Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Dari Aristoteles dan Hasan Al Basri

Kamis, 14 Mei 2020 - 11:01 | 46.31k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan HAM.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan HAM.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu aspek yang membuat seseorang atau sejulah orang gampang tergelincir melakukan kesalahan atau memilih perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, adalah uang (kekayaan). Demi kepentingan ini, mereka bisa sangat berani atau nekad melakukan suatu perbuatan yang berdampa mengerikan atau menghadirkan nestapa lokal, nasional hingga global. Hal ini diantaranya dapat terbaca saat negara sedang menghadapi masalah pandemi Covid-19, dimana banyak kita jumpai ragam orang yang terglincir pada pemujaan uang atau perburuan keuntungan uang, meski dengan mengorbankan kepentingan banyak orang.

Dari kondisi itu, filosof kenamaan Aristoteles pernah berkata, bahwa semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap harkat kehidupan, kebenaran, keadilan, kesusilaan, dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pikiran filosof ini sejatinya mengigatkan supaya setpa orang tidak larut dalam perburuan atau penahbisan uang. Setiap orang dimintanya tidak menganggap sebagai kesalahan kecil ketika melakukan kesalahan atau kejahatan yang berhubungan dengan masalah uang. Ketika mereka menganggap hal ini sebagai hal kecil, maka yang terjadi adalah peristiwa besar  dan menggemparkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ada kata mutiara berbunyi the danger of small mistakes is that those mistakes are not always small atau bahayanya kesalahan-kesalahan kecil  adalah bahwa kesalahan-kesalahan itu tidak selalu kecil atinya  tidak selalu yang dinilai sebagai problem kecil atau akibat ringan merupakan “kejahatan kecil”, tetapi ia bukan tidak mungkin merupakan kesalahan besar.

Ketika kesalahan kecil dibiasakan atau diterima dengan prinsip kepatutan, maka pihak yang melakukan kesalahan laksanakan diberi kesempatan untuk memproduksi lagi dan melakukan eksperimen terhadap kesalahan-kesalahan lainnya. 

Penipuan, pencopetan, atau “mengutil: punya orang lain pun demikian, ia barangkali dari tidak lebih dari kejahatan kecil jika dibandingkan dengan penggarongan, penggelapan dana nasabah, pencucina uang,  atau korupsi, akan tetapi jika ia tidak mendapatkan perhatian serius, khususnya dari aparat penegak hukum dan masyarakat, ia bisa “didesain” oleh pelakunya menjadi kejahatan yang memakan korban spektakuler. Kesalahan kecil yang dibiasakan  atau didukung akan potensial menjadi akumulatif kesalahan atau kejahaatan, yang bisa berujung pada apa yang namanya “pembudayaan”.

Penipuan misalnya yang di era pandemic Covid-19 ini ditangani aparat, sebenarnya hanya menjadi “sampel” dari kasus penipuan yang sudah berulang-ulang terjadi dan mengorbankan jutaan elemen masyarakat sebelum munculnya pandemic Covid-19. Banyaknya korban ini selain tak lepas dari kurangnya sosialisasi empirik dari negara melalui aparat-aparat yang berwajib, juga akibat sikap masyarakat  yang ganpang kompromistik dan “mengamini” modus operandi kejahatan, di samping mudah terbiusnya masyarakat dengan perkataan yang disampaikan komplotan penipunya, khususnya yang dikaitkan dengan tawaran hidup dan kaya “serba instan” atau membuat seseorang bisa menggapai status yang bernam orang kaya baru (OKB) atau ornag kaya mendadak (OKM).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

''Empat perkara yang barang siapa ada padanya akan sempurna,  dan barangsiapa yang mempunyai satu saja, maka ia termasuk orang saleh pada kaumnya; agama sebagai petunjuknya,  akal yang meluruskannya,  mawas diri yang menjaganya,  malu yang menggiringnya, ' demikian pesan  Imam Hasan Al Basri.

Pesan Hasan Al Basri itu diantaranya mengingatkan setiap individu atau elemen masyarakat, bahwa kuatnya konstruksi stabilitas dan harmonisasi sosial harus didukung oleh sikap setiap elemen masyarakat yang selalu waspada, tidak gampang percaya pada janji manis, tidak serakah, atau tidak membiarkan diri terseret dalam kubangan (perangkap) bertajuk mendapatkan keuntungan berpola ”serba instan” dan irasional, khususnya yang berhubungan dengan masalah uang.

Seseorang atau sekelompok kriminal yang menggunakan modus operandu penipuan, secara umum berkaitan dengan uang, yang hal ini bisa disebabkan kecerdikannya penipu atau penjahatnya, atau bisa disebabkan mudahnya seseorang menyerah dan senang menjadi obyek (Korban) pembodohan.

Ironis, di tengah masyarakat yang semakin pintar ini, justru tidak seikit yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan “toleransi” atau ruang empuk yang yang membenarkan kondisi anomali masyarakat atau bangsa ini, bahwa kejahatan masih gampang diberi tempat bersemai atau berdaulat akibat kita yang memang bersedia diajak “bersahabat”, atau masih gampang sekali memberikan tempat bagi “kinerja” dan “berkuasanya” penjahat merekayasa hak  kebendaan kita. 

Mereka itu tidak akan terus mempunyai sel-sel yang memperluas jarinhan kriminalitasnya, kalau di masyarakat dan negara ini, tidak sering memberikan tempat nyaman dan aman atas kejahatan yang diperbuatnya.

Seperti pesan Aristoteles dan Hasan Al Basri, sepanjang manusia sudah kehilangan etika dalam relasinya dengan pencarian harta (uang), maka berbagai jenis korban (kerugian) masih akan gampang berjatuhan di masyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis Buku Hukum dan HAM.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES