Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Tuhan Trile TA

Jumat, 22 Mei 2020 - 15:10 | 38.20k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah masyarakat ini, masih kita saksikan manusia-manusia yang terseret jadi pembangkan agam. Mereka itu sedang terseret dalam penafian kesejatian Tuhan dan menikmati keterpurukan keimanan diri  dalam jebakan pemberhalaan “tuhan-tuhan modern” seperti apa yang disebut oleh cendekiawan muslim kenamaan Imaduddin Abdurrahim  dalam “Kuliah Tauhid”-nya dengan “tuhan triple ta”, tuhan  tahta, tuhan harta, dan tuhan wanita.

Dalam wilayah tahta misalnya, diantara segmen komunitas elit politik sedang larut dalam perburuan kursi dengan prinsip menghalalkan segala cara (permisivisme) seperti diajarkan Nicollo Machiavelli. Mulai dari putusan palsu, gelar palsu, politik uang, politik “dagang sapi”, dan gerilya-gerilya bertemakan strategi “belah bambu” dijadikan sebagai opsi untuk memperoleh garansi dan lisensi politik yang bisa diobsesikan dapat mengantarkan ke singgasana yang bertabur keuntungan ekonomi, psikologis, sosial, dan biologis.

Spesial perburuan “tuhan harta” juga tidak kalah serunya. Berbagai jalan tembus digunakan untuk bisa mengail atau menkorup hak-hak publik, yan diantara jalan tembus ini ada yang “menggunakan” wanita sebagai instrumennya. “Penjarahan” yang dilakukan segmen elit secara berlapis-lapis misalnya telah berhasil “mempertahankan” negeri ini sebagai republik korupsi atau pemegang rekor jawara korupsi di antara negara-negara terkorup di dunia. Terbukti, meski sekarang era pandemi Covid-19, OTT KPK masih mendapatkan tangkapannya.   

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kasus-kasus tersebut justru sedang menunjukkan dan membenarkan kalau manusia  Indonesia sedang mengidap penyakit, yang menurut filosof kenamaan Frederick Nietzhe “kematian Tuhan” (The God is dead). Kalau di dalam diri manusia masih bersemai dan tumbuh subur cahaya Tuhan, tentulah manusia Indonesia tidak gampang terjerumus dalam penggunaan “kacamata kuda” dalam menilai atau menimang kebenaran. Kebenaran pastilah akan dijadikan sebagai opsi fitri atau sejatinya kalau saja matanya tidak sedang rabun akibat dikaburkan oleh pesona duniawi yang menggoda dan menjinakkannya.

Akal sehat manusia seperti itu telah menjadi tumpul dan mandul akibat dikalahkan oleh “birahi” desakan pemenuhan kepentingan duniawi dan biologis, yang telah diberi tempat untuk menguasainya. Akal sehatnya tidak lebih dari “mesin” perajut target-target yang dikalkulasi dapat mendatangkan kekayaan berlimpah dan kepuasan biologisnya.

Kalau memang Tuhan masih diberi ruang bercahaya menjadi kekuatan moral-spiritual dalam diri manusia Indonesia, khususnya kaum pemegang truf kekuasaan dan pemilik modal besar (semisal konglomerat hitam), tentulah mereka ini secepatnya menanggalkan  kriminalisasi sistemiknya atau mensucikan tangn-tangan kotornya (the dirty hands)  dengan  cara membangun dan mewujudkan proyek-proyek pemanusiaan manusia Indonesia. Sayangnya, mereka masih berkutat menjadikan rakyat sebagai tumbalnya secara berlapis.

Mereka itu seharusnya memahami, bahwa di dalam diri rakyat itu ada amanat yang menuntut pembumian spiritualitas publik, artinya,  keberimanan akan bisa diperoleh dan bermakna dalam dirinya jika “Tuhan” diberi “hak hidup” dan memberdaya dalam bangunan kemaslahatan umat.

Kalau dalam aktifitas mereka itu sudah terlihat menunjukkan keberpihakan pada kemaslahatan masyarakat, maka ini jadi indikasi mulai terbitnya fajar spiritualitas dalam dirinya. Hidup dan bercahayanya nurani manusia untuk berani menengok dan menerjemahkan, serta memperjuangkan kepentingan sesama (rakyat)  adalah tanda-tanda diberinya “Tuhan” ruang  dialogis dalam dirinya atau meminjam istilah Cak Nur (Nurcholis Majid) sebagai Yang Maha Hadir (Ompnipresent)  Sebaliknya, ketika aktifitasnya lebih bercorak oportunisasi dan malversasi moral berpolitik misalnya, maka ini mengindikan kalau Tuhan belum diberi “ruang hidup” yang membinbing dan mencerahkan dirinya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

“Seseorang hamba tidak beriman sebelum Aku (Tuhan) lebih dicintainya daripada dirinya, keluarganya, harta bendanya, dan manusia semuanya”, demikian sabda Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan, bahwa  Tuhan merupakan puncak kecintaan hidup manusia yang wajib ditegakkan. Ketika seseorang misalnya berani melepas sebagian harta yang dicintai demi “proyek sosial”,  maka ini pertanda kalau seseorang ini berani melawan keniscayaan lahirnya “berhala baru” yang bernama  harta.

Kedudukan harta, kekuasan, dan  dimensi keduniaan lainnya bisa diterjemahkannya sebagai investasi spiritualitas yang mengintegrasikan hubungannya dengan Tuhan, manakala investasi ini tidak dibiarkan tereduksi dan dikalahkan oleh tarikan dahsyat “berhala-berhala baru” yang niscaya akan terus mencari tempat dan kuasa dalam diri manusia dan segala aktifitasnya.

Kekalahan manusia oleh berhala-berhala baru  akan melahirkan dan memperbanyak tragedi sosial dan bangsa, karena di tangan manusia seperti ini, kedudukan alam, hak-hak publik, dan kewajiban berserah diri kepadaNya akan terus dikalahkan. Korban lingkungan dan hak kesehatan, kesejahteraan, dan keselamatan manusia ditempatkannya sebagai ongkos logis oleh manusia yang telah kehilangan kiblat sejatinya itu.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES