Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Contradictio In Actionem

Jumat, 12 Juni 2020 - 08:25 | 44.96k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Membaca diri sendiria atau kita yang sudah beragama itu terkadang “perlu maraha”. Betapa tidak, ada banyak diantara kita ini yang terlihat ramah, namun faktanya gampang menumpahkan darah atau mengobral amarah dimana-mana, sehingga logis jika mencuat pertanyaan mengapa ritus kekerasan atau radikalitas sering dilakukan kaum beragama?

Dalam ranah teoritis, itu sebenarnya sebuah contradictio in actionem (kejadian yang bertolak belakang). Kontradiksinya adalah: kaum beragama ynag seharusnya ramah beraksi kekerasan. Orang beragama mengapa jadi “aktif” melaku­kan kekerasan. Demikian ini jelas berlawanan dengan ajaran agama. Lalu setiap hari sembayang. Setiap Minggu ke gereja. Se­tiap pekan ke pura mengapa bertindak radikalistik?

Paparan itu menekankan pada aspek contradictio in actionem  atau peristiwa ritus keagamaan yang kita jalankan dengan sepak terjang kita dalam membangun relasi sosial yang berlawanan dengan konstriksi doktrin keberagamaan. Kita rajin ke masjid, gejera, atau pura, tapi kita juga rajin menjadi “predator” keji terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berbeda agama,keyakinan, atau madzhab (aliran).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itu sebenarnya dapat terbaca, bahwa kita sebenarnya tergelincir membangun poros atau ber-madzhab kepentingan  atau beralaskan target-target eksklusif, dan bukannya membangun relasi keberagamaan yang harmonis dan demokratis.

Kita secara formal rajin memasuki “rumah Tuhan”, bukan untuk menguatkan integritas moral keberagamaan, tetapi sekedar supaya terlihat hadir di ranah publik sebagai seseorang atau sekumpulan orang mengimani agamanya. Doktrin keberagamaan yang ramah kemanusiaan, tidak diberikan kesempatan tumbuh progresif sebagai kekuatan yang mendidik untuk mencintai dan melindungi sesama manusia.

Agama yang diimaninya itu tidak ditrnsformasikan dalam ranah empirk sebagai kekuatan fundamental yang membentuk atau membangun relasi kebersamaan yang memanusiakan, melainkan sebagai agama instrumentalis demi memenuhi  hajat instan dan pragmatis.

Pluralitas sosial-keagamaan semestinya digunakan sebagai modal besar untuk merajut dan mengeratkan relasi dengan cara saling tolong menolong dalam mengentas atau mendekonstruksi problem penyakit-penyakit kemanusiaan, praktik ketidak-adilan dan diskriminasi, serta kondisi yang menjadi duri melanggengkan ketidakberdayaan masyarakat, dan bukannya ditempatkan secara teres menerus sebagai dalil yang menolerenasi kekerasan agama.

Sebagai penutup tulisan, apa yang disampaikan Benjamin Franklin berikut bias dijadikan pijakan, “jika manusia masih tetap jahat dengan adanya agama, bagaimana lagi jika tiada agama?”.  Ini menunjukkan, bahwa agama sejatinya bukan untuk memproduksi atau mengembangkan kekerasan (kejahatan), tetapi untuk membumikan hidup berdampingan secara damai.  Kekerasan atas nama agama, bukan deskripsi dari agama yang menoleransi kejahatan, tetapi manusialah yang suka bermain-main dengan kepentingan eksklusifnya sendiri.

Beberapa tahun lalu, Hendardi misalnya mengkritik, bahwa negara ini belum maksimal menjamin kebebasan beragama warganya. Kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih belum terwujud, khususnya di kota-kota besar. Praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan masih gampang terjadi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di era skarang yang serba sulit akibat Covid-19 ini, mereka yang dulunya mempraktikkan brutalisme dalam beragama itu, seharusnya bertaubat, pasalnya di era ini, keragaman makin diberikan tempat. Bahkan siapapun yang melakukan kekerasan atas nama agama, akan ditindak tegas.

Selain itu, seharusnya kelompok pemaksa dan truth klaim dalam paham, bahwa setiap pemeluk agama di negeri ini dijamin hak beragamanya secara konstitusional. Pasal 28E ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yang menggariskan, ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya….” dan Pasal 28E ayat (2) berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal 29 ayat (2) bahwa, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Garis konstitusi itu sudah jelas, bahwa setiap orang berhak bebas menjalankan ajaran agamanya, baik yang beragama Islam, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, maupun keyakinan lainnya. Siapapun dan kekuatan apapun dilarang keras memproduksi pola misoginisme dalam beragama.

Konsekuensi beragama non misoginisme yang dicita-citakan konstitusi adalah beragama yang tidak memaksakan kehendak dengan cara menggangu dan merugikan seperti  mengancam, merusak, menyebarkan teror, atau melakukan gerakan individual maupun kolektif yang merugikan sesama pemeluk agama atau pemeluk agama lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan Agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES