Wisata

Digempur Budaya Modern, Tradisi Colok Songo Tetap Eksis di Tuban Bumi Wali

Senin, 25 Mei 2020 - 09:47 | 109.73k
Tradisi colok songo di kecamatan Bangilan dan kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban (22/05/2020). (foto: Ahmad Istihar/TIMES Indonesia)
Tradisi colok songo di kecamatan Bangilan dan kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban (22/05/2020). (foto: Ahmad Istihar/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, TUBAN – Menjelang Hari Raya Idul Fitri, banyak kegiatan dilaksanakan umat muslim Nusantara. Satu di antaranya adalah tradisi colok songo (Nyala Sembilan) di Kabupaten Tuban pada akhir bulan Ramadhan yang tetap bertahan di Bumi Wali meski digempur arus budaya modern.

Nuansa akan terasa berbeda bila memasuki akhir bulan puasa, di mana tradisi Colok Songo masih tetap berjalan di kalangan masyarakat, khususnya di perbatasan pedesaan wilayah kabupaten Tuban, tepatnya di Kecamatan Bangilan, Kecamatan Singgahan.

Di banyak sudut, bahkan mulai pintu masuk, pemilik rumah menyalakan api sembilan (colok songo) diawali saat masuk petang atau tiba waktu buka puasa, dan selesai atau nyala api padam ketika masuk waktu sahur.

colok-songo-b.jpg

"Kala keluarga nyalakan ini masuk bulan puasa 28 sampai malam lebaran," kata Arifin, salah satu warga yang menyalakan colok songo di Singgahan, Kamis (21/5/2020) malam.

Dalam bahasa Jawa , Colok merupakan istilah untuk potongan kayu-kayu kecil. Ujung pangkal kayu dibalut kain untuk dibuat sumbu kemudian dicelupkan ke dalam minyak tanah sebagai bahan bakar menjadi api penerangan. Sedangkan, kata songo berarti sembilan.

Colok songo dengan kata lain, adalah obor kecil tradisi leluhur yang disulut dan ditancap ke dalam tanah (bumi) dan tempat lain seperti pintu, sudut rumah, depan kamar mandi, tempat pembuangan sampah sampai di tepi jalan lingkungan, bahkan tiap jalan raya penghubung antar kecamatan.

Tokoh masyarakat, Mbah Marno (55), menyatakan bahwa colok songo tidak tahu kapan pastinya dimulai. Sebab sejak kecil dirinya diajarkan eyang buyutnya untuk menyalakan api setiap sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadhan.

"Tepatnya masuk akhir Ramadhan ganjil. Biasanya tepat malam songo likuran (29) atau jatuh sepuluh hari pamungkas akhir bulan puasa," tuturnya.

colok-songo-c.jpg

Menurutnya, masyarakat percaya colok songo selain dilaksanakan di malam kemulyaan songo likuran, juga sebagai penghormatan terhadap para leluhur yang sudah tiada. Diyakini di waktu itu, secara tanpa kasat mata para ahli kubur pulang ke rumah berkunjung ke sanak famili yang masih hidup.

"Kerabat yang sudah meninggal berharap meminta doa serta melihat kondisi keluarga sebelum Hari Raya idul Fitri,'' imbuhnya.

Sedangkan untuk simbol dian penerang, nyala api colok songo dimaknai lambang pembakaran penebusan dosa dan kesalahan diri manusia. Juga pelita kecerahan di saat mulai datangnya malam gelap.

Selain itu, Colok songo yang dilakukan pada malam akhir Ramadhan antara petang sampai subuh saja, nyala api yang hanya semalam dimaknai bahwa di dunia tidak ada yang kekal abadi.

"Dunia, usia, harta dan anak adalah titipan. Dinyalakan colok songo ini, akan mengingatkan setiap diri manusia untuk bermuhasabah dengan pengharapan kepada Allah SWT untuk dipertemukan kembali bulan puasa ke depannya nanti." tutup tokoh masyarakat di Kabupaten Tuban ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Ronny Wicaksono
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES