Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Pembuktian Politisi Perempuan Saat Covid-19

Senin, 04 Mei 2020 - 12:59 | 70.07k
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Saat pandemic Covid-19 menyerang negeri ini, tidak bisa tidak, virus ini identik dengan menantang semua komponen bangsa ini untuk bisa menjawabnya, apa dalam bentuk upaya meriset atau menemukan vaksin yang bisa membunuhnya, atau menjawab dampak sosial, ekonomi, Pendidikan, dan lainnya.

Salah satu komponen bangsa yang sedang ditantang untuk bisa menjawab fenomena itu adalah perempuan. Sosok yang seringkali disebut lemah lembut ini mempunyai kemampuan yang tidak bisa dianggap remeh dalam menjawab berbagai problem bangsa, termasuk untuk menjawab Covid-19.

Kita bisa membaca, bahwa area politik kontemporer mulai menempatkan perempuan sebagai subjek strategis dalam ranah publik. Publik memberikan kepercayaan atau amanat kalau perempuan juga punya hak konstitusionalitas untuk berhak memimpin negeri ini, atau setidaknya berhak menjalankan hak-haknya.

Itu mengisyarakan, bahwa perempuan bukan hanya tak dipandang sebelah mata lagi, tetapi diakui sebagai sosok dan komunitas pelaku sejarah pembentuk wajah negeri yang kehadirannya diniscayakan sangat potensial mencerahkan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Fakta historisnya memang tidak bisa dipungkiri kalau perempuan itu sudah membuktikan dirinya layak berperan “mengarsiteki” wilayah publik dengan tidak meninggalkan kodratnya sebagai pelaku fundamental wilayah domestic atau pemimpin yang mengatur “dapur tetap mengepul”.

Komunitas perempuan telah menghadirkan  apa yang disebut oleh penyair kenamaan Ahmad Syauqy Bey “masyarakat berkeringat harum”, karena berkat peran-peran yang telah ditunjukkan perempuan, masyarakat dan negara dapat menunjukkan jati dirinya.

Tampilnya perempuan dalam dunia panggung politik untuk tak dibedakan atau tak didiskriminasikan dengan kaum lelaki sudah direstui oleh konstitusi kita, seperti dalam pasal 28-I ayat (2), “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan  yang bersifat diskriminatif”.

Kata ‘setiap orang” menunjuk pada makna egalitarian dan demokratisasi, artinya baik lelaki maupun perempuan punya hak untuk disucikan dari perlakuan yang menghinakan berupa diskriminatif. Gender tak bisa dijadikan sebagai dalil politis untuk menempatkan  seseong, dalam hal ini perempuan dalam posisi subordinasi, sementara lelaki dalam posisi superioritas.

Kata “setiap orang” merupakan ruh yang membenarkan dan menghidupkan iklim dinamisasi  dan mobilisasi kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang sehat dan inklusif,  karena masing-masing orang, termasuk di dalamnya perempuan berarti memperoleh garansi  dari negara untuk bisa melakukan “ijtihad” atau upaya-upaya positip dan konstruktif aau sangat serius yang berorientasi membahagiakan, menyejahterakan, dan mencerahkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ruang publik politik itu makin bisa dinikmati oleh perempuan jika berpijak pada Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia yang melegitimasi ruang demokratisasi dan egalitarisasi bagi perempuan, yang landasan ini identik memberikan atau memanggil perempuan untuk bisa menunjukkan pengabdiannnya lebih leluasa dan terbuka pada kepentingan negeri, seperti saat negeri menghadapi problem Covid-19 ini.

Posisi perempuan yang dapat garansi yuridis itu jelas tergolong istimewa, karena idealnya masing-masing diri dalam kehidupan bernegara, terutama di panggung politik krakyatan, masing-masing pelaku tanpa alasan gender punya hak kebebasan untuk aktif menghadirkan atau meleburkan dirinya di tengah kesulitan rakyat.

Namun mengingat potret politik perempuan selama ini dirundung gelap akibat sistem politik di masa lalu tidak  memberikang tempat yang “memanusiakan” atau mendemokratisasikannya, maka garansi hukum yang diberikannya  semacam penegas kepastian bahwa, perempuan adalah subyek yang mempunyai hak secara demokratis dan egaliter untuk tampil kreatif dalam memberikan yang terbaik pada negeri ini.

Tampilnya para politisi perempuan di ranah politik paggung, diantara misalnya adanya sejumlah artis yang jadi dewan, jelas harus ditunjukkan dengan pembuktian bahwa dirinya tidak pelengkap penderita atau sebatas memenuhi kuota norma yuridis 30%, melainkan karena kapabilitasnya sebagai kumpulan para pejuang yang berani menghadapi situasi apapun, termasuk saat negeri diserang pandemic Covid-19.

Dulu, khususnya di rezim Orba, kalaupun ada  perempuan yang tampil di panggung politik, jika tidak betul-betul punya kapabilitas hebat dan punya afiliasi ke jalur politik Istana, jelas akan terhadang dan bahkan terbendung untuk bisa mengisi dan berpartisipasi aktif dalam  area politik. Dan sekarang, dengan kondisi yang berbeda, haruslah ditunjukkan kalau dirinya “pengabdi-pengabdi sejati untuk pertiwi”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Ana Rokhmatussa’diyah, Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Unisma, Penulis sejumlah Buku, Ketua Pokja 1 TP PKK Kota Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES