Pemerintahan

Polemik RUU HIP, Ini Pendapat Anggota DPR RI Fraksi PKB Yanuar Prihatin

Selasa, 30 Juni 2020 - 11:33 | 41.03k
Anggota DPR RI Fraksi PKB, Yanuar Prihatin. (FOTO: Oon Mujahidin/TIMES Indonesia)
Anggota DPR RI Fraksi PKB, Yanuar Prihatin. (FOTO: Oon Mujahidin/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, KUNINGAN – Anggota DPR RI Fraksi PKB, Yanuar Prihatin menanggapi pro dan kontra RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang belakangan diusulkan diubah namanya menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIB).

Menurutnya, ada perubahan nama, namun isi dari RUU itu tidak ada perubahan signifikan. Bahkan, perubahan nama RUU saja tidak menyelesaikan substansi persoalan yang ada.

“Usulan perubahan RUU Haluan Ideologi Pancasila menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila tidak akan menyelesaikan masalah, jika substansinya tidak berubah sama sekali. Apalagi persepsi publik yang terbentuk cenderung negatif terhadap RUU apapun yang berjudul Pancasila,” kata Yanuar Prihatin dalam rilis yang diterima TIMES Indonesia, Selasa (30/6/2020).

Dalam suasana semacam ini, kata Yanuar, semua pihak harus injak rem dulu agar semua memiliki kesempatan untuk berpikir lebih jernih, komprehensif dan kontekstual. Menurutnya, lebih baik duduk kembali bersama mulai dari nol.

“Kita samakan dulu cara pandang dan frekuensi pikirannya, supaya tidak salah paham yang berlebihan soal pengaturan Pancasila ini. Apa sebenarnya yang harus diatur soal Pancasila ini dalam bentuk undang-undang,” kata Yanuar yang juga anggota Badan Kajian MPR RI.

Menurutnya, saat ini yang diperlukan adalah implementasi Pancasila, bukan penafsiran ideologis filosofis tentang Pancasila. Hentikan perdebatan ideologis-filosofis-politis yang salah kaprah.

“Lebih baik kita bertanya, sudahkah nilai-nilai Pancasila saat ini menyatu dalam pikiran, hati, kata-kata dan tindakan? Kita memerlukan metodologi, teknik atau cara yang efektif untuk sosialisasi dan operasionalisasi Pancasila yang bisa diterima dan dilakukan semua pihak,” tuturnya.

Yanuar-Prihatin-b.jpg

Dia menjelaskan, sosialisasi Pancasila yang dilakukan hanya oleh MPR dan BPIP jelas masih kurang, tidak memadai dan belum menyentuh partisipasi semua kalangan. Negara harus membuka peluang, mendorong dan memfasilitasi agar sosialisasi ini tidak menjadi monopoli lembaga tertentu saja. Biarkan semua pihak memiliki akses yang terbuka untuk terlibat dalam sosialisasi dan pemasyarakatan Pancasila ini.

Ketua DPP PKB ini meyakini, bahwa ketika semua pihak memperoleh kesempatan untuk terlibat dalam sosialisasi maka Pancasila akan lebih mudah membumi. Nilai-nilai Pancasila akan lebih mudah menyebar dan menjalar melalui berbagai cara atau teknik yang lebih kreatif, variatif, terpola, berkesinambungan dan berjenjang.

Organisasi keagamaan, kemasyarakatan, kepemudaan, kemahasiswaan, kewanitaan, lembaga pendidikan formal dan nonformal, organisasi profesi, pers, partai politik bahkan sekelas karang taruna di tingkat desa/kelurahan bisa berperan sangat aktif untuk terlibat penuh dalam kerja sosialisasi Pancasila ini.

“Ini adalah pekerjaan besar bersama, bukan proyek yang dimonopoli segelintir orang atau lembaga tertentu saja,” ujar Yanuar.

Cara ini sangat efektif, kata Yanuar, untuk menggairahkan partisipasi masyarakat dalam sosialisasi Pancasila. Pada sisi lain, langkah ini akan mengurangi kecurigaan, resistensi dan kekhawatiran bahwa Pancasila akan direduksi maknanya oleh segelintir orang atau kelompok tertentu.

Keterbukaan semacam ini sekaligus akan menjauhkan Pancasila dari tafsir sepihak dan menutup kesempatan pihak penguasa menyalahgunakan Pancasila.

“Kita tidak boleh lagi menempatkan Pancasila hanya milik segelintir orang, kelompok atau golongan tertentu saja. Penerapan Pancasila di masa Orde Lama dan Orde Baru harus menjadi pelajaran sejarah yang sangat penting agar kita tidak lagi tergelincir pada monopoli Pancasila," ucapnya.

Saat ini, terang Yanuar, pemerintah dan DPR semestinya bertanggungjawab penuh untuk menempuh dan mendorong agar masyarakat dan semua pihak lebih antusias, happy dan partisipatif dalam sosialisasi Pancasila.

Dalam konteks itulah diperlukan institusi, lembaga atau badan tertentu yang lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator dan dinamisator untuk membangun network sosialisasi Pancasila secara nasional maupun lokal, bahkan internasional. Lembaga ini harus bersifat nasional, mandiri dan bebas dari campur tangan sepihak penguasa atau partai politik tertentu saja.

“Kita sudah punya lembaga khusus yang mandiri untuk menangani korupsi, hak asasi manusia, pemilu, anak-anak, perempuan, dan masih banyak lagi. Tapi kenapa hingga saat ini tidak punya lembaga khusus yang mengkoordinasikan dan menggerakan kekuatan nasional untuk sosialisasi Pancasila sekaligus standardisasi metodologinya?” tanya Yanuar.

Menurut anggota DPR dari Dapi Jabar X ini, BPIP yang ada saat ini tidak tergolong lembaga yang semacam itu karena dibentuk oleh Presiden. Sosialiasai 4 Pilar yang dillakukan oleh para anggota MPR selama ini juga tidak mencerminkan gerakan nasional sosialisasi Pancasila.

Lembaga baru ini seyogyanya bisa diawasi dan dikontrol oleh publik dan mendapat jaminan fasilitasi oleh negara. Karena itu, lembaga ini dibentuk oleh Presiden dan DPR, beranggotakan individu-idividu yang mewakili keragaman aspirasi, golongan dan kelompok di masyarakat. Individu ini berasal dari kalangan akademisi, organisasi keagamaan, organisasi profesi, kewanitaan dan sebagainya.

“Direkrut juga dilakukan secara terbuka, bukan tertutup. Jadi semua orang mempunyai kesempatan sama untuk mengaksesnya. Dalam konteks itulah kita memerlukan undang-undang, bukan untuk menafsirkan Pancasila secara sepihak tapi untuk kerja besar bersama sosialisasi dan pemasyarakatan Pancasila,” terang Yanuar putra daerah asal Kuningan ini mengingatkan.

Jika itu yang dimaksudkan, politisi PKB ini yakin bahwa masyarakat dapat memahami dan menerimanya. DPR wajib membuka diri untuk menampung, menyerap dan memperhatikan sungguh-sungguh aspirasi yang berkembang di masyarakat seluas mungkin. Tidak perlu terburu-buru membicarakan hal yang sensitif semacam ini.

“Jangan gegabah untuk jalan sendiri membahas Pancasila. Memberi nama pada institusi atau lembaga ini juga harus hati-hati agar terhindar dari atribusi yang bersifat ideologis-politis. Badan Sosialisasi Pancasila (BSP) lebih netral namanya dibanding menggunakan istilah pembinaan ideologi,” usul Yanuar Prihatin. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES