Kopi TIMES

Mema'rifatkan Idul Fitri

Sabtu, 23 Mei 2020 - 08:40 | 142.30k
Robikin Emhas.
Robikin Emhas.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – ‘Idul Fitri disusun oleh dua kata yaitu ‘Id dan al-Fitri. ‘Id dari kata ‘aada artinya kembali. Hari raya disebut ‘Id karena senantiasa kembali terulang setiap tahun. Umat Islam diseluruh penjuru dunia merayakan Idul Fitri setiap 1 Syawal menandai tunainya puasa sebulan penuh sepanjang ramadan.

Al-Fitri sekurang-kurangnya memiliki dua makna. Pertama, al-Fitri sebagai al infitah ba’da thuulil qobdi, yang terbuka setelah lama tertutup. Sama halnya dengan setelah seharian penuh berpuasa, tidak makan dan minum, kemudian setibanya bedug maghrib, saat berbuka disebut al-fithru atau al-ifthor.      

Kedua, al-Fitri juga bermakna al ibtida wal ikhtiro’ atau permulaan dan penciptaan. Makna kedua ini yang saya rasa lebih dekat maksudnya dalam konteks ‘Id. Sudah menjadi keistimewaan bahasa arab, bahwa kadang satu kata memiliki banyak makna. Kejama’an makna al-Fitri dalam hal ini masuk kategori lafzul musytarak. Suatu kata yang menunjukkan dua makna atau lebih karena beberapa sebab.

Di kaidah bahasa Indonesia kita mengenal homonim. Kata yang memiliki dua makna atau lebih. Homonim terbagi dalam dua pembagian. Homofon untuk menunjuk pada kata dengan pelafalan sama, dan homograf untuk menunjuk pada kata dengan ejaan sama.

Lafzul musytarak adanya di kaidah ushul fiqh. Sedikit berbeda uraian dan ketentuannya dengan homonim. Penggunaanya, ia merupakan alat untuk memahami nash dan bentuk-bentuk kalimat dalam bahasa arab. Jadi, adanya musytarak, meski tidak selalu, biasanya terjadi pada kata yang menyertai nash. Sebagai alat, musytarak berkawan dengan muradif. Yaitu beberapa kata yang berbeda bentuknya tetapi memiliki makna yang sama.

Para ulama ushul menyepakati suatu ketentuan, apabila kata mengandung musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’. Kecuali ada indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.

Apabila kata tersebut mengandung tiga makna atau lebih, maka yang ditetapkan adalah salah satu makna saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjuk pada salah satu makna tersebut. Ini berlaku baik berupa kata yang menyertai nash (qarinah lafdziyah) maupun kata yang berkaitan dengan kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash tersebut (qarinah haliyah).

Jika kata tidak mengandung qarinah yang dapat menguatkan salah satu makna dari beberapa makna yang ada, Para ulama Syafi’iyah dan Malikiyah cenderung membolehkan menggunakan salah satu makna yang lebih mengandung kehati-hatian. Para ulama Hanafiyah berpendapat harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu maknanya.

Kembali ke Awal Penciptaan

Mengambil kerangka ushul fiqh di atas, maka kata al-Fitri sepatutnya lebih kuat menunjuk pada makna kedua. Yakni permulaan dan penciptaan atau awal penciptaan. Dengan demikian ‘Idul Fitri maknanya adalah kembali ke awal penciptaan. Makna ini lebih bisa dipegangi qarinah-nya.  

Penjelasan kuat mengenai kata al-Fitri yang menyertai nash antara lain tercantum dalam QS. 30:30. Disebutkan; “Fa aqim waj-haka lid-dīni ḥanīfā, fiṭratallāhillatī faṭaran-nāsa 'alaihā.. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu..”

Susunan kata al-Fitri yang menyertai nash ini adalah Fitratallahi yang kemudian ditegaskan lagi dengan fatarannasa. Fitratallahi terdiri dari; Fitrah dan Allahi. Fitrah berasal dari kata al Fitri, mengikuti wazan Fi’latun untuk menunjukkan makna keadaan (masdar haiat). Fitratallahi menjelaskan tentang asal penciptaan Allah atau fitrah Allah atas diri manusia yang berupa ke-Islaman dan tauhid. Pada terusan ayat ini dikatakan bahwa sesungguhnya tidak ada perubahan pada ketetapan Allah (terkait ke-Islaman dan tauhid) kecuali manusia-lah yang mengubahnya.

Maksud ayat ini senada dengan hadits Nabi; “Tidak ada anak yang dilahirkan melainkan ia terlahir dalam keadaan fitrah. Namun kedua orangtuanya menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”

Terkait hal ini, Syeikh Mahmud al Alusi al Bagdadi dalam Tafsir Ruhul Ma’aniy memberi uraian cukup menarik. Al Alusi mengatakan, fitrah Allah atas penciptaan manusia pada permulaan penciptaan adalah potensi ma’rifat dan tauhid, sebagaimana tersurat dalam QS. 7: 172.

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"

Merujuk ayat ini, ma’rifat kita bani Adam yang paling pertama menurut al-Alusi sesungguhnya sebagaimana yang telah dideklarasikan di awal penciptaan. Apa itu? Saat kita menjawab qālu bālā syāhidnā, "betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". Inilah bukti potensial dimana manusia diciptakan dalam keadaan ma’rifat dan dibekali tauhid.

Mustasyar PBNU Profesor Nasaruddin Umar lebih lanjut menguraikan ma’rifat sebagai aktivitas mengenal, mengetahui, dan menghayati berbagai objek ilmu pengetahuan secara rinci dan sistematis. Ada dua dimensi ma’rifat. Yakni ma’rifatullah dan atau ma’rifatunnafs.

Ma'rifatullah berarti mengenal, mengetahui, dan menghayati secara mendalam sifat-sifat Allah SWT secara terperinci. Puncak ma'rifatullah adalah saat seseorang sudah sampai kepada kesadaran bahwa hanya Allah Sang Wujud hakiki dan Sang Pelaku Mutlak.

Ma'rifatunnafs berarti mengenal, mengetahui, dan menyadari sedalam-dalamnya keadaan dirinya lebur dalam Sang Wujud hakiki. Dan sudah tidak merasa punya apa-apa lagi, tidak merasa memiliki perbuatannya sendiri.

Dan sebagai preposisi -mungkin kata ini tak terlalu mewakili maksud- atas ma’rifat, para teolog cenderung sependapat bahwa konsep tauhid menekankan pada pengetahuan tentang ketidakserupaan dan ketakterbandingan (tanzih/uncomparabily) Allah dengan makhluk-Nya. "Tak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya" (QS. 42: 11), "Segala sesuatu bakal musnah selain wajah-Nya" (QS. 28: 88).

Orang yang mencapai ma’rifatullah dan ma'rifatunnafs dalam kerangka tauhid dengan demikian ialah mereka yang mampu melakukan pengembangan potensi kecerdasan standar yang dianugerahkan Allah dalam dirinya. Kapan kecerdasan standar itu dianugerahkan? Sekali lagi, semenjak azali saat manusia menjawab pertanyaan Allah; “Alastu birabbikum? dengan jawaban antusias “qālu bālā”. Apakah engkau mengakui keberadaan Tuhanmu? Manusia menjawab: Iya, Engkau Tuhan kami).      

Seseorang yang mampu menumbuhkan kesadarannya ke tingkat ma'rifah, ia disebut muta'arrifah. Tetapi jika membiarkan dirinya hanyut dalam kelalaian dan main-main, maka belum semestinya ia bergabung dalam syahdunya ‘Idul Fitri. Belum sepantasnya ia kembali ke dalam spirit dasar al-Fitri.

Sebab ‘Idul Fitri adalah adalah hari raya kembalinya manusia kepada keadaan sebagaiamana awal penciptaan. Kembalinya manusia pada keadaan ruh yang dibekali ma’rifat dan tauhid. Di antara tanda ruh yang dibekali ma’rifat dan tauhid adalah "biqoobiliyyatil haqqi wattahayyu bih", menerima dan antusias menjalankan kebenaran dan kebaikan. Seantusias jawaban “qālu bālā” di waktu azali. Wallahu A’lam. Semoga Allah menerima puasa kita dan menjadikan kita kembali fitri.(*)  

 

Oleh: Robikin Emhas, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES