Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Cara Membaca "Kurikulum Terorisme"

Kamis, 02 Juli 2020 - 08:50 | 42.53k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku terorisme.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku terorisme.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “Di Batu, teroris kena batunya”, inilah ungkapan Imam Kabul (walikota Batu) paska berakhirnya petualangan  gembong teroris  bernama Dr Azahari atau popular dikenal dengan “the demolition man”.  Azahari diduga menjatuhkan opsi bunuh diri setelah tidak menemukan jalan keluar melarikan diri.

Sebagai kota wisata, Batu rupanya telah dijadikan markas dan incaran komplotan Azahari. Kasus ini setidaknya dapat dibaca, bahwa  daerah wisata akan dijadikan sebagai sasaran atau “proyek” penyuksesan terorisme. Persoalannya, paska kematian gembong teroris ini, apakah kawasan wisata akan tetap dijadikan “proyek” teroris?

Sejarah memberi pelajaran, sudah dua kali peristiwa memilukan bernama terorisme terjadi di Pulau Dewata, suatu kasus kriminal kelas istimewa atau popular disebut “exstra ordinary crime” Pulau impian dan menjadi salah satu andalan pariwisata Indonesia yang bernilai tinggi untuk “dijual” kepada wisatawan mancanegara maupun lokal,  sudah benar-benar merasakan balutan  duka.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Siapapun tahu, Bali (sebelum Covid-19 memasuki Indonesia) adalah daerah tujuan wisata utama Inonesia. Posisi itu antara lain dibuktikan dengan sumbangannya terhadap devisa negara. Dewasa ini, devisa negara dari sektor pariwisata  secara nasional sekitar  5,1 miliar dollar AS pertahun, Pariwisata Bali menyumbang lebih dari separuhnya: 2,5 miliar dollar sampai 3 miliar dollar AS pertahun.

Di dalam diri pengebom, barangkali yang ada dan sedang dipuja-puja sebagai bukti arogansi, adalah “birahi kebinatangan” untuk memproduk kenestapaan, menciptakan luka sejarah kemanusiaan berkelanjutan, atau melanjutkan tragedi supaya diri dan jaringannya tetap dikenal di masyarakat internasional sebagai kekuatan yang diperhitungkan.

Teroris itu bermaksud menyampaikan pesan politik globalnya di Bali atau kawasan wisata lain (Batu), bahwa wisata Indonesia yang dikenal sebagai surganya turis tidaklah tepat dan sebaliknya yang benar adalah surganya teroris, Teroris mencoba mengeliminasi stigma publik yang selalu mengagungkan Bali misalnya sebagai tempat damai nan membahagiakan untuk dikunjungi dengan cara menghadirkan peristiwa tragis bernama “kejahatan melawan kemanusiaan” (crime againt humanisty).

Teroris memang hebat dalam memanfaatkan “media strategis” yang jitu digunakan menyampaikan pesan kepada masyarakat internasional, pasalnya Bali misalnya merupakan salah satu  tempat wisata yang banyak diminati oleh masyarakat internasional. Di Bali ini berkumpul  berbagai macam etnis bangsa dengan segala corak budayanya, yang dalam “kurikulum teroris” tergolong sebagai obyek basah, karena begitu teroris sukses menjalankan misinya, teroris langsung menuai nama yang tercatat dalam agenda sejarah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Menurut penulis, di mata teroris iru, kawasan wisata ingin diubah alur sejarahnya atau digeser bukan menjadi wisatanya turis, tetapi wisatanya teroris, karena dari daerah wisata ini, teroris bisa mengolah dan mewujudkan gerakannya. Khusus di Bali, teroris tidak begitu menyukainya, mengingat tidak bisa dijadikan media untuk menunjukkan kalau jaringannya sudah menjadi bagian dari kekuatan global yang layak dipergitungkan oleh negara-negara maju.

Menyikapi “birahi” teroris yang bermaksud menjadikan daerah wisata sebagai surganya, yang ditandai dengan kesuksesan memproduk kebiadaban di Bali, sudah seharusnya  masyarakat mengikuti adagium iklan berbunyi “bersama kita bisa”. Kalau teroris dengan kekuatan terorganisirnya bisa membikin Bali, Batu, Indonesia, dan masyarakat internasional menangis, maka sudah selayaknya langkah konkrit mengamankan kawasan wisata dilakukan dengan kebersamaan, yang melibatkan masyarakat, aparat (kepolisian, inteljen, dinas bea cukai, dan lainnya), serta turis.

Ketiga kekuatan strategis itu meripakan trisula jihad kolektif yang bisa diharapkan mengamankan kawasan wisata sebagai surga bangsa Indonesia. Di tangan mereka ini, eskalasi gerak  teroris bisa dicegah atau dieliminasi. Dari ketiganya ini, peran pengawasan terhadap setiap gerak-gerik pendatang, orang asing, atau perilaku seseorang yang berkadar mencurigakan dijadikan sebagai kampanye “jihad kolektif

. Kalau aparat kerap sukses menangkap basah penyelundup narkoba yang mencoba menjadikan negeri ini sebagai “pasar bebasnya”, seharusnya dari kasus ini saja trisula tersebut sudah bisa menarik benang merah, bahwa pelaku kejahatan yang lebih berat dan terorganisir potenial bisa menjadikan kawasan wisata sebagai surganya. Sedangkan pelaku kejahatannya bisa berasal dari wisatawan mancanegara (wisman) maupun wisatawan lokal (wislok), yang sesuai dengan target yang ingin dicapainya.

Kalau selama ini pengawasan dan pengamanan lebih terfokus pada bandara, maka sudah seharusnya kawasan darat atau jalur lain yang lebih mudah bagi teroris atau kriminal jenis apapun yang hendak masuk kawasan wisata juga diadakan atau ditingkatkan pengawasannya.

 Dengan terbongkarnya kembali kawasan wisata sebagai target dan markas teroris, maka ada kemungkinan teroris akan meredefinisi dan merekonstruksi modus operandi dan target-targetnya, yang melebar di luar kawasan wisata.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sebagai sampel politik penanggulangan teroris, adalah ledakan bom setahun lalu di London. Meski pemerintah mencoba mengecilkan ledakan bom ini dengan mengerucutkan aktornya pada “tokoh” muslim berhaluan keras, namun masyarakat bukan hanya merasa dilibatkan oleh aparat untuk menempatkan teroris sebagai musuh bersama (common enemy), tetapi juga melibatkan dirinya secara aktif. Informasi dalam bentuk WA, SMS atau telpon dan lainnya dari masyarakat kepada pihak berwajib misalnya terus berjalan sebagai bagian dari langkah masyarakat dalam berpartisipasi melawan teroris.

Masyarakat London itu merasa, bahwa perang melawan teroris bukan hanya milik aparat kepolisian dan tentara, tetapi juga menjadi kewajiban setiap elemen bangsa. Siapapun yang menjadi bagian dari bangunan nasionalisme, tentulah di dalam dirinya punya komitmen tinggi untuk menjadi benteng dari stabilitas keamanan nasional, termasuk membentengi negara dari serangan teroris.

Seharusnya masyarakat kita pun begitu kedepan, bahwa perang melawan teroris adalah bagian dari “proyek” partisipasi publik, artinya setiap elemen bangsa ini punya kewajiban untuk membaca dan melaporkan berbagai indikasi yang diniscayakan sebagai bagian dari organisasi teroris kepada aparat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku terorisme.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES