Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Tembang Sufi Mantiqut Thoir- 6 Istighfar yang Diistighfari

Rabu, 13 Mei 2020 - 10:30 | 62.58k
Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA / Aktivis Remaja Masjid Kota Malang / Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang.
Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA / Aktivis Remaja Masjid Kota Malang / Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Sebagai seorang yang telah berkelana dalam Samudra Ilahi, Syekh Faridu’d-Din Attar mencoba menyentuh hati manuasia dari titik yang paling dangkal menuju titik yang paling dalam. Dia laksana penjaga pintu hati yang selalu menginginkannya bersih setiap saat. Dalam dirinya selalu berikhtiar bahwa dalam diri kita selalu dihinggapi kotoran kesalahan dan kekhilafan setiap saat, sehingga memerlukan pembersih setiap waktu. Baginya, kotoran jiwa yang dibawa oleh makhluk pembangkang Tuhan selalu datang setiap detik dan selalu mendekat dalam helaan nafas kita, maka tidak ada cara lain kecuali selalu menistighfarinya dalam helaian nafas juga.

Tembang naratif yang terdapat dalam kitab Mantiqu’t Thoir ini adalah bagian terkecil dari ratusan tembang sufi yang dibuat oleh kalangan sufistik. Di dalamnya tidak ada metafor yang analogis kesia-siaan, kecuali kepadatan diksi tentang kecintaan terhadap perjalanan dalam mencari kebenaran. Setiap larik betul-betul sebagai perwujudan dari pengalaman batin yang paling mendalam sehingga akan menjadi legitimasi dari para pengikut dan pencintanya. Syekh Faridu’d-Din Attar mengilustrasikan kejernihan danau haqqul yaqin dalam larik ‘tuturan burung ketujuh’, dia mencoba menyentuh sisi kesadaran rohani manusia yang dirasa pantas menjadi tidak pantas, yang dirasa benar menjadi tidak benar.

Bagi seorang Attar, ingat akan kesalahan dan kekhilafan diri merupakan hal yang sangat penting untuk mememukan jati diri dan cinta Tuhan yang sebenarnya. Namun, apabila diri sendiri tidak menyadari saat dia meminta ampunan-Nya, maka permohanan ampunnya harus disadari kembali untuk dimohonkan ampun karena terdapat percikan riya’ di dalamnya. Keterangan yang terdapat dalam kitab Mantiqu’t Thoir sebenarnya juga terdapat dalam Kitab Hikmah Al Hikam yang dikarang oleh Syekh Ibnu Atha’illah as-Akandari. 

Dalam kitab tersebut keterangannya hampir sama tentang istighfar yang perlu diistighfari. Hal ini tidak ubahnya dengan ibadah yang tujuannya tidak karena Allah. Bentuk ibadah yang sedemikian rupa hanya menjadi hamburan debu yang dapat mengotori hati bahkan menjauhkan diri dari rahmat dan cinta Allah. Bagi seorang salik yang berada dalam perjalanan mencari jati diri juga akan menjadi perhatian bahwa hembusan dan bisikan angin kesesatan tersebut selalua ada setiap waktu saat kita lalai dari mengingat-Nya.

Oleh karena itu, dalam larik-larik romantisnya, Syekh Faridu’-Din Attar selalu mengingatkan bahwa jiwa kita selalu terbelenggu setiap saat, hingga kita sadar untuk memohon ampunan kepada Allah. Ampunan yang bukan hanya kebiasaan tetapi betul-betul permohonan yang muncul dari kesadaran. Kesadaran tidak ubahkan dengan proses dari introsfeksi diri dari berbagal hal yang telah dipikirkan, dilihat, didengar, sampai pada berbagai hal yang dilakukannya. Semua itu harus menjadi bagian dari hal yang disesali jika tujuannya, semata-mata bukan karena mengharap ridha-Nya.

Pada bagian ketujuh dari sekawanan burung yang telah mengapakkan sayapnya ke langit luas ini, Syekh Attar menyimbolkan dengan Hud-Hud sebagai pembawa pesan tentang orang-orang arif. Hud-Hud selelu berkata pada sekawanannya bahwa secarik  dari segala bentuk keduniawian yang masih dicintainya akan menjadi belenggu untuk menemukan Sang Penguasa Simugh. Selain itu, Hud-Hud juga berkata secara simbolis bahwa dunia ini adalah permadani penjara yang selalu menerlenakan hati setiap saat hingga tuhan akan sangat jauh dari jaukauan dan angannya.

Ketika memasuki lereng yang sangat tandus Hud-Hud melihat sebuh pohon yang dipenuhi dengan buah. Hampir semuanya terlena pada buah yang dihasilkan dari pohon tersebut. Kemudian Hud-Hub berkata pada teman-temannya bahwa yang dia lihat hanyalah fatamorgana kesesatan. Apabila kita mendatangi pohon itu, maka sungguh kita akan diburu dan ditangkap oleh orang yang sudah mengintai keberadaanya. Mendengar hal itu, sekawanan burung tersebut terus melintasi lereng tandus sambil mendengarkan khutbah yang disampaikan Hud-Hud.

Dalam cerita selanjutnya, Hud-Hud melambatkan sayapnya dan mulai bertutur tentang seorang Darwis yang sangat mencintai Tuhannya dan demikian juga dengan Tuhannya sangat mencintai Sang Darwin. Sudah tidak ada tabir antara dirinya dengan Tuhannya. Suatu ketika Sang Darwis tertarik dengan sebidang tanah yang di tengah tanah tersebut terdapat pohon dengan sarang burung besar. Setiap saat burung itu berkicau dengan seribu rahasia ketuhanan hingga Sang Darwis terlena dengan suaranya. 

Melihat hal yang dilakukan Darwis, Tuhanpun menegurnya melalui para malaikatnya. “Sampaikan pada Darwis tersebut yang telah menjual cinta terluasku demi seekor burung.” Cerita ini dapat menginspirasi kita, bahwa segala sikap dan perilaku sekecil apapun yang telah keluar dari jalan kecintaan menuju keridhaan-Nya akan senantiasa menjadi belenggu yang dapat mengotori hati bahkan murka Ilahi. Hanya istighfar yang betul istighfarlah yang dapat memurnikannya kembali. Semoga kita semakin berpasrah diri dari sepuluh terakhir Ramadhan tahun ini.

Informasi Seputar UNISMA, kunjungi www.unisma.ac.id

*)Oleh: Moh. Badrih, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNISMA / Aktivis Remaja Masjid Kota Malang / Pengurus Ponpes Tahfidz Al Madani Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES