Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ramadhan sebagai Momentum Mendidik Karakter (11): Toleran

Selasa, 19 Mei 2020 - 12:01 | 53.07k
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo.
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Masih terkait dengan nilai karakter terhadap diri sendiri, toleran adalah nilai karakter yang perlu dimiliki oleh peserta didik sebagai bagian dari warga Indonesia. Sikap toleran dianggap penting karena setiap manusia itu berbeda dan memiliki keunikan masing-masing. Melihat sisi baiknya daripada mengedepankan perbedaan adalah pilihan cerdas dalam sikap toleran ini. Hal ini sesuai dengan arti toleran menurut KBBI yakni bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Tentu membiarkan disini dengan prinsip-prinsip saling menghormati. Setiap perbedaan harus dihormati.

Sikap toleran ini dalam konteks Indonesia sangat dibutuhkan. Hal ini atas rasionalisasi Indonesia sebagai Negara kepulauan. Sekitar 17 ribu pulau yang ada dengan penduduk yang menempati berdampak terhadap perbedaan suku, ras, bahasa, adat istiadat, kebiasaan, ritual, agama yang tidak terelakkan. Hal inilah yang mendasari kenapa prinsip bhineka tunggal eka, berbeda-beda tetapi satu jua menjadi prinsip bernegara kita. Jika perbedaan yang ditonjolkan maka akan muda dipecah bela.

Sikap toleransi ini harus menyentuh seluruh sendi berkebangsaan kita. Tidak terlepas juga bagaimana kita beragama. Beragama sangat butuh toleransi. Bukan berarti kita mengakui agama mereka yang berbeda tetapi dalam rangka menghormati perbedaan itu. Kata kunci cara bertoleransi adalah bagaimana kita dapat mengerem ego agar tidak terjadi klaim kebenaran. Terkhusus pada persoalan agama.

Persoalan di Timur Tengah yang tidak kunjung selesai karena perbedaan cara beragama adalah contoh nyata betapa pentingnya sikap toleran tersebut. Perbedaan cara menjalankan agama dalam agama yang sama ternyata membawa pada ekstrimisme. Mereka yang tidak sesuai dengan apa yang dijalankan kita bukan berarti mereka salah dan kita benar. Harus dikedepankan bahwa setiap ajaran mempunyai dasar yang kuat yang kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.  

Informasi Seputar UNISMA, kunjungi www.unisma.ac.id

Kondisi terakhir ini dimana muncul persepsi di tengah-tengah masyarakat internasional yang menyatakan agama Islam adalah agama teroris. Hal ini muncul karena perilaku umat islam atau seting yang dibuat untuk memunculkan persepsi tersebut. Meskipun persepsi tersebut dengan mudah dapat dilakukan, refleksi kedalam patut dilakukan oleh umat Muslim. Meskipun kondisi tersebut memang sengaja dibuat oleh pihak-pihak tertentu, namun sikap kita untuk mengedepankan toleransi harus selalu diutamakan.

Jika kita melakukan refleksi kondisi umat beragama ini rasanya umat Islam yang paling rame tingkat perbedaannya. Dalam satu tahun aktivitas keagamaan kita, dapat diidentifikasi kapan saja waktu ramainya tersebut. Misalnya saja yang biasanya rame adalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, malam nisfu saban, peringatan maulid nabi, peringatan hari kematian, dan lain-lain. Perbedaan itu semakin meruncing ketika ada klaim bahwa yang melakukan itu semua adalah bidah dan ahli neraka. Semakin pelik ketika klaim-klaim kebenaran dilakukan atas nama agama yang sebenarnya terjadi adalah untuk kepentingan golongan tertentu, dan parahnya dijadikan untuk alat politik. Maka kemauan kita untuk menghormati perbedaan dan keinginan untuk belajar mencari kebenaran hakiki adalah cara agar tidak terjebak pada kebenaran sepihak itu.

Toleransi membutuhkan modal pengetahuan yang luas. Dangkalnya pengetahuan akan berdampak kebenaran seakan-akan hanya miliknya. Mereka yang tidak pernah keluar rumah akan menganggap bahwa dunia ini sempit, sementara mereka yang terys menjangkau dunia luar akan menilai bahwa luasnya dunia ini. Pengakuan Prof. Buya Hamka menarik untuk dijadikan uswah. Misalnya saja Prof. Buya pernah mengatakan semakin banyak membaca buku maka semakin luas cakrawala pemahaman saya yang itu berdampak terhadap sikap toleransi saya. Jelas disini bahwa sikap tidak toleran adalah disebabkan dangkalnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya yang berdampak terhadam sumbu pendek pikirannya. Maka satu-satunya cara yang harus dilakukan adalah memperbanyak pengayaan pengetahuan kita.

Informasi Seputar UNISMA, kunjungi www.unisma.ac.id

Puasa di Bulan Ramadhan ini sangat mengajarkan tentang arti pentingnya toleransi. Sikap toleransi itu terbentuk dari proses kita menjalani ibadah puasa. Kita tidak tergoda dengan mereka yang berjualan disiang hari untuk melayani mereka yang tidak puasa. Puasa mengajarkan kita menghormati orang lain bukan belajar bagaimana kita ingin dihormati orang lain. Maka semakin sungguh-sungguh kita menjalankan puasa maka toleransi tersebut akan terbentuk. Jangan kuatir dengan perbedaan jumlah rakaat tarawih, jangan risau dengan perbedaan awal dan akhir puasa Ramadhan, selama kita punya dasar yang kuat maka saling menghormati adalah sikap yang tepat. Bukan membawanya dalam tema-tema ceramah Ramadhan kita. Wallahu aklam bissowab. (Bersambung).

*)Oleh: Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES