Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Rezim di Ujung 'Pedang'

Kamis, 04 Juni 2020 - 09:55 | 58.66k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kritik dalam negara demokrasi konstitusional seperti Indonesia ini adalah hal yang wajar dan bahkan seharusnya. Tanpa kritik, maka demokrasi bisa mati, atau setidaknya pemerintahan akan cenderung berjalan “liar”.

Meski begitu, tidak banyak rezim yang siap menerima kritik atau “alergi” menerima perbedaan. Sebagai refleksi, saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Presiden, SBY beberapa kali membuat pernyataan yang mengundang kritik. Misalnya di sela-sela kunjungan kenegaraan ke Budapest, Hongaria, SBY melontarkan kalimat yang barangkali (mestinya saat itu) tidak perlu disampaikannya. SBY menyatakan,  bahwa paska menjadi mantan Presiden dia tidak akan mengganggu Presiden yang sedang menjabat.

Pernyataan SBY itu tentu saja menimbulkan banyak dan beragam pertanyaan, apakah SBY selama menjabat sebagai Presiden (saat itu) sudah dibanjiri oleh gangguan dari para mantan presiden Inonesia? Kalau memang ada diantara mantan presiden yang mengganggu SBY, gangguan macam apakah yang diberikannya? Apakah presiden SBY ini tergolong wjud rezim yang menempatkan kritik sebagai gangguan?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pernyataan SBY saat itu dinilai sangat multi tafsir, meski arahnya bisa dikonklusikan, bahwa urusannya mestilah pada soal sikap kritis para mantan rezim (Presiden). Para mantan Presiden Indonesia saat itu seperti Gus Dur, BJ Habibie, dan Megawati akhirnya layak ditempatkan menjadi “tersangka” yang memproduksi banyak dan beragam gangguan, khususnya bilamana kritik dianggap oleh SBY sebagai  gangguan.

Kritik dari siapapun warga bangsa, jelas secara konstitusional maupun instrumen internasional hak-hak asasi manusia tidaklah dilarang. Melontarkan atau membangun kritik merupakan kewajiban dan sekaligus hak setiap warga negara. Melarang atau menciptakan kultur anti kritik merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM dan “gngguan serius” terhadap konstitusi.

Diingatkan misalnya dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) disebutkan, bahwa pengingkaran dan pelecehan (disregard and contempt) terhadap hak manusia telah menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan biadab yang telah menimbulkan kemarahan umat manusia, dan munculnya dunia di mana ummat manusia dapat menikmati kebebasan untuk berbicara dan menganut kepercayaan (freedom of speech and belief) dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan (kemiskinan) telah diproklamasikan sebagai aspirasi bagi semua orang.

Para pembelajar demokrasi tentu sangat paham, bahwa kritik merupakan bentuk tanggung jawab setiap warga atas negaranya, bukan ancaman. Maknanya setiap warga negara patut mengingatkan kepala pemerintahan (rezim) agar tetap berjalan di koridor yang benar, memperjuangkan kesejahteraan rakyat dan mengelola pemerintahan dengan asas-asas transparansi dan akuntabilitas. Siapapun sosok rezim yang dipercaya rakyat harus menganggap kritik sebagai suplemen, obat perangsang untuk menstimulasi dan “memprestasikan” kinerja. Sangat tidak benar jika menganggap kritik sebagai upaya merongrong wibawa pemerintah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Setiap warga negara, berkewajiban mengkritik keras “pengelola rezim”, baik lewat pernyataan sikap bersama, pendapat pribadi, diskusi,  maupun aksi-aksi yang benar menurut norma.

Kultur kritik itulah yang juga pernah ditawarkan oleh Khalifah Umar Bin Khattab. Kisahnya, saat memulai menjabat sebagai “presiden”, Umar bertanya pada rakyat yang sedang berkumpul. “bagaimana caranya kalian mengingatkan aku dalam memimpin (pemerintahan)”. Salah seorang dari mereka menjawab “aku akan mengingatkan anda dengan pedang, jika kalian sampai salah memimpin”.

Ucapan kritik dengan pedang yang dilontarkan oleh salah seorang warga itu tidak disikapi dengan emosional oleh Umar. Khalifah yang populer karena sikap adil dan merakyatnya ini menjawab “itu baik sekali. Saya akan terima segala bentuk kritik kalian, termasuk dengan pedang sekalipun”.

Kritik dengan pedang dalam ranah historis kepemimpinan Umar itu selayaknya bisa dijadikan pelajaran berharga oleh setiap pemangku kekuasaan, bahwa setiap warga negara mempunyai kewajiban dan hak untuk  menyampaikan kritik atau gerakan cerdas demi meluruskan bengkoknya  manajemen rezim. Umar sangat sukses membangun rezimnya karena ia selalu menempatkan suara rakyat atau protes rakyat sebagai  “amunisi moral-spiritual” untuk memperbaiki kinerjanya.

Umar berhasil membangun rezim yang bebas kemiskinan atau sukses memartabatkan dan menyejahterakan rakyatnya, berkat atmosfir dialogis yang digalakkannya. Umar selalu terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat yang mengkritiknya untuk membaca realitas dan memberikan solusi empirik, terbaik, dan tercepat. Umar misalnya langsung mengangkut dan mengangkat sendiri bahan pangan  untuk disalurkan pada warganya yang ditemukan sedang hidup dalam kemiskinan.

Itu cermin kepemimpinan yang layak diteladani oleh  siapapun pemimpin negeri ini, bahwa keberanian menjadi leader  dalam rezim, identik berada di ujung “pedamg”. Mereka yang sudah dipercaya rakyat ini tidak perlulah galau, apalagi sampai mereaksi secara kriminalistik hanya gara-gara kritik atau gerakan-gerakan protes yang berpola mengajak membangun negeri ini, sekurang-kurangnya lebih baik galau akibat kesulitan memikirkan minimalitas kinerja daripada memproduk sensansi politik yang dominan memburu pencitraan diri sendiri dan memenuhi kepentingan “kekuatan terselubung”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES