Kopi TIMES

Refleksi Seleksi Penerimaan Siswa Baru

Rabu, 01 Juli 2020 - 02:22 | 64.76k
Ratna Istriyani, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Grafis: TIMES Indonesia)
Ratna Istriyani, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pergantian tahun ajaran baru adalah momentum suka cita bagi siswa. Hal itu ditandai dengan euphoria kenaikan kelas hingga kelulusan. Beberapa waktu lalu masih hangat dalam ingatan bagaimana siswa dari tingkat dasar hingga atas merayakan kelulusan, kendati secara virtual maupun dengan prosesi terbatas karena problem pandemi. Kelulusan memang menjadi momentum yang sulit untuk dilepaskan dalam tradisi pendidikan, terutama di Indonesia.

Pasca perayaan kelulusan, tahapan yang berat kembali menanti siswa yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Orang tua turut dipusingkan dengan proses pendaftaran peserta didik baru (PPDB) ini. 

Seperti diketahui, sejak tahun 2017 PPDB beralih menggunakan sistem zonasi, yang aturannya disempurnakan melalui Permendikbud No. 14 Tahun 2018 dan diperbarui setiap tahun. Sistem zonasi dianggap sebagai langkah reformatif untuk mencapai pemerataan akses layanan dan kualitas pendidikan, serta menghilangkan sistem stratifikasi antara sekolah favorit dan bukan favorit. Hal itu karena kriteria penerimaan siswa baru tidak hanya ditentukan oleh nilai mata ujian melainkan juga jarak sekolah dengan rumah (zona). 

Efek Laten Sistem Zonasi

Orientasi mengejar target pemerataan akses pelayanan dan kualitas pendidikan tentu adalah tujuan yang harus dicapai. Mengingat memperoleh pendidikan yang layak adalah hak seluruh warga negara seperti  yang diamanatkan undang-undang. Kemudian strata sekolah, yaitu dikotomi sekolah favorit dan bukan favorit juga menunjukkan kesenjangan sosial dalam dunia pendidikan kita yang perlu didekonstruksi. 

Sekolah favorit diidentikan dengan fasilitas serba memadai, siswa-siswa berprestasi dan kompetitif, serta guru-guru berkualitas. Yang mana sekolah favorit lazimnya banyak ditemukan di wilayah urban. Sebaliknya dengan sekolah bukan favorit, yang umumnya ada di pinggiran atau perdesaan dan mendapatkan predikat second choice. Dengan kata lain, baru dipilih jika tidak diterima di sekolah favorit. Hal ini sekaligus menunjukkan refleksi kesenjangan pendidikan di lingkungan urban dan pinggiran jika ditentukan oleh indikator fasilitas, kualitas pendidik, dan standar prestasi peserta didik. 

Persoalannya di sini adalah konstruksi masyarakat terhadap sekolah masih dibentuk oleh tiga kriteria tadi. Dengan demikian, mengubah konstruksi mengenai dikotomi sekolah favorit dan bukan favorit adalah dengan memenuhi kriteria tersebut. Namun, memenuhi pemerataan fasilitas pendidikan dan peningkatan kualitas SDM di sekolah pinggiran juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh komitmen dan proses bertahap. Sejauh ini, sekolah pinggiran memang belum bisa dikatakan sememadai sekolah-sekolah favorit. 

Sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru dan pemerataan sarana pendidikan yang belum berjalan linier sejauh ini, rupanya justru menimbulkan konsekuensi laten yang juga perlu dikaji ulang. Pertama yaitu nasib pada peserta didik berprestasi namun tidak tertampung di jalur prestasi karena kuota terbatas dan jarak rumah dengan sekolah melebihi batas kriteria. Kedua terkait kebimbangan peserta didik yang memang jarak antara rumah dan sekolah melebihi batas zona. Mengingat tidak setiap daerah memiliki jumlah sekolah yang memadai untuk menampung peseta didik.  Efek laten ketiga yang perlu diantisipasi yaitu arus migrasi dari desa ke kota yang dilakukan orang tua, demi menyekolahkan anak di sekolah favorit. Efek ketiga ini tentu saja berpengaruh pada kepadatan di kota. 

Agenda Penting Selanjutnya

Menengok dari efek laten proses PPDB, pemerataan kualitas pendidikan masih menjadi problem fundamental. Kualitas pendidikan setidaknya ditentukan oleh dua hal yaitu sarana dan prasarana serta sumber daya pendidik yang memadai secara kuantitas dan kualitas. Jika keduanya diperbaiki dan dimaksimalkan maka output siswa berprestasi juga terpenuhi. Oleh karena itu, pekerjaan rumah yang harus dilakukan guna mendukung suksesnya sistem zonasi dan pemerataan pendidikan adalah dengan membenahi pemerataan fasilitas pendidikan dan sumber daya pendidik terutama untuk wilayah pinggiran atau perdesaan. 

Dua hal itu memang problek klasik sebenarnya, namun memang itu poin utamanya. Hal itu dilakukan sekaligus untuk mengubah kontruksi masyarakat pada umumnya mengenai potret sekolah di wilayah pinggiran yang sejauh ini masih dianggap kurang memadai dan seringkali menjadi pilihan kedua. Dengan demikian kesenjangan pendidikan di wilayah urban dan perdesaan tidak lagi menjadi problem. (*)

***

*)Oleh: Ratna Istriyani, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES