Kopi TIMES

Kolaborasi Pemerintah Masyarakat Lawan Pandemi

Rabu, 27 Mei 2020 - 19:07 | 40.34k
Abel Agnidita, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.
Abel Agnidita, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Terhitung sudah hampir 2 bulan sejak kasus pasien pertama positif covid-19 di Indonesia terkuak. Sejak saat itu pula jumlah kasus positif covid-19 terus meningkat dengan rata-rata 100 kasus tiap harinya. Hal ini menjadi tantangan bagi praktisi bidang kesehatan untuk segera menemukan vaksin yang bisa digunakan untuk menyembuhkan virus tersebut.

Selain itu, dengan adanya virus covid-19 ini juga menjadi tantangan yang cukup menarik bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan physical distancing, social distancing dan juga karantina diri. Social distancing menurut CDC (Central for Disease Control) adalah tindakan menjauhi segala bentuk perkumpulan, jaga jarak antar manusia dan menghindari berbagi pertemuan yang melibatkan banyak orang.

Seiring bergulirnya waktu dan juga perkembangan dari virus itu sendiri yang begitu cepat, beberapa orang tidak mengerti secara komprehensif apa itu social distancing dan khawatir hal tersebut dapat menyebabkan isolasi sosial.

Dr Jeff Kwong, spesialis penyakit menular dan professor di Departemen Kedokteran Keluarga dan Komunitas di University of Toronto menjelaskan bahwa istilah social distancing akan lebih baik apabila diganti menjadi physical distancing. Physical distancing merupakan istilah pengganti untuk social distancing yang juga bertujuan untuk mencegah virus covid-19 dan memiliki arti dimana masyarakat benar-benar terpisah secara fisik tetapi secara sosial tetap berkomunikasi walaupun hanya secara virtual.

Sedangkan menurut, situs web Sekretariat Kabinet physical distancing bisa diterjemahkan sebagai jaga jarak atau jaga jarak aman dan disiplin dalam pelaksanannya. Selain melakukan rekomendasi WHO seperti sering mencuci tangan dan menghindari menyentuh wajah, langkah serius yang diambil untuk menghentikan penyebaran virus ini adalah karantina dan isolasi diri. Menurut Johns Hopkins Medicine, karantina diri bisa dipraktikkan bagi orang-orang yang telah terpapar virus covid-19 baru dan yang beresiko terkena virus covid-19 dan dilakukan selama 14 hari. Sedangkan isolasi diri berlaku bagi kasus pasien positif covid-19 dan dilakukan di rumah sakit rujukan.

Mau tidak mau masyarakat memang harus menahan diri untuk tidak berkerumun dan tetap di rumah saja. Bukan hal yang mudah bagi masyarakat Indonesia untuk menerapkan kebijakan tersebut. Kebiasaan berkumpul dan juga diskusi bersama di suatu tempat cukup menjadi penghalang bagi masyarakat untuk menjalankan kebijakan tetap di rumah saja. Bahkan beberapa masyarakat ada yang menyepelekan dan justru berbalik menyerang pemerintah karena dianggap sudah membatasi ruang gerak masyarakat.

Memang tidak bisa dipungkiri, pemerintah memang lamban dalam mengantisipasi masuknya virus ini ke Indonesia. Pemerintah justru terlihat mengabaikan dan terlalu yakin bahwa Indonesia kebal akan virus ini. Saat hampir seluruh negara di kawasan Asia menutup akses penerbangan baik domestik maupun luar negeri, pemerintah Indonesia masih bersikukuh bahwa Indonesia tidak akan tertular kasus tersebut. Setelah kasus positif covid-19 meningkat cukup drastis, pemerintah pun baru mengambil kebijakan.

Perubahan postur APBN 2020 dan juga kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di zona merah menjadi bagian dari kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah. Sanksi bagi masyarakat yang melanggar pun juga sudah disiapkan oleh pemerintah yaitu berupa sanksi tilang dan juga putar balik. Kebijakan pemerintah untuk tidak menerapkan lockdown memang disesuaikan dengan bagaimana kondisi ekonomi Indonesia.

Pemerintah hanya menggunakan sistem PSBB (Pembatasan Sosial Bersala Besar) agar masyarakat bisa tetap produktif walaupun memang tidak bisa stabil. Dibutuhkan kolaborasi yang kuat antar pemerintah dan masyarakat agar kasus positif covid-19 tidak terus bertambah. Ketika masyarakat hanya bisa menuntut sedangkan kewajiban mereka untuk melakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) diabaikan sama saja dengan tidak mendukung penurunan angka kasus positif covid-19. Semua memiliki peran masing-masing dan yang perlu dilakukan hanyalah melakukannya sesuai protokol yang berlaku agar Indonesia bisa pulih kembali.

***

*) Oleh: Abel Agnidita, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES