Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Ramadhan sebagai Momentum Mendidik Karakter (1)

Rabu, 06 Mei 2020 - 06:16 | 43.13k
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo. 
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo. 
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Prof. Mohammad Nuh dalam bukunya Menyemai Kreator Peradaban (2013) mengutip Lance Morrow tentang pentingnya mendidik karakter. Didalam buku itu ditulis bahwa lance Morrow pernah menyampaikan bahwa “transmisii nilai-nilai kebaikan adalah kerja peradaban. Sejarah mengingatkan kita bahwa peradaban tak selamanya tumbuh. Kadang bangkit, kadang runtuh. Ia meruntuh saat moral merosot kala suatu masyarakat gagal mewariskan kebaikan-kebaikan utama kekuatan karakternya kepada generasi barunya.”

Menilik pernyataan Morrow diatas dapat disimpulkan bahwa sangat penting mempersiapkan generasi suatu bangsa dengan pondasi karakter yang kuat. Jika perjalanan bangsa dipandang sebagai proses membangun peradaban, maka masyarakatnya sebagai subjek utama dalam proses membangun peradaban tersebut harus memiliki karakter yang kuat. Tanpa itu seperti yang disampaikan Morrow peradaban tersebut dapat runtuh.

Salah satu instrument membangun peradaban adalah pendidikan. Didalam Islam pendidikan seringkali disamakan dengan ta’lim, ta’dib, dan tarbiyah. Ketiganya menyatau dalam system pendidikan nasional Indonesia. Bahwa pendidikan tidak hanya sekedar proses transfer of knowledge semata melainkan ada beban moral untuk mengarahkan peserta didik menjadi orang yang beradab. Dalam konteks inilah pendidikan dipahami sebagai proses transmisi nilai-nilai kebaikan. Layak untuk dikatakn bahwa pendidikan adalah kerja peradaban. Jika pendidikan suatu bangsa bagus maka dipastikan bangsa tersebut dapat membangun peradabannya dengan baik. Begitu sebaliknya. Maka gagal melakukan pendidikan kerja peradabannyapun dipastikan gagal.

Hadratus Syeih KH. Hasyim Asy’ari menyampaikan dalam kitabnya adabul ‘alim wal muta’allim bahwa semua amal ibadah, baik rohani maupun jasmani, perkataan maupun perbuatan, tidak akan dihitung kecuali disertai dengan perilaku serta budi pekerti yang terpuji. Maknanya adalah sholah kita, puasa kita, haji kita tidak akan bermakna tanpa disertai dengan perubahan perilaku yang terpuji. Layaknya menanam pohon mangga, banyaknya daun, tingginya pohon, kuatnya akar, rindangnya dahan, tidak akan bermakna apa-apa jika pohon mangga itu tidak menghasilkan buah yang ranum, manis, dan berkualitas tinggi. Buah dari pohon mangga tersebut sebagai cerminan akhlak. Menanam pohon mangga tentu tidak sekedar hiasan tapi ingin mencicipi buahnya yang manis tersebut. Baiknya amal didunia merupakan cerminan diterimanya amal ibadah kita disisi Allah SWT.

Itulah alasan diutusnya Nabi Muhammad SAW. Rasulullah mempunyai tugas utama memperbaiki akhlak manusia. Proses memperbaiki ini tentu tidak menghilangkan peradaban waktu itu. Perilaku yang menyimpang maka diluruskan dan disesuaikan dengan petunjuk dari Allah SWT. Konteks inilah kita sadar betul jika Nabi tidak diutus maka bangsa Arab saat itu yang berada dalam kebodohan (jahiliah) tidak akan menjadi bangsa yang tercerahkan, Jahiliah disini bukan berarti tidak tercipta teknologi dan kemampuan manusia dalam mengfungsikan akalnya, tetapi lupa bahwa dirinya adalah seorang makhluk yang harus beribadah kepada Allah, bukan kepada selain Allah. Jika bangsa Arab saat itu tidak memiliki teknologi sama sekali tentu Nabi akan diutus untuk itu, tapi ternyata Akhlaklah yang menjadi tugas utama. Dengan demikian keberadaan Akhlak itulah yang akan membawa keselamatan manusia baik di dunia maupun diakhirat.

Sejarah telah membuktikan pada era kerasulan Nabi Muhammad SAW.  generasi terbaik terbentuk Generasi emas adalah generasi pada masa sahabat bersama Nabi. Hal ini karena kesuksesan Nabi mentrasmisikan nilai-nilai berupa misi penyempurnaan akhlak. Dari akhlak yang paripurna itulah kemudian berkembang sebuah peradaban Islam yang luar biasa. Kemajuan pengetahuan yang dilahirkan dari tokoh-tokoh Islam berkembang sangat pesat dan menjadi rujukan dunia. Tetapi kemudian mengalami kemerosotan dan beralih pada dunia barat karena bangunan karakter sebagai orang islam mulai terkikis. Terjadinya perselisihan antar sesama muslim, perebutan kekuasaan yang berujung pada tidak terurusnya generasi berikutnya dalam bidang akhlak berdampak terhadap kemunduran dunia islam sendiri.

Akankah kondisi ini dapat dibangkitkan kembali? Maka optimisme adalah jawabannya. Membangun peradaban berikutnya dengan mempersiapkan pondasi karakter yang kokoh merupakan kunci dasar membangun peradaban sebagaimana tesis Morrow diatas. (bersambung)

***

*)Oleh: Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unisma. Kepala BAKAK UNISMA. Anggota Pengrus PW LP Maarif PWNU Jawa Timur. Alumni PP Nurul Jadid, Probolinggo. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES