Kopi TIMES

Lebaran: Menjaga Ruh Kata Maaf

Rabu, 27 Mei 2020 - 20:07 | 69.85k
Aditya Nurullahi Purnama, Tenaga Ahli DPR RI Komisi VIII /  Alumni Penerima Manfaat Bakti Nusa Dompet Dhuafa.
Aditya Nurullahi Purnama, Tenaga Ahli DPR RI Komisi VIII /  Alumni Penerima Manfaat Bakti Nusa Dompet Dhuafa.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gemuruh takbir bersahutan dari setiap masjid yang terhampar di sejumlah penjuru wilayah. Kendati pandemi membuat sebagian dari kita menjauhi tempat suci tersebut, sebagian dari kita justru hadir dengan ghirah yang tinggi sebagai ikhtiar syiar menyambut Idul Fitri atau lebaran. Sebab, perkara ibadah bukan semata tentang doa dan Tuhan, tetapi juga menyangkut suasana rasa.

Jika menggunakan logika tersebut kita akan mudah memahami alasan terkait fenomena aktivitas mudik masih berlanjut meskipun ada larangan, salat berjamaah di masjid tetap dilaksanakan, sampai berkunjung ke kerabat atau tetangga tetap diadakan meskipun dengan embel-embel menggunakan protokol kesehatan.

Fenomena sosial ini merupakan dampak eksesif dari pergolakan batin yang dialami oleh sebagian masyarakat karena sikap sosial-keagamaan mereka terpaksa "ditahan" oleh satu kondisi alamiah. Agama telah menyatu dalam kehidupan sosial mereka. Menghilangkan satu-dua aktivitas yang sebelumnya telah mengakar kuat dalam budaya mereka menimbulkan resistensi di alam bawah sadar mereka. Oleh karena itu menjadi muskil untuk mengubah secara radikal tradisi lebaran di tengah suasana pandemi.

Berbicara mengenai tradisi lebaran, memori kolektif kita akan membawa alam pikiran kita pada sejumlah hal yang kerapkali kita jumpai saat hari raya tersebut tiba. Misalnya opor ayam, ketupat, rendang, kaleng biskuit berisi rengginang dan berbagai sajian makanan yang hanya bisa dijumpai di hari spesial. Selain menyajikan hidangan yang membuat rindu suasana rumah, lebaran juga identik dengan satu tradisi sosial yang kita sebut tradisi saling bermaafan. 

Tradisi sosial ini adalah hal yang unik dan mungkin hanya dijumpai di Indonesia. Terlepas dari polemik bagaimana pengucapan yang tepat terkait ucapan Selamat Idul Fitri yang sesuai kaidah agama, masyarakat kita tidak terlalu mengambil pusing. Sederhananya, ucapan hari raya adalah ucapan sosial. Meributkan makna secara teologis hanya memperkeruh suasana riang. 

Dan yang menarik, ucapan sosial ini tidak pernah lepas dari frasa “mohon maaf atau minta maaf” yang kerapkali mengiringi di belakang kalimat “Selamat Lebaran”. Pada bagian ini penulis mencoba untuk mencermati pesan maaf yang cenderung mengalami anomali seiring berjalannya waktu. Bukan dari substansi yang disampaikan, tetapi bagaimana seharusnya  penyampaikan pesan tersebut agar kata maaf tidak kehilangan ruhnya.

Kemajuan teknologi membuat cara kita berkomunikasi mengalami kemajuan yang pesat. Kartu ucapan lebaran yang pernah mengalami kejayaan di era 1990-an, harus tergilas perubahan seiring penemuan teknologi baru berikut fitur canggih di dalamnya. Ponsel pintar memudahkan kita untuk bisa berkirim pesan melintasi berbagai dimensi ruang dalam waktu yang cepat dan bersamaan.

Fitur broadcast membantu kita mengirim pesan dengan format sama pada sejumlah kontak yang berbeda dengan sekali kirim. Ini merupakan penemuan yang canggih sehingga kita tidak lagi perlu direpotkan dengan mengetik ulang pesan yang sama, apalagi diperlambat dengan keharusan mencari sejumlah kontak yang dituju secara satu per satu. Cara lama ini hanya terjadi sekitar satu dekade yang lalu. 

Kendati demikian,terjadi satu paradoks. Kemudahan yang diberikan teknologi kerapkali membuat kita abai dalam memperhatikan esensi dari pesan digital itu sendiri. Substansi menjadi anomali ketika kita tidak cermat dalam menggunakan metode yang dipilih untuk meyampaikan pesan. Sebab pada hakikatnya, kata maaf dalam sebuah pesan seharusnya menjadi ungkapan yang sakral, sejati, dan bersih. Jika kata ini semata dibungkus oleh kemasan praktis sekali-sebar, tidak menutup kemungkinan ruh dari pesan tersebut tidak akan diterima dengan baik oleh sasarannya. Pesan hanya diterima sebagai bentuk basa-basi di hari raya. Ada yang dibalas dengan format serupa, bahkan hanya dibaca sekilas tanpa balasan.

Pada titik inilah pentingnya meletakan rasa dalam berkirim pesan maaf meskipun terpisah jarak. Bukankah apa yang disampaikan dengan hati akan sampai ke hati juga?

Memperbaiki Cara Komunikasi

Ramadhan menjadi perjalanan spiritual yang mengantarkan kita pada hari kemenangan. Kemenangan ini sesungguhnya bisa kita ketahui ketika kita mampu mengukur sejauh mana perubahan yang telah terjadi pada diri kita setelah ditempa secara fisik dan akhlak selama satu bulan penuh. Transformasi akhlak adalah satu dari banyak parameter yang diharapkan mampu kita capai begitu berhasil melalui ujian selama 30 hari terakhir tersebut. 

Salah satu komponen penting dari akhlak adalah kesantunan dalam komunikasi. Kemampuan kita dalam menempatkan diri dan bertutur dengan kalimat yang patut menjadi cerminan dari akhlak yang baik. Walaupun demikian, itu tidak cukup. Ada juga hal penting yang harus menjadi perhatian serius, yakni terkait cara atau metode, khususnya dalam meminta maaf kepada keluarga, kerabat atau kolega yang terpisah jarak sebab pandemi sehingga harus menggunakan pesan digital.

Hal yang perlu menjadi catatan adalah cara kita menyampaikan kata maaf perlu dilakukan dengan hati yang utuh dan kesadaran penuh. Artinya, menyampaikan kata maaf, apalagi melalui pesan digital, perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh sehingga esensi dari kata maaf itu sendiri tidak teredusir menjadi sekadar basa-basi belaka. 

Berikut beberapa hal yang mungkin bisa dilakukan untuk menjaga kata maaf dalam pesan digital agar tetap terjaga ruhnya dan suasana hangat lebaran tetap terpelihara kendati harus berjarak di tengah wabah Corona.

Pertama, menyebut nama orang yang kita tuju. Menyebut nama atau panggilan di awal pesan, secara psikis akan memberikan kesan intim meskipun saling berjauhan. Inti dari pesan yang hendak disampaikan (kata maaf) akan tersampaikan dengan baik ketika impresi di awal sudah kadung positif.

Selain itu, menyebut nama dari kontak yang kita tuju adalah bentuk kesopansantunan kita, khususnya bagi sasaran kita yang secara usia lebih tua. Sikap sopan santun yang ditunjukan sebenarnya akan membuah penghormatan orang tersebut terhadap diri kita sendiri. Di samping itu, hal yang terpenting dari model berkirim pesan seperti ini adalah cerminan dari attitude yang kita miliki. Dan attitude adalah nilai yang membedakan kualitas pesan kita dengan pesan broadcast lebaran lain. Sebagaimana ucapan seorang filsfuf: 

“Attitude is shown by deed, not only words” 

Kedua, insiatif untuk melakukan kontak langsung melalui pesan singkat, video call atau sambungan telepon. Kehadiran aplikasi zoom, gmeet, dan Whatsapp adalah contoh kemudahan yang telah teknologi berikan kepada umat manusia era ini untuk tetap merawat hubungan baik kendati terpisah oleh jarak. Tidak perlu gengsi untuk mulai membuka komunikasi di awal. Sebab, bisa jadi masing-masing dari kita sedang saling menunggu satu sama lain. 

Penantian yang terlalu lama akan menimbulkan syak wasangka sehingga tidak menutup kemungkinan akan menciptakan hati yang semakin berjarak. Rasa gengsi perlu dihilangkan, sebab, memulai inisiatif di awal tidak akan mengikis kualitas dari harga diri seseorang. Namun sebaliknya, kebesaran hati kita untuk inisiatif membuka ruang komunikasi di awal adalah manifestasi dari sejauh mana kita memahami esensi sebuah hubungan dengan sesama. Selain itu, sikap mengalah kita adalah bukti untuk menunjukan sebesar apa komitmen dan penghargaan yang bisa kita berikan untuk sebuah hubungan yang sudah kita bangun di awal. 

Sebagai penutup, bahasa diciptakan agar membuat manusia saling memahami satu sama lain supaya bisa hidup berdampingan dalam suasana saling menghargai. Di dalam rahim bahasa terdapat makna yang membuat bahasa menjadi pesan yang hidup. Oleh karena itu, kemampuan kita dalam menyampaikan pesan maaf menjadi penting untuk menakar sebesar apa itikad baik kita dalam memelihara komitmen serta hubungan baik dengan keluarga, kerabat, maupun kolega. 

Jika kata maaf memang tercipta hanya untuk diulang, maka pastikan kata itu senantiasa disampaikan dengan cara yang sungguh-sungguh dan bermakna. Selamat lebaran!

***

*)Oleh: Aditya Nurullahi Purnama, Tenaga Ahli DPR RI Komisi VIII /  Alumni Penerima Manfaat Bakti Nusa Dompet Dhuafa.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES