Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Hubungan Tasawuf Dengan Psikologi

Selasa, 12 Mei 2020 - 15:30 | 1.72m
Kukuh santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kukuh santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Universitas Islam Malang (UNISMA).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Tasawuf sebagaimana yang sudah dikemukakan yaitu upaya membersihkan diri dari perilaku yang mempengaruhi kesucian jiwa dan berjuang mengendalikan hawa nafsu menuju keabadian. Sedangkan psikologi yang berarti ilmu tentang jiwa yang di dalam ilmu tentang jiwa menurut Gross yang dikutip oleh Matt Jarvis adalah pikiran dan perilaku. Dengan adanya kajian tentang jiwa yang di dalamnya terdapat pikiran dan perilaku, menjadikan kajian psikologi memilki kesamaan dengan tasawuf yakni menjaga perilaku melalui pensucian diri.

Secara etimologi, psikologi memiliki arti ilmu-ilmu tentang jiwa. Dalam Islam, istilah jiwa memiliki kesamaan padangan dengan kata nafs, meski ada juga yang menyamakan dengan istilah ruh. Namun begitu, istilah nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah ruh. Dan dengan demikian, psikologi dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al nafs atau ilmu al ruh.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selanjutnya, istilah ilmu al nafs banyak dipakai dalam literatur psikologi Islam, meskipun sebenarnya term al nafs tidak dapat disamakan dengan istilah-istilah psikologi kontemporer yang hanya memberikan fokus kajian pada aspek psikis manusia, hal demikian dikarenakan al nafs merupakan gabungan substansi jasmani dan ruhani. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang relatif baru, psikologi baru dikenal pada akhir abad ke-18 M, meskipun akarnya telah menghujam jauh ke dalam kehidupan primitive umat manusia sejak zaman dahulu kala. Plato sudah mengatakan bahwa manusia adalah jiwanya, sedangkan badannya hanyalah sekedar alat saja. Aristoteles, berbeda dengan Plato, juga pernah mengatakan bahwa jiwa adalah fungsi dari badan seperti halnya penglihatan adalah fungsi dari mata.

Meskipun kajian tentang jiwa sudah ada sejak zaman Plato di Yunani, namun kajian tentang jiwa tersebut selanjutnya menghilang bersama dengan runtuhnya peradaban Yunani. Kemudian ketika pemikir-pemikir Islam mengisi panggung sejarah melalui gerakan penterjemahan dan kemudian komentar serta karya orisinil yang dilakukan pada masa Daulah Abbasysyiyah, esensi dari pemikiran Yunani diangkat dan diperkaya.

Namun begitu, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa pemahaman jiwa (nafs) oleh para ulama’ generasi pertama tidaklah diilhami dari pemikiran Yunani, tetapi dari al Qur’an dan Hadits. Hal ini bisa kita lihat dalam al Qur’an yang banyak menyebut kata nafs termasuk juga dalam hadits-hadits nabi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dalam perkembangannya, kaitannya dengan upaya membangun kesehatan mental manusia, kajian nafs ternyata bukan psikologi seperti yang dikenal saat ini, tetapi tasawuf dan akhlak, yakni ilmu yang menekankan nafs sebagai sifat yang tercela yang perlu disucikan (tazkiyah al nafs) agar menjadi nafs yang sehat (nafs al muthma’innah). Adanya analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral manusia yang sempurna, melahirkan psikologi sufi. Psikologi sufi tidak terlepas dari adanya korelasi antara tasawuf dengan psikologi. Tasawuf dan psikologi ditemukan persamaan yaitu persamaan konsepsi tentang potensi dasar dan perkembangan jiwa manusia. Manusia yang sehat secara psikologis memiliki potensi yang bersifat ruhaniah yaitu melahirkan perilaku yang baik. Potensi ini dalam bahasa nafs atau psikologi, dipandang mempunyai hubungan dengan tingkah laku psikologis, yang tercermin pada keseimbangan perilaku yang ditampilkan.

Dalam psikologi humanistik, manusia dikendalikan bukan oleh faktor eksternal dan kekuatan tidak sadar, melainkan oleh potensi manusia sendiri yang bersifat kodrati. Sifat kodrati yang dalam bahasa tasawuf disebut fitrah. Fitrah manusia bisa dipengaruhi dengan mudah bila tidak ada kesadaran diri untuk menjaga. Di sinilah letak kesamaannya bahwa kodrat manusia dikendalikan oleh dirinya walaupun juga ada potensi untuk dipengaruhi apa yang menjadi kodratnya..

Tasawuf menempatkan puncak kesadaran ada pada hati, begitu pula puncak kecerdasan seseorang ada pada kecerdasan spiritual. Dan dalam memperoleh pengetahuan tidak hanya tergantung pada kemampuan nalar logika dan rasional, tapi juga bisa melalui jalan penyucian diri. Di sini, nalar logika tidak terlalu memberikan pengaruh banyak terhadap pengetahuan yang ia peroleh khususnya pengetahuan yang erat kaitannya dengan pengalaman spiritual. Namun perbedaan itu bukanlah perbedaan yang berakibat pada pengaruh antar individu disebabkan perbedaan sudut pandang.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

Selanjutnya, hubungan tasawuf dengan psikologi adalah hubungan antara jiwa dan raga manusia, dimana ketika seseorang melakukan proses penyucian jiwa melalui riyadhah, maka akan terjadi proses transformasi diri. Misalnya ketika seseorang sudah berhasil menahan diri dari sifat amarah, maka akan terpancar pada dirinya sifat penyabar. Karena orang lain akan tahu bahwa seseorang itu penyabar dari penampilan dirinya. Adanya keterkaitan antara jiwa dan raga dalam pembahasan tasawuf inilah yang menjadikan tasawuf erat hubungannya dengan psikologi yang banyak membahas tentang jiwa. Dan sekarang ini kajian tentang jiwa yang  lebih ditekankan pada personality (kepribadian) disebut dengan Transpersonal Psikologi, atau bisa juga disebut kesehatan mental.

Problem kepribadian (mental) meliputi semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan persaaan, yang mana semua itu akan sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi masalah. Dalam hal inilah muncul dua kondisi manusia yaitu yang sehat mental dan tidak sehat secara mental. Dengan kata lain mental yang tidak sehat mempengaruhi jiwa yang meliputi semua unsur tadi.

Orang yang sehat mental adalah orang yang mampu mengatasi persoalan-persoalan pribadinya. Ia beranggapan bahwa semua persoalan yang dihadapi pasti ada jalan keluarnya. Orang yang sehat mentalnya tentulah tercermin dalam diri orang yang baik kepribadiannya yang sangat tercermin dalam tingkah laku atau akhlaknya. Pada porsi ini ajaran-ajaran tasawuf sangat menunjang penguatan mental.

Dengan demikian, maka tasawuf sesungguhnya memiliki hubungan kuat terhadap jiwa dan mental manusia. Dengan stabilnya mental seseorang yang diakibatkan oleh ketenangan hati, maka jiwa manusia seutuhnya akan terjaga. Sebaliknya jiwa itu akan menjadi tidak tenang bahkan bisa menjadi sakit bila hati gelisah, banyak penyakit di dalamnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA KUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Kukuh santoso, M.Pd.I, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI), Ketua Takmir Masjid Ainul Yaqin Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES