Kopi TIMES

Senjakala Ujian Nasional

Rabu, 01 Juli 2020 - 20:35 | 50.20k
Gerardus Kuma Apeutung, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Flores, NTT.
Gerardus Kuma Apeutung, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Flores, NTT.

TIMESINDONESIA, NTT – Setelah dilantik menjadi Mendikbud pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menggagas kebijakan “Merdeka Belajar”. Kebijakan ini memuat empat point perubahan pendidikan dimana salah satunya adalah penghapusan Ujian Nasional.

Mendikbud, sebagaimana diberitakan detik.com (11/12/2019) memaparkan empat point berkaitan penghapusan ujian nasional, yaitu pertama, penghapusan UN baru dilakukan tahun 2021. Untuk tahun 2020, UN masih dilaksanakan seperti tahun sebelumnya.

Kedua, sebagai ganti UN penilaian dilakukan melalui mekanisme Assesment Kompetensi Minimum dan Survey Karakter. Ketiga, Assessment Kompetensi Minimum dan Survei Karakter akan dijalankan di tengah jenjang agar guru memiliki waktu untuk melakukan perbaikan. Keempat, hasil Assesment Kompetensi Minimu dan Survey Karakter tidak akan dijadikan alat seleksi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Menghadapi UN 2020, berbagai persiapan dilakukan sekolah; kegiatan seperti pembedahan kisi-kisi UN, pelaksanaan try out soal dan simulasi UNBK hingga pembentukan panitia ujian tingkat sekolah dilakukan. Namun segala persiapan tersebut menjadi tidak berarti ketika Mendikbud mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran  Corona Virus Desease  (Covid-19) dimana salah satu isinya adalah meniadakan UN 2020. Situasi pandemic Covid-19 yang tak diduga memaksa ujian nasional ditiadakan satu tahun lebih awal dari rencana.

Merunut sejarah, ujian nasional (UN) pertama kali diselenggarakan tahun 2003 untuk menggantikan Evaluasi Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Awalnya dinamakan ujian akhir nasional (UAN). Setelah dua tahun pelaksanaan, UAN diganti menjadi ujian nasional (UN). Walau mengalami perubahan nama, ujian ini mempunyai tujuan sama yaitu sebagai penentu kelulusan siswa, pemetaan mutu pendidikan secara nasional, dan seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dalam perjalanan pelaksanaannya UN mengalami beberapa perubahan seperti adanya UN ulang bagi siswa yang tidak lulus, penambahan jumlah paket soal, dan perubahan UN kertas pensil menjadi UN berbasis komputer; namun tetap dengan fungsi yang sama hingga tahun 2014. Penyelenggaraan UN dengan fungsi demikian menjadikan UN momok yang menakutkan.

Dengan standar nilai tertentu yang menjadi kriteria kelulusan, siswa dituntut untuk harus memenuhi standar nilai tersebut agar bisa lulus dari suatu jenjang pendidikan. Konsekuensinya bila tidak memenuhi kriteri kelulusan siswa harus mengulang lagi di jenjang tersebut dan atau mengikuti UN ulang. Ujian Nasional pun ”memakan” korban. Siswa menjadi stress bahkan bunuh diri karena tidak lulus ujian nasional.

Ujian nasional kemudaian dievaluasi. Sejak tahun 2015 fungsi UN diubah. Hasil UN tidak lagi digunakan sebagai penentu kelulusan dan seleksi ke jenjang pendidikan lebih tinggi tetapi hanya digunakan sebagai pemetaan mutu pendidikan. Perubahan fungsi UN ini tidak serta merta menghilangkan beban atas pelaksanaan UN. Ujian nasional tetap menjadi momok bagi insan pendidikan.

Tekanan yang cukup tinggi baik dari pihak sekolah, dinas, maupun pemerintah daerah untuk “mengangkat nama” dalam hal kualitas pendidikan mendorong sekolah/ daerah untuk melakukan tindakan tidak terpuji. Misi UN tidak lagi luhur untuk mendongkrak kualitas pendidikan tetapi direduksi menjadi kesempatan memamerkan nama besar. UN menjadi arena pertaruhan prestasi dan prestise sekolah dan atau daerah.

Non Scholae, Sed Vitae Discimus

Sejak awal diselenggarakan UN terus menuai pro dan kontra dalam pelaksanaannya setiap tahun. Ada yang mendukung, ada yang menolak. Tentu dengan argumentasi masing-masing. Ketika Mendikbud Nadiem mengumumkan penghentian UN, beragam reaksi muncul. Pihak yang selama ini menolak UN menyambut baik dan mendukung keputusan Menteri Nadiem. Sebaliknya para pendukung UN melontarkan kritik dan penolakan atas keputusan tersebut.

Reaksi penolakan penghapusan UN datang dari tokoh nasional M. Yusuf Kalla. Mantan Wakil Presiden RI ini menyatakan merujuk pada hasil PISA 2018 yang menurun, ini disebabkan perubahan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak lagi menjadikan UN sebagai penentu kelulusan. Perubahan kebijakan ini menyebabkan semangat belajar siswa menurun.

Lebih jauh Kalla menjelaskan UN dilaksanakan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Mutu pendidikan diibaratkan meletakkan mistar dalam lompat tinggi. Untuk meningkatkan prestasi, ketinggian mistar secara bertahap ditambah. Bukan sebaliknya, karena mau meluluskan siswa, ketinggian mistar yang diturunkan (Kompas.id, 20/12/2019).

Argumentasi pihak pro UN, sebagaimana diwakilkan Bapak Jusuf Kalla berangkat dari asumsi ujian nasional sebagai pendongkrak semangat belajar siswa. Dengan adanya UN siswa lebih semangat belajar. UN adalah dosis penambah motivasi belajar siswa. Karena itu menghapus UN berarti memanjakan siswa dalam belajar. Dan tanpa UN semangat belajar siswa akan memudar. Mengikuti alur berpikir di atas maka belajar hanya dilakukan bila ada ujian. Tujuannya tentu untuk mendapatkan nilai yang tinggi atau untuk lulus ujian.

Faktanya memang demikian. Ujian nasional telah menjadikan proses pembelajaran di sekolah menjadi “kering”. Dimana pada kelas akhir setiap jenjang pendidikan, pembelajaran lebih diorientasikan pada persiapan siswa menghadapi ujian nasional. Siswa dilatih mengerjakan soal-soal ujian; mengikuti try out soal dan melakukan simulasi UNBK. Fokus pembelajaran telah bergeser dari upaya membentuk siswa sebagai pribadi pembelajar ke tujuan pragmatis yaitu memperoleh nilai kelulusan. Rezim UN telah membuat pendidikan menjadi pragmatis; mengejar angka-angka semata dan mengabaikan penanaman nilai dalam diri anak didik.

Praktek pendidikan demikian hanya akan membunuh semangat belajar siswa sebagaimana dikritik Satryo Soemantri Brodjonegoro. Dirjen Dikti 1999-2007 itu mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini belum mampu membentuk kemampuan berpikir individu dan belum menumbuhkan kebutuhan belajar individu.

Strategi untuk perubahan pendidikan harus dilakukan dengan perubahan pola pikir para pelaku pendidikan dimana pendidikan seyogianya mampu membelajarkan peserta didik, bukan sekedar mengajari dan melatih mereka. Perubahan ini harus didukung oleh kemauan politik pemerintah untuk menghapus ujian nasional karena UN bertentangan dengan hakekat pendidikan (Kompas.id, 08/01/2020).

Seneca, seorang pengacara dan anggota Senat kota Roma dalam suratnya kepada Lucius, Seneca menulis, “Non scholae, sed vitae discimus,”. Melalui pernyataan ini, Seneca menekankan pentingnya belajar untuk kehidupan, bukan hanya untuk sekolah. Belajar sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hidup. Karena itu pendidikan dibuat untuk hidup bukan hanya sebagai sarana mengejar ijasah dan gelar (Pandor, 2010:93-95).

Pesan mendalam pernyataan Seneca tersebut adalah kita belajar (sekolah) bukan untuk mendapatkan nilai ujian yang tinggi tetapi ilmu yang kita pelajari dapat dipergunakan dalam kehidupan. Belajar bukan untuk mendapatkan angka-angka fantastis tetapi sebagai bekal untuk hidup nanti.

Dalam terang pemikiran Seneca, menjadikan ujian sebagai pemantik belajar siswa adalah pengingkaran akan hakekat belajar. Aktivitas belajar direduksi tujuannya hanya demi memperoleh nilai akademik fantastis dan selembar kertas ijasah. Orientasi pendidikan pun dibelokkan pada upaya mendapatkan nilai tersebut ketimbang mempersiapkan anak menghadapi masa depan sebagai pembelajar. 

Menjadikan ujian sebagai motivasi belajar siswa merupakan ancaman bagi pembelajaran sepanjang hayat (long life learning). Belajar adalah sebuah proses tanpa batas. Aktivitas belajar tidak hanya dilakukan saat mengenyam pendidikan, namun terjadi sepanjang hayat. Sepanjang manusia itu hidup, selama itu pula belajar berlangsung.

Sudah saatnya orientasi pendidikan diarahkan untuk menumbuhkan semangat belajar dalam diri anak tanpa iming-iming tertentu; mendapat nilai bagus atau lulus Ujian Nasional, misalnya. Dengan demikian kebutuhan akan belajar terus terpenuhi walau seseorang sudah menyelesaikan pendidikan dan tidak akan menghadapi ujian lagi.

***

*)Oleh: Gerardus Kuma Apeutung, Guru SMPN 3 Wulanggitang, Flores, NTT.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id



______
*)
Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES