Kopi TIMES

Covid-19 dan Catatan Kecil Industri Film Nasional

Senin, 01 Juni 2020 - 17:34 | 105.10k
Debby Ayu Pramesti, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Grafis: TIMES INdonesia)
Debby Ayu Pramesti, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Grafis: TIMES INdonesia)

TIMESINDONESIA, MALANGIndustri film di Indonesia terpukul keras akibat pandemi Covid-19. Data Koalisi Seni hingga April 2020 tercatat terdapat 30 proses produksi dan rilis film yang tertunda. Hal ini sempat menimbulkan kekhawatiran bagi para pelaku industri film mengingat industri perfilman tengah berada di fase lepas landas.

Akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan berhentinya operasional bioskop demi menghindari penularan, Badan Perfilman Indonesia (BPI) memperkirakan kerugian di sektor film karena pandemi ini mencapai triliunan rupiah.

Perfilman merupakan salah satu industri yang paling terdampak Covid-19 hampir di semua lini. Tentu saja yang terdampak paling dalam adalah para pekerja di balik layar sebuah industri film. Pemerintah melalui Ditjen Kebudayaan dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menyebut hingga 13 April 2020 sudah ada lebih dari 226 ribu pekerja seni di 34 provinsi yang terkena imbas pandemi ini.

Jumlah tersebut diantaranya terdiri dari 189 ribu pekerja ekonomi kreatif dan sekitar 37 ribu pekerja seni dan budaya. Mereka rata-rata jobless sekarang. Kondisi demikian masih berlangsung sampai saat ini dan belum bisa dipastikan kapan pulih. Ada yang mengatakan Juli ketika mal-mal mulai dibuka, ada juga yang mengatakan sampai akhir tahun.

Pandemi Corona otomatis memantapkan behaviour penonton di ruang pribadi dengan layanan OTT (Over-The-Top). April 2020, sejumlah OTT membagikan paket gratis selama satu bulan sebagai fasilitas hiburan murah tatkala PSBB. Tidak perlu menanti jadwal rilis, penonton punya bank film yang bisa disaksikan dengan mode custom di mana pun. Hanya tinggal menggulir layar gadget untuk beralih dari aplikasi satu ke aplikasi lain. Indonesia misalnya ada GoPlay dan Genflix. Kemudian dari luar negeri ada VIU dan Netflix.

Lewat karakteristik masing-masing, penonton tinggal memilih konten mana yang ingin ditonton. Contohnya begini, ketika masuk mal kita hanya disuguhi 4 layar (ABCD), beda halnya ketika masuk wall-nya Netflix kita disuguhi lebih dari 4 layar disitu. Tinggal bagaimana sekarang secara kreatif bisa melakukan sebuah perubahan estetika di dalam film ini agar orang mau menonton. Karena seperti kita tahu, film sebagai media komunikasi massa menjadi salah satu pilihan hiburan bagi masyarakat di seluruh dunia. Ini menjadi pertimbangan sendiri untuk para sutradara bagaimana mereka saling bersaing. Mau tidak mau harus berubah, ini yang akhirnya kemudian terjadi seleksi alam yang luar biasa.

Berbicara tentang seleksi alam, kita diingatkan kembali dengan Darwin Theory. Manusia akan selalu beradaptasi. Menyesuaikan diri dan mencari cara baru. Seleksi alam yang dimaksud dalam Teori Evolusi Darwin adalah makhluk hidup yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama kelamaan akan punah. Yang tertinggal hanyalah mereka yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan sesama makhluk hidup akan saling bersaing untuk mempertahankan hidupnya. 

Kondisi New Normal turut mendatangkan agenda nostalgia pada sektor hiburan. Bioskop Drive-in diagendakan kembali hadir menjadi bioskop alternatif selagi pembatasan sosial. Tren bioskop drive-in di Indonesia sendiri pernah dilakukan oleh Ciputra tahun 1970 di kawasan yang kini dikenal sebagai Ancol Jakarta. Namun, bioskop drive-in sukar menjadi alternatif bagi semua lapisan masyarakat. Target penonton jelas membidik kaum elitis.

Nostalgia ini mengulang ihwal kesenjangan lama. Antusiasme tinggi sebenarnya hanya disambut di kawasan Ibu Kota. Memang benar di daerah lebih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk bioskop drive-in, tetapi bukan behavior sejumlah daerah menghabiskan uang demi fasilitas menonton semacam itu. Berkaca lewat kondisi ini, perlunya memperbanyak bioskop di luar mal. Catatan tambahan, dikarenakan pola konsumsi berubah estetika pun ikut berubah. Asumsi saya pasar film akhir tahun ini sulit bertahan.

Kemenparekraf berkoordinasi bersama beberapa kementerian guna memberikan insentif bagi para pelaku industri kreatif. Insentif berupa pajak hingga kebijakan sektor keuangan. Ekonomi kreatif itu salah satu penyumbang terbesar bagi PDB Indonesia, jadi jangan sepelekan juga tentang Industri film. Salah satu industri kreatif, membawa nama Indonesia ke dunia internasional juga. Jika tidak dilindungi dan dibantu oleh pemerintah sayang sekali. (*)

***

*)Oleh: Debby Ayu Pramesti, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES