Kopi TIMES

Idul Fitri 2020, Kita Belum Benar-Benar Menang

Kamis, 28 Mei 2020 - 19:29 | 74.96k
Muhammad Aqshadigrama, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat.
Muhammad Aqshadigrama, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hari Raya Idul Fitri seringkali didengungkan sebagai sebuah kemenangan atas manifestasi Umat Islam yang telah berjuang dalam mengendalikan dan menahan hawa nafsu selama sebulan penuh, sejak terbitnya fajar hingga kembali terbenamnya.

Ibadah puasa bukan hanya sebatas menahan diri dari kebutuhan dasar manusia yang menurut teori Abraham Maslow seperti lapar, dahaga, dan hasrat seksual. Melainkan lebih dari itu, ibadah puasa melibatkan sepenuhnya dimensi individu, sosial, dan vertikal. Maka, berpuasa merupakan bentuk jihad akbar yang dilakukan setiap insan manusia dalam dirinya sendiri pada Allah SWT.

Tentunya momentum kemenangan ini hanya dapat dirasakan bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah secara total dan komprehensif. Dengan begitu, melalui ujian berupa puasa ini orang-orang yang bersungguh-sungguh ia akan terlahir kembali kepada fitrah kemanusiaan yang suci dan bersih.

Tahun ini, umat manusia dari berbagai belahan dunia manapun sedang mengalami pandemi global akibat adanya Coronavirus Disease 2019 atau yang biasanya disebut Covid-19. Virus ini memang bukan hanya menyerang aspek kesehatan saja, melainkan ia telah menginfeksi dan meruntuhkan segala sendi aktivitas kehidupan manusia, bahkan hingga menyentuh ke ranah yang bersifat personal sekalipun, yaitu berupa ibadah.

Konsekuensinya sejumlah kebijakan pemerintah pun diterbitkan guna memotong mata rantai penyebaran Covid-19. Adanya pembatasan dari pemerintah untuk berinteraksi secara fisik dan sosial (physical-social distancing) serta keharusan berdiam di rumah (stay home) dan bekerja dari rumah (work from home), menjadikan banyak tradisi yang mewarnai Idul Fitri 2020 menjadi tidak bisa lagi dilakukan. Berbagai aktivitas yang biasa dilakukan Umat Islam Indonesia pada saat menjelang lebaran seperti pawai obor, takbir keliling, mudik dan tradisi lainnya mengharuskan untuk tidak dikerjakan. Sehingga, dapat dipastikan lebaran tahun ini akan terasa berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Namun di sisi lain, kasus positif Covid-19 yang terus bertambah menjadi gambaran bahwa esensi kemenangan Idul Fitri tahun ini dipertanyakan. Lantas, apakah kita sebagai Umat Muslim benar-benar menang? Lalu, bagaimana memaknai kemenangan Idul Fitri di tengah pandemi hari ini?

Mengacu pada data terakhir per 26 Mei 2020 menunjukkan total pasien yang telah terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 23.165 yakni terjadi penambahan sebesar 415 kasus baru dari sebelumnya. Sedangkan, pada tanggal 23 Mei 2020 terjadi lonjakan penambahan yang sangat drastis saat menjelang Idul Fitri, yaitu sebanyak 949 kasus.

Fenomena ini pun, mengindikasikan bahwa sampai detik ini sedang terjadi penyebaran Covid-19 di berbagai daerah. Artinya, masih banyak masyarakat kita yang tidak mengindahkan himbauan pemerintah. Ada yang masih nekat mudik, ada juga yang memaksakan berbelanja baju baru, dan ada pula yang memprotes penutupan atau pembatasan akses jalan transportasi. Deretan pemandangan itu menjadi ironi di tengah-tengah masyarakat kita bahwa egoisme melebihi rasa kemanusiaan itu sendiri.

Sangat disayangkan memang, ketika momen Idul Fitri yang semestinya menjadi ajang gembira dengan keluarga untuk melepas rindu, saling bertemu raga, dan sebagainya. Tetapi kini silaturrahim haruslah terhalang sekat berupa virtual, para dokter dan tenaga medis yang terpaksa tidak dapat bertemu keluarga dan harus selalu sedia di rumah sakit, serta para pasien yang harus berkurung diri di ruang isolasi.

Maka, inilah pil pahit atas apa yang telah dilakukan sebelumnya, akibat lebih mengedepankan egoisme, sehingga tendesi peningkatan positif Covid-19 masih saja terus terjadi di momen Idul Fitri saat ini, bukan malah sebaliknya. Apabila membandingkan tren di berbagai negara akhir-akhir ini, justru telah menunjukkan penurunan dan perlambatan kurva kasus Covid-19, bahkan hingga tidak ada penambahan kasus baru lagi. Dampaknya, berbagai pusat perbelanjaan dan tempat wisata mulai dibuka kembali. Sedang di Indonesia sendiri, nyatanya kita masih bergulat dengan Covid-19. Jangan sampai momen Idul Fitri yang seharusnya dipenuhi oleh suka cita berubah menjadi duka cita, akibat wabah ini.

Sebagaimana yang dikatakan Prof Din Syamsuddin bahwa Idul Fitri dapat dimaknai sebagai hari raya kesucian dan kekuatan. Fitrah tidak hanya bermakna suci, tetapi juga kekuatan. Maka, usai sebulan penuh berpuasa, kaum beriman diharapkan dapat terlahir kembali dengan fitrah kemanusiaan yang suci, bersih dari dosa, dan mendapat kekuatan baru.

Sejatinya, kekuatan sebagai kesatuan solidaritas umat untuk bersama-sama memutus mata rantai Covid-19 sangatlah dibutuhkan. Hendaknya sebagai Umat Muslim kita sepatutnya menyadari bahwa dalam Islam ada lima hajat dasar penting yang harus dilindungi, konsep ini dikenal dengan dharurriyatul khams salah satunya ialah menjaga hifzhun nafs atau jiwa (nyawa). Sehingga, bagaimana mungkin kita sebagai Umat Islam ingin menegakkan agama dan meraih kemenangan yang kaffah, apabila tidak ada jiwa-jiwa yang menegakkannya. Maka, agama pun tidak akan bisa tegak dan kemenangan tidak bisa diraih dengan total. Artinya, kita harus menjaga jiwa pada diri kita sendiri yang akan menegakkan agama ini.

Oleh sebab itu, kemandirian dan disiplin dari masyarakat menjadi kunci kekuatan dan kemenangan kita bersama hari ini. Mereka yang menang adalah mereka yang mampu untuk meraih nilai-nilai Ramadhan. Menundukkan rasa egoisme untuk kemaslahatan umat manusia yang lebih luas, itulah hakekat kemenangan yang sejati. Sebagaimana ibadah yang telah kita lalui selama bulan Ramadhan, untuk dapat mengendalikan hawa nafsu pribadi sebagai representasi atas sifat egoistis. Gelar sebagai pemenang menuntut kemampuan untuk mempertahankan.

Caranya, dengan memelihara tradisi-tradisi positif yang telah dikerjakan selama bulan suci Ramadhan. Maka, manifestasi kemenangan itu akan terlihat pada sejauh mana hablumminallah (hubungan kepada Allah) yang berupa penunaian ibadah dapat menjelma dalam hablumminannas (hubungan kepada sesama manusia) dengan begitupun kita dapat meraih tujuan berpuasa dengan predikat la'allakum tattaqun atau manusia yang bertakwa.

Kemenangan di hari raya adalah milik mereka yang menang dalam mengendalikan hawa nafsu. Kemenangan itu, menjadikan mereka senantiasa berpikir dan berperilaku positif. Dengan kemenangan itu pula, mereka menjadi pribadi yang paripurna.

***

*)Oleh: Muhammad Aqshadigrama, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kader Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP UIN Jakarta Cabang Ciputat.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES