Kopi TIMES

Masyarakat Tangguh di Tengah Pandemi

Jumat, 05 Juni 2020 - 14:00 | 67.69k
Anggun Putri Aminatul Musrichah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Anggun Putri Aminatul Musrichah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pada masa yang tidak pasti di tengah-tengah pandemi, pemerintah masih bongkar pasang kebijakan. Mau tidak mau, situasi ini memaksa masyarakat untuk lebih sigap dalam beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan baru yang diambil pemerintah. Kita tidak bisa memungkiri bahwa pandemi covid-19 memang telah merepotkan banyak pihak. Sejak menginfeksi Indonesia pada bulan Februari sampai menginjak bulan Juni, berbagai sektor jadi amburadul tak karuan. Kebijakan yang diambil pemerintah pun terkesan tidak konsisten dan satu suara.  

Ini terlihat pada kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dirasa belum tuntas meredam kebingunan masyarakat, kemudian muncul wacana kebijakan baru. Meski baru wacana yang akan dilaksanakan dengan indikator WHO, ketidakkonsistenan tersebut telah memperlihatkan kesan bahwa pemerintah tengah kebingungan dan kewalahan menangani covid-19.

Laksana pepatah, pemerintah dihadapkan pada situasi bak makan buah simalakama. Jika perekonomian digenggam, rakyat banyak beraktivitas di luar rumah dan yang antibodinya lemah, berjatuhan sakit kemudian meninggal terinfeksi virus. Namun, jika kesehatan yang digenggam, perekonomian lumpuh dan bisa-bisa rakyat mati kelaparan. Dengan begitu, saat ini kebijakan New Normal dianggap jalan tengah untuk menyelamatkan keduanya, kesehatan dan perekonomian.

Namun, yang menjadi permasalahan adalah wacana New Normal diluncurkan saat pandemi belum sepenuhnya menunjukkan angka penurunan dan PSBB pun masih longgar pelaksanaannya. Pontensi terjadinya puncak kedua, ketiga dan seterusnya pun masih bisa terjadi jika strategi New Normal kurang matang ke depannya.

Bahkan, pada Kamis 21 Mei berdasarkan data yang dilansir bbc terjadi kenaikan tertinggi sebanyak 973 kasus. Seminggu kemudian, melihat kasus di Jakarta yang tergolong wilayah pertama zona merah, berdasarkan data Kementerian Kesehatan yang diperbarui pada Kamis 28 Mei, masih mencapai 7.001 kasus positif. Kemudian, data kenaikan di Indonesia tanggal 3 Juni masih mencapai 684 kasus yang menjadikan jumlahnya mencapai 28.233 kasus. 

Angka yang fantastik, mengingat satu orang positif memiliki potensi menularkan ke keluarga dan orang lain yang kontak dengannya setiap hari. Bisa dibayangkan jika virus tersebut ternyata masih dibawa oleh orang-orang yang mungkin tidak sadar bahwa dirinya positif covid tanpa gejala dan mereka masih berkeliaran di luar rumah tanpa masker dan cuci tangan. Mengingat kesadaran masyarakat akan kedisiplinan juga masih rendah.

Ini menunjukkan bahwa penerapan PSBB belum berbuah hasil. Penerapan PSBB yang sejak awal sudah longgar kini perlahan-lahan resmi dilonggarkan untuk menyambut kehidupan normal baru. Sehingga, wajar jika wacana New Normal masih diperdebatkan banyak pihak dan menimbulkan perbedaan pendapat di sana sini hingga memunculkan hashtag #Indonesia Terserah di kalangan tenaga medis. Namun, meskipun jumlah korban positif belum seluruhnya pulih, berbagai sistematika menyambut kehidupan normal baru di berbagai sektor telah dipersiapkan.

Saatnya Sedia Kail dan Ikan Sekaligus

Pemerintah yang bijak bukan yang menyelesaikan segala persoalan dengan terus-menerus memberikan “ikan” kepada masyarakat. Di saat situasi dalam status darurat dan semua aktivitas dibatasi maksimal maka memberi “ikan” penting dilakukan, yaitu bantuan sosial berupa sembako, subsidi listrik, dan pulsa bagi mahasiswa dan pelajar. Namun, apakah bantuan sosial efektif saat kondisi New Normal nanti? Mengingat, sebelumnya, bantuan sosial malah memunculkan berbagai masalah baru karena tidak tepat sasaran. 

Masyarakat Indonesia sebagai manusia yang sejatinya punya daya cipta harus didukung melakukan hal-hal positif untuk mendayagunakan sendiri dirinya. Maksudnya, masyarakat harus didukung untuk mandiri dan tangguh di tengah ketidakpastian dan bahaya yang menyerang jasmani mereka. Edukasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan dan memakai masker harus terus dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih memasyarakat. Selain itu, bantuan sosial pasti masih dibutuhkan karena untuk memulihkan perekonomian juga membutuhkan proses bertahap, terutama masyarakat kecil di daerah-daerah episentrum covid. 

Namun, mengharapkan bantuan sosial terus-menerus juga tidak akan mengubah keadaan jika akhirnya virus ini bertahan lama dan mata pencaharian sudah terlanjur hancur. Maka, di sinilah “kail” harus diberikan. Gerakan-gerakan Kampung Tangguh yang merebak di Jawa Timur harus diapresiasi dan didukung oleh pemerintah. Selain itu, sektor-sektor ketahanan pangan yaitu para petani dan nelayan di desa-desa juga tidak boleh luput dari perhatian.  

Belajar dari Sejarah

Indonesia tidak boleh lagi kecolongan dengan tidak belajar dari sejarah wabah penyakit terdahulu, yang bahkan juga dinyatakan sebagai pandemi. Seyogyanya pemerintah dan masyarakat harus belajar dengan menilik kembali kepada sejarah wabah pes yang pernah pertama kali menginfeksi Malang pada tahun 1910, kemudian menyebar di Jawa Timur dan provinsi lainnya, hingga mereda pada tahun 1934 (Melawan Lupa Metro TV). Waktu yang cukup lama dalam penderitaan kemanusiaan, sosial, politik, dan ekonomi, mengingat covid-19 yang baru 3 bulan menginfeksi Indonesia sudah cukup membuat semua sektor kalang kabut. 

Mulai dari sterilisasi, isolasi mandiri, karantina wilayah, dan vaksin sudah pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda waktu itu. Korban bukannya berkurang, satu tahun setelah karantina para pemilik usaha perkebunan meminta karantina dibuka dan yang terjadi adalah korban meninggal pada tahun 1913-1914 bertambah berkali lipat hingga 15 ribu lebih korban. Padahal jumlah sebelumnya, yaitu tahun 1911-1912 masih dua ribuan korban. Oleh karena itu, dengan tidak lupa belajar dari sejarah, pemerintah bisa mengantisipasi adanya serangan covid-19 gelombang kedua dan puncak-puncak susulannya saat  New Normal benar-benar diterapkan.  

***

*)Oleh: Anggun Putri Aminatul Musrichah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES