Kopi TIMES

Tatanan Normal Baru, Sebuah Peluang untuk Ketahanan Pangan

Jumat, 05 Juni 2020 - 08:12 | 61.02k
M Adhi Prasnowo, ST., MT., IPM., ASEAN Eng, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Risbang dan Inovasi Universitas Maarif Hasyim Latif, Sidoarjo
M Adhi Prasnowo, ST., MT., IPM., ASEAN Eng, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Risbang dan Inovasi Universitas Maarif Hasyim Latif, Sidoarjo

TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Pemerintah mulai mengeluarkan sejumlah kebijakan agar masyarakat siap hidup berdampingan dengan Covid-19. Salah satunya adalah kebijakan adalah tatanan normal baru atau yang lebih sering di dengar dengan New Normal. Roda perekonomian harus tetap berjalan agar kondisi ekonomi dan psikologis masyarakat tetap stabil.

Tatanan Normal Baru menjadi langkah awal untuk beradaptasi dengan kondisi, termasuk bagaimana cara masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hajat hidup masing-masing. Salah satu yang terpenting adalah kebutuhan pangan.

Namun, penerapan protokol kesehatan sebagai prasyarat new normal masih menjadi catatan tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Baik dalam skala besar maupun di tingkat terkecil yakni keluarga.

Petani diimbau untuk tetap menjalankan protokol kesehatan saat melakukan aktivitas bertani. Seperti menggunakan masker, mencuci tangan dan menggunakan handsanitizer. Ini pola baru dan budaya baru yang sangat baru bagi petani di Indonesia.

Ada yang mensinyalir, memaksakan budaya new normal kepada petani bisa jadi justru menurunkan tingkat produktivitas petani. Apalagi, dalam beberapa kasus, harga sejumlah komoditas pangan anjlok saat pandemi Covid-19. Dua hal ini bisa jadi membuat petani mulai tidak berminat lagi untuk bertani. 

Tak salah, kalau ada desakan agar pemerintah mengeluarkan kebijakan khusus untuk melindungi petani saat pandemi. Karena petani adalah hulu ketahanan pangan.

Membentuk ketahanan pangan mulai dari entitas keluarga

Sebenarnya, mewujudkan ketahanan pangan bisa dilakukan secara bersamaan. Mulai dari entitas terkecil masyarakat yakni keluarga sampai ke entitas besar, negara. Keduanya bisa simultan bergerak.

Saat kondisi memaksa masyarakat harus patuh terhadap protokol kesehatan dan menjaga jarak serta mengurangi aktivitas yang tidak penting di luar rumah, strategi membiasakan kembali menanam kebutuhan pangan sendiri di pekarangan rumah atau tempat-tempat yang dapat dijadikan menanam (urban farming) jadi sangat strategis.

Ketika setiap rumah tangga atau keluarga memiliki sepetak kebun keluarga, setidaknya hal ini mampu sedikit memperkuat ketahanan pangan sebuah keluarga.

Dalam skala besar, ketika pemerintah kota atau kabupaten mampu membuat sistem klaster penanaman jenis tanaman pangan tertentu untuk keluarga yang tinggal dalam klaster itu, maka akan terbentuklah sebuah model ketahanan pangan kota.

Akan terjadi, antara keluarga satu dengan yang lain, saling peduli dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Secara nasional, bila hal ini terjadi, ketahanan pangan akan terjaga stabil.

Yang terpenting lagi, dalam pembiasaan menanam sendiri kebutuhan pangan adalah memberikan warisan nilai dan tren modern kepada generasi milenial tentang fungsi dan manfaat pertanian dalam menjaga ketahanan pangan. Sehingga milenial tidak malu untuk bercocok tanam atau bahkan lebih merangsang mereka dalam berinovasi di dunia pertanian.

Bila serius, pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan peluang tatanan normal baru ini untuk membentuk sebuah model ketahanan pangan baru pula.

*) Penulis Adalah M Adhi Prasnowo, ST., MT., IPM., ASEAN Eng, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Risbang dan Inovasi Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES