Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Tembang Sufi Mantiqut Thoir-10 Mahkota Sufi Pendidik

Sabtu, 23 Mei 2020 - 06:58 | 55.66k
Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA / Aktivis Remaja Masjid Kota Malang / Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang.
Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA / Aktivis Remaja Masjid Kota Malang / Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Hidup adalah sebuah proses untuk menemukan jatidiri yang sebenarnya. Selain mencari jati diri, tujuan hidup juga bertujuan untuk menjadi hamba yang sebenar-benarnya hamba, sehingga kita betul-betul dapat memperoleh cinta-Nya yang sejati. Dalam falsafah sufi, selalu disampaikan hadis Nabi “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya”. Hadits ini selalu mencari motivasi para pencari sejati.

Sosok hamba yang sering kita sebut dalam berbagai konteks. Dalam hal ini kita luruskan ke dalam satu konteks saja, yaitu konteks ibadah. Sosok ‘hamba’ dapat dianalogikakan sebagai daun yang terseret arus sungai. Ke manapun aliran sungai akan membawa dirinya, dia akan menuruti dan menikmatinya, walaupun arus membawanya menerjuni tebing yang sangat tinggi, dia tetap pasrah. Maka, sosok hamba dalam beribadah tidak akan pernah melihat dengan pandangan mata kewajiban semata melainkan dengan pandangan mata ibadah yang teduh dengan penuh cinta.

Demikian juga dengan para kaum sufi yang mencari kebenaran sejati. Apabila dianalogikan dalam kehiduan sehari-hari. Dia selalu menempa diri untuk menjadi hamba yang dapat menarik simpati Sang Tuan. Saat Sang Tuan hanya memintanya satu dari kewajibannya, dia menyerahkan lebih dari satu. Saat Sang Tuan hanya menyuruhnya dengan nada ringan, dia melaksanakannya dengan sepenuh hati. Tidak ada tujuan lain dalam kehidupannya kecuali hanya menjadikan tuannya senang dan cinta kepadanya. Saat tuannya telah senang dan cinta tehadap dirinya, maka kehidupan tuannya menjadi kehidupannya.

Infomrasi kuliah di unisma dapat di lihat di www.unisma.ac.id

Hampir semua dari kisah para kekesih Tuhan adalah orang-orang yang selalu memuliakan batinya dan hanya memberikan ruang yang sedikit untuk fisiknya. Syekh Abdul Qodir Jailani di masa awal menimba ilmu di Kota Bagdad, dia ditimpa kelaparan yang betul-betul menyayat tubuhnya. Tidak ada keluhan sedikitpun dalam dirinya. Ikhtiar yang dia lakukan hanya pergi ke sungai untuk mencari sisa-sisa sayur yang terhanyut air. Suatu ketika beliau tidak mendapatkan sisa-sisa sayur di aliran sungai karena para kaum fakir telah mengambilnya terlebih dahulu. Beliau pulang dengan kondisi pisik yang sangat lapar. Antara hidup dan mati, beliau akhirnya duduk di serambi masjid sampai Allah memberikan jalan dari kesulitannya saat itu.

Dalam proses riyadahnya, Syekh Abdul Qodir Jailani Setahun hanya makan bekal yang dibawanya, setahun kemudia hanya memakan sisa-sisa yang ada di sekitarnya, dan setahun kemudian hanya memakan yang Allah masukkan ke dalam mulutnya. Begitu dahsyatnya perjuangan para kekasih Allah di dalam menempuh para maqom sufi sehingga kondisi batinya betul-betul tertempa dengan sempurna. Beliau betul-betul memposisikan dirinya sebagai hamba yang sejati. Saat Allah mengujinya dengan berbahai hal, hati dan bibirnya selalu tersenyum dengan penuh perasaan cinta dan bersyukur.

Infomrasi kuliah di unisma dapat di lihat di www.unisma.ac.id

Lantas bagaimana dengan diri kita. Meskipun kita tidak dapat menirunya seratus persen, tetapi kita dapat menginjak telapak kaki kesufiannya dalam berbagai hal. Kita hidup dalam kondisi dunia yang sudah modern di mana setiap tantangan kesucian hati tidak hanya pada satu sisi saja, melainkan di berbagai lini. Apabila kita meniru kehidupan riyadah para wali memang cukup sulit, tetapi ikhtiar untuk senantiasa berada dalam garis bunga-bunga sufinya, sepertinya masih terbuka lebar. 

Dalam berbagai akrivitas seorang pendidik, kita dipernalkan dengan keikhlasan. Keikhlasan dalam memberikan materi yang tidak sekedar mengharapkan sebuah materi, melainkan pada oreintasi hati. Kita selalu mengajarkan untuk menuntut ilmu dari hati menuju hati, tidak sekedar dari logika ke logika semata. Maka, saat kita menjadi orang-orang yang senantiasa mendarmabaktikan kehidupan untuk hidupnya ilmu Allah sebenarnya kita telah berada dalam salah satu jejak telapak kaki suci kaum sufi.

Orang yang senantiasa berada dalam teratai pemhambaan yang sejati kepada Allah, maka segala yang ada di dunia akan menjadi pengikutnya termasuk harta benda. Namun, apabila kita telah beroreintasi pada kehidupan dunia, sebenarnya kita telah menjadi budak harta dan jauh dari hamba-hamba yeng mengharapkan cinta dari-Nya. Tidak ada manusia yang bebas dari kesalahan dan kekhilafan. Namun, jangan pernah menjadikan kesalahan dan kekhilafan sebagai sebuh alasan untuk melunturkan sifat-sifat kehambaan kepada Tuhan. Wallahu a’lam.

Infomrasi kuliah di unisma dapat di lihat di www.unisma.ac.id

*)oleh: Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA / Aktivis Remaja Masjid Kota Malang / Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES