Peristiwa Daerah

Harlah Pancasila, GMNI: Ketimpangan dan Politik Identitas Musuh Pancasila

Selasa, 02 Juni 2020 - 15:34 | 68.25k
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino dan Sekretaris Jenderal M. Ageng Dendy Setiawan (Foto : dok pribadi)
Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino dan Sekretaris Jenderal M. Ageng Dendy Setiawan (Foto : dok pribadi)

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Menyambut hari lahir Pancasila, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) sebagai organisasi pemuda yang mengusung ide Bapak Bangsa Bung Karno menegaskan kembali bahwa Pancasila adalah dasar negara. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino dan Sekretaris Jenderal M. Ageng Dendy Setiawan. 

Sebagai informasi, tanggal 1 Juni adalah hari lahir Pancasila. Hal ini merujuk pada pidato yang disampaikan oleh Presiden Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan" pada tanggal 1 Juni 1945.

"Hari ini kita harus menjernihkan posisi Pancasila, yaitu Pancasila sebagai dasar negara. Artinya, Pancasila harus menjadi landasan umum dari tatanan bernegara. Atau Bung Karno menyebutnya staats fundamental norm. Ia harus menjadi dasar pembentukan undang-undang," ungkap Arjuna, Selasa (02/06/2020).

Menurut Arjuna, masih banyak UU dan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah yang tidak sesuai dengan Pancasila. Banyak aturan perundang-undangan yang meminggirkan kelompok marginal dan golongan lemah, baik di wilayah ekonomi, politik hingga diskriminasi ras, agama dan suku.

"Sangat disayangkan masih banyak UU dan kebijakan yang jauh dari Pancasila. Terbukti di Indonesia, 1 persen orang terkaya menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. 10 persen orang terkaya mengonsumsi lebih dari 25 persen total konsumsi nasional. Sementara 10 persen masyarakat termiskin hanya dapat mengonsumsi 4 persen. Ini potret yang menyedihkan jika kita bicara Pancasila," papar Arjuna.

Bank Dunia mencatat, tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Laju tingkat ketimpangannya pun paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Kondisi ini menurut Arjuna menunjukkan bahwa kita semakin menjauh dari falsafah dasar dan tujuan dari didirikannya Indonesia sebagai negara merdeka.

"Gini rasio Indonesia masih di sekitar 0,382 di tahun 2019. Koefisien Gini kita tak jauh seperti Uganda dan Pantai Gading, serta lebih buruk dari India. Artinya, kita semakin menjauh dari tujuan yang dicita-citakan oleh Pancasila. Ini yang perlu kita pikirkan bersama secara serius", ungkap Arjuna.

Sementara Sekretaris Jenderal DPP GMNI M. Ageng Dendy Setiawan juga menyampaikan bahwa menjauhnya Indonesia dari Pancasila juga dapat dilihat dari semakin maraknya diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, serta intoleransi umat beragama. Menurut laporan The Economist Intelligence Unit situasi kebebasan dan demokrasi Indonesia kian memburuk akibat menguatnya isu identitas (suku, agama, ras) yang membuat situasi di Indonesia semakin intoleran.

"Kini kita sedang mengalami menguatnya isu identitas (suku, agama, ras). Terutama menggunakan isu identitas untuk kampanye, mobilisasi massa, dan menjatuhkan lawan politik. Pelarangan pembangunan rumah ibadah, serta politisasi isu dan sentimen terhadap agama, suku dan ras yang menciptakan diskriminasi terhadap minoritas. Populisme semacam ini mendegradasi rasa senasib sepenanggungan kita sebagai bangsa," tambah Dendy

Untuk itu, DPP GMNI mengusulkan lembaga ideologi seperti BPIP harus memiliki kerangka kerja yang sistematis untuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan penyelenggaraa negara agar tidak bertentangan bahkan membatalkan tesis kita berbangsa dan bernegara yakni Pancasila. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Adhitya Hendra
Sumber : TIMES Surabaya

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES