Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kelaparan dan Konsumerisme

Senin, 18 Mei 2020 - 11:20 | 48.88k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG“Orang yang memberi makanan untuk berbuka puasa bagi orang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa dikurangi sedikit pun”, adalah salah satu doktrin Islam yang mengajarkan supaya  jangan ada kelaparan diantara kita, apalagi saat menjalankan puasa, sementara yang lainnya hidup bergaya konsumerisme.

Kita tahu, bahwa salah satu hikmah puasa adalah menahan laju atau menyadarkan kepada manusia tentang jeleknya budaya konsumerisme. Pada saat puasa, manusia bukan hanya dituntut menahan lapar seharian, tetapi juga dituntut bisa mendistribusikan pangan miliknya untuk orang lain. Misalnya, Allah SWT menghargai orang-orang yang mau memberikan pangan yang cukup bagi sesamanya yang mau berbuka puasa. Hal ini mengajarkan, bahwa agama membimbing kita melalui puasa untuk membangun budaya humanitas (peduli nasib manusia lain).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Menurut ahli makanan dunia George Bergstrom, “kelaparan yang menimpa negara-negara berkembang bukan semata-mata disebabkan berkurangnya produksi pangan dunia, tetapi justru sebagian besar disebabkan distribusi yang tidak adil.

Soal konsumsi misalnya, negara-negara maju telah menggunakan sumberdaya alam seperti energi dan mineral sebanyak 80% dari konsumsi dunia. Dengan gaya penghidupan mewah, tiap jiwa rata-rata telah monkonsumsikan hampir 2.200 pound gandum tiap tahun, sedangkan di negara-negara berkembang cukup hanya 400 pound. Padahal sepertiga pendu­duk dunia tingggal di negara-negara maju.

Negara-negara maju itu hidup dengan gaya pemborosan energi, menurut Schumacher apabila laju kenaikan jumlah penduduk di negara-negara maju 1,5% dan di negara-negara berkembang 2,5%, maka ika pada waktu yang sama pemakaian bahan bakar tiap kepala di negara-negara maju naik tiap tahunnya 2,25%, maka menjelang tahun 2000 kita akan mendapatkan data; pemakaian bahan bakar perkapita bagi negara-negara mau  yaitu 9,64 ton, sedangkan bagi negara-negara berkembang hanya 1,34 ton.

Sebagai bahan refleksi, kehidupan konsumerisme  Amerika Serikat misalnya, dalam pemeliharaan anjing, mereka telah membuat pabrik-pabrik untuk memproduksi makanan dalam kaleng atau botol obatan-obatan, sabun, pakaian, hiasan, kandang dan bahkan payung untuk anjing. Orang-orang miskin di Amerika tidak segan-segan membeli makanan-mekanan mewah  untuk anjing, baik yang di dalam kaleng maupun botol untuk makan (konsumi) sendiri, karena mutu makanan anjing itu begitu baik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pakar  ekonomi  Soeroso  Imam  Zadjuli mengatakan, bahwa ditemukan tiga jenis pengeluaran seperti upacara dan pesta, pembelian rokok, tembakau dan sirih serta yang haram dalam  bentuk   pembelian   minuman   keras   (beralkohol).  Setelah diproyeksikan  dengan tahun 1990, maka ditemukan angka pengeluaran barang mubadzir tersebut sebanyak 7.141,23 trilyun rupiah.  Jika  diasumsikan  bahwa  87%  pelaku pengeluaran barang mubadzir tersebut mengaku beragama Islam, maka  jumlah  yang  dikeluarkan  oleh ummat Islam untuk kemubadziran dan bahkan sebagian berstatus haram tersebut menjadi 6.121,87 trilyun rupiah. Jumlah 7 trilyun lebih itu meliputi minuman beralkohol 103,09 milyar rupiah, rokok/pembelian sirih sebanyak 4.648, 36 milyar rupiah dan pesta/upacara sebanyak 2.389,78  milyar  rupiah.  Jumlah  ini  belum  termasuk  perincian dana rakyat yang dihabiskan di meja judi yang rata-rata setiap tahun mencapai 1 trilyun rupiah. Ketika puasa Ramadhan, pengeluaran dana itu menurun 30% atau bisa dihemat sebanyak 122,3 milyar rupiah Kalkulasi Pak Imam ini ada relevansinya dengan laporan Media di Jatim, bahwa “masyarakat Indo­nesia ini paling boros dalam membelanjakan uangnya, di atas Singapura dan Hongkong sekalipun”.

Problem tersebut menunjukkan bahwa umat Islam merupakan pelaku utama konsumerisme, yang memubadzirkan sumberdaya ekonomi. Tuduhan ini sangat beralasan, mengingat dominasi  sum­berdaya manusia (human resource) dan  sosio-kultural   berada   di   tangan  umat  Islam, termasuk gaya hidup (life style-nya).

Menyikapi hal itu dalam konsepsi etika Islam menjelaskan berikut:“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu lama mengulurkan­nya, karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (Al-Isra’: 29)”.

Dalam menjelaskan ayat tersebut, Maulana Muhammad Ali (1986) dalam tafsirnya menyatakan, “Yang dimaksud membe­lenggu tangan pada leher ialah bakhil dalam membelanjakan harta, adapun membentangkan tangan selebar-lebarnya ialah, ialah boros dalam menghamburkan harta.

QS Al-Isra’ itu menggariskan etika universal tentang cara yang benar tentang bagaimana orang harus membe­lanjakan atau menggunakan harta yang bisa memberikan manfaat baik kepada diri, keluarga, maupun kepada masyarakat. Membelanjakan uang untuk kepentingan diri sendiri itu umumnya mudah, sedangkan yang biasanya sulit adalah membelanjakan uang pribadi untuk kepentingan umat. Di sinilah puasa membimbing kita untuk berlaku adil antara membelanjakan uang untuk kepentingan diri dengan kemaslahatan sesama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES