Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Sajak Rendra untuk Negara

Selasa, 19 Mei 2020 - 17:55 | 70.81k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku Hukum dan agama.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku Hukum dan agama.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “Orang-orang miskin, orang-orang di jalanan, yang tnggal dalam selokan,  yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan” (WS Rendra)

Bait-baik sajak penyair berjuluk sang “burung merak” itu sebenarnya sebagai bentuk kritik socsial terhadap praktik pelecehan, pendiskriminasian, penindasan atau ketidakadilan terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang sedang ditindas, atau kumpulan manusia yang sedang dikalahkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang membangun kekuatan yang memproduk kezaliman berlapis-lapisnya secara individual maupun khususnya structural (negara).

Negara digugatnya untuk tidak gampang menabur janji pada orang miskin jika tidak bisa membuktikannya, atau janganlah menempatkan orang miskin sebagai obyek yang diolok-olok layaknya kumpulan orang-orang terbuang.

Ketika pandemi Covid-19 menyerang rakyat Indonesia, pertanyaan yang menggugat negara bermunculan, benarkah Negara (pemerintah) memang sungguh-sungguh mempedulikan, memartabatkan, atau memanusiakan orang miskin? apakah selama ini sudah terbukti secara totalitas kalau pemerintah memeng memihak orang miskin? atau benarkah setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dimaksudkan untuk membebaskan atau menyejahterakan orang miskin, atau setidaknya mencegah rakyat miskin “terjerumus” dalam penderitaan yang semakin mengerikan?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kita pernah diberi banyak pelajaran tentang ”susahnya” orang miskin yang hendak mendapatkan sedikit haknya dari negara. Misalnya pengalaman pembagian kompensasi atas kenaikan harga BBM beberapa tahun lalu terbukti menimbulkan persoalan serius, yang sangat menodai harkat kemanusiaan orang miskin. 

Saat itu, di sejumlah daerah misalnya, sebagian warga miskin melancarkan protes radikal, pasalnya mereka tidak kebagian bantuan dari kompensasi BBM. Dana yang dikenal sebagai “pelipur lara” senilai Rp. 100.000 perbulan yang dalam tahap dibagikan selama 3 bulan diberikan kepada orang-orang yang dianggap lebih mampu ekonominya dibandingkan dirinya, atau lebih miskin dirinya dibandingkan penerimanya.

Tuduhan pun mengalir pada pihak pendata atau penyalurnya, bahwa mereka kongkalikong  dengan penerima, ada main mata, ada simbiosis mutualisme, atau dana kompensasi itu sedang disalah-alamatkan kepada orang-orang yang salah. Diantaranya, di suatu daerah,  ada tuduhan kalau penerima bantuan berasal dari orang-orang yang mendukung kepala desa terpilih, keluarga pendata, atau “kroni” dari aparat desa/kelurahan.

Sebagai refleksi, kasus yang pernah terjadi di Brebes Jawa Tengah mengenai luapan kemarahan orang miskin yang melakukan perusakan terhadap kantor desa yang dianggap sebagai “biang kerok” ketidakadilan dan ketidakmanusiawian penyaluran bantuan misalnya dapat dijadikan indikasi, bahwa orang miskin potensial mengumbar atau melampiaskan kemarahannya ketika disakiti dan dizalimi. Saat dizalimi ini, mereka justru termotivasi untuk mendekonstruksinya sebagai bagian dari perjuangan atas nama hak asasinya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kasus lainnya saat itu misalnya seorang nenek tua renta ikut berdesak-desakan antri dapat bantuan yang berakibat kematian seperti yang terjadi di Banyuwangi juga menjadi cermin bentuk pelukaan, “peledekan serius: atau pezaliman terhadap orang miskin. Kematian calon penerima bantuan seperti ini menjadi “cost” yang mahal yang menunjukkan kalau birokrat atau pemangku jabatan di lapangan yang seharusnya menjadi “rasul” negara ini, telah mendisain dirinya sebagai pembuka ruang atau bahkan actor pelanggaran HAM.

Dalam kapasitas sebagai “rasul” negara itu, idealitasnya petugas pendata dan penyalur bantuan  merupakan ujung tombak yang menentukan keseimbangan dan kedamaian publik, karena berkat peran-peran yang dimainkannya, masyarakat miskin bisa memperoleh perlakuan yang benar, manusiawi, dan arif.

Sekarang di era pandemi Covid-19, lalau misalnya ada calon penerima yang kurang jelas, petugas bisa memberikan penjelasan atau penafsiran yang memposisikan penerima bantuan sebagai pemegang “hak” yang sebenar-benarnya sebagai pihak yang berhak menerimanya.

Petugas penyalur bantuan seharusnya bisa menafsirkan realitas kemiskinan, bahwa orang miskin di negeri ini, , adalah kumpulan manusia-manusia yang sudah sekian lama hidup menderita, papa, dan nestapa, seperti mengidap kemiskinan cadangan pangan, kurang gizi, pendidikan rendah, miskin ketrampilan, dan teralinasi dari akses informasi yang menguntungkannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Seorang sahabat Ali RA, sosok cendekiawan dan pejuang muda di zaman Nabi Muhammad SAW pernah berkomentar “andaikan aku bertemu kemiskinan, tentu aku akan membunuhnya”. Konstatasi ini dapat ditafsirkan, bahwa dalam diri pejuang, orang-orang miskin merupakan  lahan fundamentalnya, yang wajib diprioritaskan secara untuk digarap (dibebaskan). Orang miskin bukan hanya menjadi “proyek” kesalehan invidual, tetapi juga kesalehan kekuasaan (kenegaraan) yang butuh pembuktian, bukan “omongan” (janji-janji).

Dalam kesalehan kekuasaa, setiap pejabat atau pengelola dananya orang miskin dituntut “sahih” dalam ucapana mupun tindakan. Antara data dengan realitas harus menyatu menjadi bahasa yang berpihak pada rakyat. Apa yang sudah menjadi hak orang miskin tidak boleh ditunda-tunda, diabaikan, ditelantarkan, dan apalagi sengaja dipermainkan, karena sejatinya, orang miskin ini sudah tidak sabar menunggu haknya berpihak kepadanya, apalagi dalam situasi bersifat darurat seperti sekarang ini.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis buku Hukum dan agama.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES