Peristiwa Daerah

Soal Kompleksitas Banjir dan Rob di Pesisir Semarang-Demak, Begini Analisis Pakar

Kamis, 18 Juni 2020 - 19:13 | 134.46k
Suasana di tengah kondisi rob di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Kamis (18/6/2020). Fuhatur Rohman
Suasana di tengah kondisi rob di Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Kamis (18/6/2020). Fuhatur Rohman

TIMESINDONESIA, SEMARANG – Masalah banjir dan rob di wilayah pesisir Semarang-Demak, bukanlah masalah baru. Setidaknya kondisi ini sudah terjadi sekitar 1 dekade yang lalu.

Namun demikian, persoalan ini belakangan nampak semakin parah. Menurut beberapa pakar, hal ini dipicu oleh beberapa faktor dan sangat kompleks.

Mulai dari pembangunan yang dilakukan di wilayah pesisir, baik dalam bentuk industri maupun rencana pembangunan tanggul dan tol laut, climate change, jarak Bumi dan Bulan yang berada dalam jarak terdekat, soal ekstraksi air bawah tanah yang berlebihan dan pembebanan (pembangunan) yang tinggi, yang kedua hal ini berakibat pada penurunan muka tanah.

Banjir-Rob.jpg

Menurut Bosman Batubara, mahasiswa doktoral di IHE Delft, Institute for Water Education dan University of Amsterdam, climate change memang menyebabkan kenaikan muka air laut, namun demikian data berbagai penelitian menunjukkan bahwa kenaikan muka air laut di kawasan Pantai Utara Jawa angkanya tidak lebih dari 1 cm/tahun.

Meskipun benar bahwa perubahan iklim menyebabkan kenaikan muka air laut dan menyumbang terjadinya rob, namun khusus untuk Semarang-Demak, ada faktor penyebab dominan yang lain, yaitu penurunan permukaan tanah.

Hal senada juga disampaikan oleh Mila Karmilah, Dosen Perencanaan Tata Wilayah dan Kota Unissula Semarang. Dia menyampaikan climate change adalah satu dari banyak faktor yang mengakibatkan banjir dan rob di pesisir Demak dan Semarang.

Sementara terkait data penurunan muka tanah, Bosman menyebutkan bahwa ada variasi spasial dalam penurunan permukaan tanah di kawasan pesisir Semarang-Demak.

Banjir-Rob-a.jpg

Dari April 2016 sampai dengan Oktober 2019, di bagian barat daya penurunan muka tanah adalah sebesar 0-2 cm/tahun. Sementara di bagian timur laut ke arah Demak, penurunan permukaan tanah adalah mencapai 13 cm/tahun.

"Data lain yang dapat saya sampaikan, misalnya, berasal wawancara yang saya lakukan terhadap para pegawai PU Kota Semarang serta kunjungan lapangan yang menyertainya ke rumah pompa Kali Semarang pada Bulan Desember 2019. Di Rumah pompa Kali Semarang ada alat pengukur penurunan permukaan tanah. Alat itu mencatat bahwa pada rentang 5/12/2012 sampai dengan 6/11/2019 telah terjadi penurunan di lokasi itu sebesar 68 cm. Kalau agregat penurunan ini dibagi dengan waktu, maka  akan didapatkan angka laju penurunan permukaan tanah hampir 10 cm/tahun," ungkap Bosman pada Times Indonesia, Rabu (17/06/2020).

Bosman menambahkan ada 4 faktor yang sering disebutkan sebagai penyebab penurunan permukaan tanah, yaitu: ekstraksi air tanah, pembebanan bangunan/struktur/tanah urugan, kompaksi/konsolidasi sedimen aluvial muda, dan aktivitas tektonik. Sementara di kalangan pengambil kebijakan dan para peneliti, yang sering diperdebatkan/didiskusikan sebagai penyebab penurunan permukaan tanah di kawasan Semarang adalah ekstraksi air tanah dan pembebaban bangunan.

"Namun, di media, ada juga ulasan pakar yang menyebutkan penyebab yang lain, yaitu pembangunan-pembangunan yang menjorok ke laut di Kawasan Semarang seperti reklamasi, pelabuhan, dan kawasan-kawasan industri. Saya sebut saja ini sebagai penyebab ke-5. Dalam beberapa perbincangan saya dengan warga di lapangan, banyak pengakuan yang saya dengar/simak yang menyepakati penyebab ke-5 ini," tambahnya.

Bosman menjelaskan lebih lanjut jika adanya kawasan-kawasan industri menyumbang adanya pembebanan dan ekstraksi air tanah. "Sebagimana penelitian pada 2013 (Valentino D (2013) Kajian pengawasan pemanfaatan sumberdaya air tanah di kawasan industri Kota Semarang. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 1(3): 265-274) menyebutkan bahwa 8 (delapan) kawasan industri yang diteliti di Semarang, semuanya memakai air tanah. Mayoritas dari kawasan industri tersebut (7/tujuh kawasan industri) mengambil air tanah dengan menggunakan sumur bor, dan 1 (satu) yang lain melalui sumur gali," tuturnya.

Melengkapi data tersebut, Mila Karmilah menambahkan. Sejauh ini ada seumlah industri di kawasan pesisir Semarang-Demak. Dia menyebutkan jika terdapat 67 industri khusus untuk genuk dan terboyo.

Jumlah ini belum termasuk yang ada di kawasan industri berikat Wijayakusuma (Tugu-Semarang Barat),  Kawasan Industri candi (26 industri), Kawasan Industri Guna Mekar (Kel Tambak Aji Ngaliyan) terdapat 48 industri dan kawasan industri BSB (3 perudsahaan). Selain itu ada juga pergudangan di Pelabuhan Tanjung Mas, kemudian di demak untuk kawasan peruntukan industri (KPI) terdapat 8 kecamatan dan 2 berada di kawasan pesisir, yaitu kecamatan sayung dan kecamatan karang tengah.

"Dengan banyaknya industri, seperti di Kecamatan Tugu, Terboyo-Genuk serta pelabuhan, tentunya menyumbang terjadinya pengambilan air bawah tanah serta pembangunan di atasnya yang akan memperparah terjadinya banjir dan rob," tukas Mila.

Untuk itu, Mila menilai jika pemerintah hendaknya tidak melakukan pembangunan yang masif di kawasan pesisir. Selain itu, dia menambahkan agar masyarakat dapat diajak untuk memikirkan solusi yang terbaik yang dapat meminimalisir terjadinya banjir dan rob di kawasan tersebut.

"Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang sudah terbiasa hidup dengan kondisi yang ada tentunya mempunyai solusi-solusi yang bisa ditawarkan ke pemerintah. Kemudian banjir dan rob merupakan salah satu bentuk bencana sehingga perlu dimasukkan dalam kebijakan agenda mitigasinya. Kemudian mengembangan Early warning system berbasis masyarakat," ujarnya.

Sementara menyikapi proyek Tol Tanggul Laut Semarang-Demak  (TTLSD) yang didorong pemerintah untuk menjadi solusi persoalan ini, dinilai Bosman bisa menjadi kontraproduktif.

"TTLSD adalah bagian dari bentuk konsentrasi spasial di daerah utara Semarang-Demak, mulai dari konstruksi bangunan, kemungkinan lahan reklamasi, serta kemungkinan pertambahan intensitas moda transportasi. Semuanya itu berarti akan adanya penambahan beban terhadap area di kawasan utara Semarang dan Demak. Penambahan beban ini artinya adalah akan memperparah penurunan permukaan tanah, dan ini akan memperbesar risiko terjadinya rob di kawasan ini," jelas Bosman.

Jadi, menurutnya, seharusnya yang dilakukan pemerintah sebelum keluar dengan solusi teknis/material seperti TTLSD adalah melakukan analisis yang lebih mendalam terhadap kompleksitas banjir dan rob yang terjadi di wilayah pesisir Semarang-Demak, dan dari sana diturunkan menjadi solusi yang tidak berisiko menambah kompleks persoalan itu sendiri. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Semarang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES