur”, kelompok atau “golongan” yang lebih menyukai sikap dan perilaku yang antagonistic dengan doktrin konstitusi. Kasus Budi yang menghabisi nyawa gurunya, adalah bukti konkritnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau memang mereka itu jalani hidup secara konstitusional, mereka tentu tidak akan sampai terjerumus terus menerus dengan menerapkan “keakuan” yang maha kuat sendiri, sementara yang lainnya layak dikorbankan atau dihancurkan, meski itu guru atau orang tuanya

Kalau mereka memang sudah bernegara hukum, tentulah karakter yang menyayangi, mengasihi, dan melindungi, serta berlaku beradab jauh lebih diberi kuasa guna merajut relasi kemanusiaan yang inklusif, dan bukannya pola-pola kemasyarakatan yang bercorak barbarianistik.

Mereka punya doktrin yang mengajarkan tentang pentingnya mengonstruksi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang berkeadaban dan bermartabat, yang mncerminkan kekuatan bangunan negara hukum, namun mereka justru sering menodainya sendiri.

Secara general bangsa kita ini masih menjadikan kosa kata agung dalam bernegara hukum sebatas ada dalam ranah kertas (abstrak),  dan belum sampai benar-benar membumi dalam ranah realitas (das sein) Keindonesiaan.

Sikap dan perilaku kebernegaraan kita masih tempatkan sebagai “kebesaran” bernegara yang formalistik, dan belum bentuk dan kembangkan sikap dan perilakau yang wujudkan hidup berkeadaban dan berkemanusiaan dimana-mana, dan sebaliknya malah gaya kekerasam kita produk dimana-mana.

Sebagian diantara kita masih terseret dalam arus pembenaran kalau pola barbar atau radikal adalah sebagai suatu opsi. Bahkan diantara kita masih tidak sedikit  yang bernegara dengan cara yang sangatlah antagonistik dengan doktrin konstitusi. Kita merasa puas kalau bisa mewujudkan berbagai bentuk kekerasan seperti kebiadaban. Akibatnya, anak-anak rentan menjadikan sebagai kiblatnya.

Kita masih jadikan konstitusi sebatas sebagai baju” atau  tameng untuk berkelana dalam mengikuti oportunisme, dan bukan temptkan konstitusi sebagai sumber fundamental mengkreasikan diri dalam ranah pengabdian kemanusiaan atau penegakan hak-hak universalitas.

Sebagian elemen sosial dengan gampang mewujudkan tangan-tangannya menjadi tangan-tangan kotor  dan berlumuran darah, yang tentu saja mengakibatkan sesama, baik yang berbeda etnis, budaya, agama maupun politik menjadi korban atau menderita kerugian moril maupun materiil.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita ini masih demikian sering menempuh jalan sesat dan ketidakberadaban dalam bernegara. Bukan doktrin bernegara hukum yang membuat kita tersesat ke pilihan dehumanisasi, tetapi berbagai bentuk pertarungan kepentingan dan klaim kebenaran sendiri dan kelompok, yang membuat kita rentan terjerumus “menghalalkan” beragam kekerasan.

Itu artinya kita belum menjadikan norma konstitusi sebagai pijakan utama membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang ramah kemanusiaan. Kita masih demikian gampang terhanyut mengikuti  desakan emosi, klaim benar sendiri, atau sejumlah alasan  eksklusif lainnya, yang membuat kita gagal menjadikan sesama sebagai “keluarga besar”  yang wajib disayangi dan dilindungi.

Meski pelajaran sudah demikian sering menampar wajah kita, tapi  dalam ranah itu, kita benar-benar seperti sebagai sekumpulan elemen bangsa yang mengidap bebalitas, sehingga apapun yang terjadi, kita anggap angin lalu. Kita belum benar-benar mencintai hidup berkeadaban secara universalitas.

Kita memang semestinya harus benar-benar belajar dan sadar, bahwa konstitusi kita menghargai hidup keberaga,aam dam berkeadaban. Tidak boleh kekerasan dijadikan sebagai pilihan untuk mengatasi masalah. Konstitusi (hukun) harus menjadi “panglima” terhadap segala problem sosial kemasyarakatan..

Doktrin konstitusi Indonesia yang ramah kemanusiaan atau memberikan tempat terhormat pada manusia dari golongan, keyakinan, dan agama apapun, dalam  kenyataannya seringkali tidak diberikan kesempatan tumbuh progresif sebagai kekuatan yang mendidik untuk mencintai dan melindungi sesama manusia.

Supaya kehidupan kenegaraan dan kemasyarakat di negeri ini semakin menampakkan atmosfir kebahagiaan dan kedamaian, serta terbebas dari berbagai ancaman kekerasan, maka mendesak saatnya sekarang ini untuk menstranformasikan doktrin konstitusi secara terus menerus di tengah masyarakat, khususnya di kalangan anak-anak.

Mereka wajib disadarkan dan diperkuat komitmennya dalam mencintai Indonesia dengan cara menguatkan mentalitasnya supaya gampang mencintai sesamanya. Anak-anak harus dbentuk pemahaman dan perilakunya secara terus menerus, bahwa mencintai negeri diantaranya ditentukan oleh tingkat pemahaman dan praktik berkehidupan konstitusional  dalam dirinya. Kalau kekuatan muda ini mampu melakukan atau mengadaptasikannya, maka Indonesia yang bernegara hukum yang kuat tidak bukanlah impian kosong.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatuss’adiyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES