TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kita sering mendengar orang mengatakan, bahwa apa yang dilakukannya adalah demi beramar makruf nahi mungkar. Apa yang dilakukannya sedeikian bersemangat oleh karena dalam rangka memenuhi perintah agama. Disebutkan agama harus ditegakkan lewat amar makruf dengan penuh kesungguhan dan dilakukan secara terus menerus.
Anggapan tersebut tentu tidak salah. Amar makruf memang harus dijalankan. Akan tetapi apakah yang dimaksud dengan makruf menurut pemahamannya itu sudah pasti benar. Sebab bisa jadi apa yang dianggap baik menurut seseorang belum tentu baik dalam arti yang sebenarnya. Sebaliknya apa yang disebut salah oleh seseorang belum tentu benar-benar salah. Sebab pengetahuan manusia selalu terbatas dan dalam konteks yang terbatas pula.
Apalagi sesuatu yang dianggap salah itu hanya mendasarkan pada apa yang sedang dilihat dan atau didengarnya. Sesuatu yang dilihat dan juga didengar oleh seseorang bisa saja pemahamannya kurang tepat. Apa yang disebut benar belum tentu benar dan begitu pula sebaliknya. Sebab apa yang diketahuinya belum tentu bersifat utuh dan komprehensif. Bisa saja data dan atau informasinya terbatas. Hal demikian itu pasti menghasilkan pengertian yang terbatas pula.
Oleh karena itu, dakwah yang paling mendesak dan tepat adalah terhadap diri sendiri. Dirinya sendiri itulah yang sebenarnya justru perlu diperbaiki sebelum memperbaiki orang lain. Disebutkan di dalam al Qur’an : “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
Juga di dalam al Qur’an pada ayat yang lain, bahkan bernada menegur :” Mengapa kamu menyuruh manusia mengerjakan kebaikan sedang kamu melupakan dirimu sendiri (terhadap kewajiban), padahal kamu membaca kitab. Tiadakah kamu berpikir (Q.2:44). Masih ada ayat serupa mengatakan :” Hai orang-orang yang beriman kenapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat (Q.S.61 :2-3)
Memperhatikan ayat al Qur’an tersebut sebenarnya dakwah atau amar makruf lebih tepat ditujukan kepada dirinya sendiri terlebih dahulu. Manakala dirinya sendiri sudah menjalankannya, maka baru mengajak kepada orang lain. Dengan demikian, maka yang bersangkutan tidak akan terkena pinalti. Menyuruh orang lain berbuat baik, sementara dirinya sendiri belum menjalankannya adalah tidak tepat, bahkan dibenci oleh Allah.
Boleh-boleh saja berdalih beramar makruf, tetapi apakah dirinya sendiri sudah berubah menjadi makruf. Rasulullah menyeru umatnya kepada kebaikan, setelah dirinya sendiri menjalankannya. Oleh karena itu juga diperintahkan agar gtatkala mengajak kepada kebaikan : “ mulailah dari dirimu sendiri”. Perintah berdakwah atau beramar makruf bukan ditujukan kepada orang yang sudah lulus sekolah, sudah bergelar akademik tinggi, tetapi kepada seseorang yang telah menjalankannya.
Agama adalah menyangkut rasa, yaitu berada pada wilayah hati. Bahwa pengetahuan agama diperoleh setelah merasakannya. Sedangkan seseorang bisa merasakan manakala telah mengalami dan atau menjalankan. Orang yang telah mengalami dan merasakan itulah sebenarnya yang disebut telah mengetahui agama. Jika seseorang menganggap tahu hanya dari hasil membaca buku, sebenarnya pengetahuannya masih dangkal, masih sebatas tahu dari buku. Yang bersangkutan belum mengetahui yang sebenarnya.
Bagi orang yang sebatas mengetahui agama dari buku, maka pengetahuannya belum sempurna dan bahkan bisa jadi masih salah paham. Agama tidak boleh disalah pahami atau pahamnya salah. Maka cara yang tepat untuk memahami adalah lewat cara mengamalkannya. Kembali kepada pokok pembicaraan pada tulisan ini, yang lebih diperlukan adalah berdakwah atau beramar makruf terhadap diri sendiri. Amar makruf kepada diri sendiri adalah berusaha mengajak dirinya sendiri menuju jalan Allah yang sebenarnya.
Pemahaman tersebut penting, oleh karena di akherat kelak yang ditanyakan adalah bagaimana merawat dan menjaga dirinya sendiri, dan bukan tentang orang lain. Masingh-masing orang akan mempertanggung-jawabkan tindakannya sendiri-sendiri. Tentu kecuali adalah para utusan-utusan Allah, mereka akan dimintai tanggung jawabnnya. Sebagai orang biasa, dianjurkan mengajak kepada orang lain, beramar makruf nahi mungkar, setelah dirinya sendiri sudah menjalankannya dan bahkan sudah berhasil menjadi baik. Wallahu a’lam. (*)
***
*) Penulis adalah Prof Imam Suprayogo (Guru Besar UIN Malang, Ketua Penasehat DPW SAHI Jawa Timur, Anggota Dewan Pembina Yayasan UNISMA Malang).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Advertisement
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |