Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Nasionalisme Pemimpin

Jumat, 22 Mei 2020 - 14:41 | 26.17k
Dr. H. Moh. Muhibbin, SH.MH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam malang (UNISMA).
Dr. H. Moh. Muhibbin, SH.MH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada banyak pertanyaan di era pandemi Covid-19 ini: masihkah kita ini punya pemimpin yang benar-benar rela berkoban demi rakyat, ikhlas mengalahkan kepentingan pribadi, kerabat, dan kroni-kroni eksklusifnya dengan memenangkan kepentingan sejati bangsa, rakyat, dan negaranya? Atau “sangat” banyaklah  pemimpin kita yang benar-benar mempertaruhkan jiwa raganya untuk lebih mengutamakan kepentingan nasionalisme daripada kepentingan individualisme, primordialisme, dan nepotismenya?

Jika berangkat dari realitas atau fenomena sekarang ini, rasanya kita sulit menemukan pemimpin yang benar-benar mengabdikan dirinya secara totalitas kepada rakyat. Mencari dan menemukannya sangat sulit.

 Yang banyak kita temukan dan bahkan terkadang ”bersahabat” dekat dengan kita adalah tampilan sosok pemimpin yang sibuk menganyam pembelaan dan bahkan pengabsolutan kepentingan pribadi, keluarga, dan kroni-kroninya, termasuk komunitas eksklusif partainya  dibandingkan pembelaan terhadap kepentingan rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat saat  pandemi Covid-19sedang sulit-sulitnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Rakyat, khususnya ”wong cilik”, atau rakyat kecil banyak yang dibiarkan hidup merana, hidup dalam belenggu ketidakberdayaan (empowerless), korban “tirani” atas nama regulasi, kebijakan, atau sepkaterjang  yang memaksanya, atau digiring menjadi “cost”  dari sebagi perilaku elit kekuasaan yang ”nakal”, yang nota bene sebagai pemimpin yang memproduksi keserakahan, arogansi, dan suka merekayasa kepentingan eksklusif  atas nama jabatan.

Mereka itu diperdaya atau dipermainkan dengan cara halus namun permisif yang akhirnya menjadi apa yang disebut sebagai “mutadh’afin”,  meminjam istilah Jalaluddin Rachmat, “orang-orang yang dibikin menderita, dibikin menjadi miskin, dan teraniya atau tidak berdaya.

Dalam ranah tersebut, kondisi rakyat akhirnya hidup dalam suatu bangunan negara, kekuasaan, atau konstruksi rezim yang sudah terdisain sebagai  mesin monolitik, yang hanya  mengukur keberhasilan kepemimpinannya lewat program eksklusif yang menguntungkannya sendiri dan kelompoknya daripada memikirkan dan membumikan aksi-aksi yang bercorak populistik dan humanistik. Pemimpin monolitik ini membuatnya kehilangan banyak kepentingan asasinya, yang tentu saja mengakibatkan kesensaraan mengakrabinya.

Kalau belajar dari sebagian sepak terjang sebagian pemimpin yang menangani pandemi Covid-19, boleh jadi  di kemudian hari, kondisi rakyat juga akan menemukan keadaan yang sama buruknya dengan apa yang sekarang dijalaninya, mengingat tidak sedikit kandidat pemimpin daerah ke depan juga berasal dari calon-calon yang bermasalah sekarang ini.

Di negara yang masih berkali-kali ditemukan sejumlah bentuk praktik mafia ini, terkadang  juga sulit untuk membuktikan bersalahnya secara yuridis seseorang pemimpin yang diduga sebagai pelanggar hukum, yang punya akses kekuasaan besar sebagai pemimpin, pasalnya lewat kekuasaan yang dipegangnya ini, independensi dunia peradilan sulit digaransi benar-benar steril dari pengaruhnya. Artinya ada dunia lain yang dihuni sejumlah elitis, yang nota bene sebagi pemimpin, namun terseret menjatuhkan pilihan kolaboratif secara kriminalistik, sehinga keadilan yang sebenar-benarnya keadilan menjdai tergerus  dan terdegradasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kalau masih menyala jiwa kejahatan yang lebih membara dan terorganisir yang sedang jadi panglima dalam diri sejumlah pemimpin di negeri ini, dan bukannya jiwa keberpihakan pada nasib bangsa ini secara menyeluruh, maka sulit raanya mengharapkan terjadinya perubahan bermakna di tengah masyarakat, apalagi menghidupi, menyejahterakan, atau memberikan keadilan.

Selain itu bukan tidak mungkin akibat rendahnya nasionalisme pemimpin kita itu, bangsa ini akan terus menerus dibanjiri oleh keprihatinan. Katakanlah jika ini terjadi di masa pandemi Covid-19 yang memang sudah demikian serius membuat kehidupan rakyat sulit, maka kesulitan bisa lebih parah lagi, yakni menjadi kondisi keprihatinan berlapis-lapis.

Menghadapi kondisi tersebut, jelas dibutuhkan kesadaran dari kalangan pemimpin negeri ini untuk menghidupkan atau ”menyalakan” nasionalismenya. Tanpa kesadaran darinya, jangan berharap akan terjadi perubahan besar. Perubahan yang menguntungkan pada kehidupan rakyat hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yan dalam jiwa dan gerakan-gerakan empiriknya terus (konsisten) memberkan yang terbaik untuk masyarakat, bangsa, dan negara ini.

Selama yang diberikan hanya bersifat parsial atau ”ala kadarnya”, perubahan terbaik tidak akan pernah terwujud. Kondisi ketidakberdayaan atau komplikasi yang menimpa rakyat hanya bisa dientas dengan kesungguhan dalam menjalankan kinerja terbaik. Adapun kinerja terbaik ini bermaknakan kesediaan memberikan (mendistrubisikan) sumberdaya terbaik untuk rakyat.

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. H. Moh. Muhibbin, SH.MH, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES