Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Inlander dan Kaum Muda

Kamis, 04 Juni 2020 - 09:03 | 62.47k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap bangsa atau masyarakat di muka bumi ini  mempunyai dan menghadapi masalahnya sendiri-sendiri. Memang ada yang dijadikan musuh bersama (common enemy) masyarakat global seperti pandemi Covid-19, akan tetapi problem yang mengitari atau berkaitan dengan politik dan kedudukan hukumnya bisa berbeda, sehingga hal ini harus disikapi dengan kecerdasan.

Salah satu subyek bangsa yang dituntut sikap militannya untuk menasionalismekan dirinya adalah kaum muda. Kalau mereka ini benar-benar nasionalis, maka harus berani menyapih segala “virus” yang menjangkiti dirinya dan membangun era baru yang bermuatan penegakan kejujuran, kebenaran, kemanusiaan, kebangsaan, dan keadilan.

Krisis nasionalisme kaum muda jelas sangat merugikan konstruksi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, khususnya dalam relasinya dengan perjuangan mengalahkan jenis “neo-kolonialisme” atau jenis penyakit yang potensial melumpuhkan keberdayaan  bangsa seperti Covid-19.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sri Edi Swasono pernah mengingatkan, bahwa  sejak awal kita bertekad mencerdaskan kehidupan bangsa.  Dari kalimat ini jelas, bahwa kehidupanlah yang harus dicerdaskan, bukan sekedar kemampuan otaknya. Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih merupakan konsepsi budaya daripada konsepsi biologis-genetika. Para pendiri republik menolak sikap dan perilaku  ke-inlander-an, yaitu sikap hidup sebagai inlander, sebagai yang terjajah, terbenam harga dirinya, penuh unfreedom atau keterbelengguan diri.

Pernyataan pakar ekonomi itu dapat dipahami, bahwa sikap hidup sebagai inlander, sebagai yang terjajah, terbenam harga diri, penuh unfreedom atau keterbelengguan diri merupakan deskripsi dari suatu bangsa yang seringkali dipopulerkan sebagai bangsa kuli (nation of coolies), kumpulan bangsa budak (nation of slave), atau kumpulan ”masyarakat kalah” (losser community).

Itu menunjukkan, bahwa kesadaran berbangsa dari kalangan muda saat ini menjadi kata kunci yang menentukan keadaban kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kesadaran demikian ini berarti menuntut refleksi, penguatan, dan pemberdayaan  diri dan amanat pada kewajiban yang berdimensi kerakyatan dan kemanusiaan, khususnya dalam menyembuhkan mental inlander.

Penyembuhan mental inlander ini harus dimulai dengan cara mencerdaskan atau membangkitkan kesadaran komitmennya pada tugas-tugas besar (fundamental) sebagai kaum muda, khususnya yang sedang menunaikan amanat   sebagai pemangku kekuasaan atau pekerjaan-pekerjaan strategis dan minimal sebagai segmentasi generator di lingkaran elit kekuasaan (pemimpin).

Kalau kesadaran demikian itu tidak pernah muncul atau dibangkitkan sendiri oleh komunitas muda, jangan diharapkan kepasrahan sebagian rakyat yang mulai bermunculan dengan istilah ”Indonesia terserah” atau ”Indonesa menyerah”, bisa disembuhkan dengan mudah. Mereka harus menyadari, bahwa bangsa ini adalah bangsa besar yang kebesarannya hanya bisa dijaga dan diperkuat oleh  kader yang bermental pejuang atau nasionalis, dan bukan inlander.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Itu maknanya kaum muda yang memang lebih diutamakan diselamatkan dalam pandemi Covid-19 dibandingkna yang lansia yang hanya sekitar 9%, idealitasnya harus menunjukkan kekuatannya dalam memobilisasi perlawanan secara masif terhadap pandemi Covid-19 sesuai dengan protokol kesehatan yang ditetapkan negara. Era apapun yang diubah oleh negara tetaplah stagnan atau tidak membuahkan kecemerlangan (kemajuan) di ranah positip sepanjang kaum mudanya tidak memberikan (menunjukkan) kekuatannya sebagai “sang pengubah” yang pantang menyerah.

Kalau kaum muda tidak menunjukkan kebangkitan dalam perlawanannya terhadap pandemi Covid-19, jangan berharap banyak negara ini akan bisa selekasnya keluar dari ”badai” ini. Memang ”masih ada hari esok”, tapi sampai kapan kepastiannya, jika kaum mudanya tidak menunjukkan agresifitasnya dalam berjihad terhadap pandemi Covid-19.

Mereka itu harus memahami dan memulai mengintegrasikan dirinya sebagai nasionalis. Karena, nasionalis sejati ditentukan sikap mental keberanian dan kerelaan dalam melawan, membongkar, atau mengalahkan segala bentuk penyakit sosial yang  dialami sesama sebangsa. Selama penyakit ini masih menjangkiti sesama dan saudara sebangsanya, kata nasionalis tak layak dimasukkan dalam kamus kehidupannya” (AM Rahman, 2008).

Kritik serius budayawan itu dapat diapresiasi oleh kaum muda, bahwa standar nasionalisme terletak pada upaya yang dilakukan seseorang untuk membebaskan masyarakat dari belenggu kesulitannya. Segala bentuk  atau macam ”tirani” apa itu dalam ranah sosial, hukum, pendidikan, kebudayaan, maupun politik, wajib diberantasnya sebagai wujud nasionalisme atau komitmen berbangsa. 

Ketika sekarang yang menjadi ”tirani” adalah Covid-19, maka kaum muda sudah jelas-jelas jiwa dan raganya ditantang. Kalau menyerah dengan gaya hidup eksklusif dan liberalistik, serta pasip, maka yang menang dan menikmati orde sejarah baru dalam kehidupan manusia adalah ”tirani” gaya baru ini. Jika modal besar bangsa yang diidealisasikan bisa menghadirkan orde pencerahan ini sampai demikian, kita layak kehilangan ekspektasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES